NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu Yang Terlihat Bahagia

Pagi di rumah kontrakan kecil itu terasa berbeda. Udara Bandung yang biasanya dingin menusuk kini justru menempel lembut di kulit, seolah memberi ruang bagi siapa pun untuk bernapas lebih tenang. Tapi, ketenangan itu terasa palsu seperti tirai tipis yang menutupi retakan besar di baliknya.

Ibu tampak sibuk sejak subuh. Ia memasak lebih banyak dari biasanya: tumis sayuran, telur balado, sup ayam menu yang mengingatkanku pada masa kecil. Dapur yang kecil penuh dengan aroma masakan yang hangat, tapi suasananya justru membuatku tertekan.

Aku memperhatikan cara Ibu bergerak. Senyumnya terlalu lebar. Suaranya terlalu ramah. Gesturnya terlalu ceria. Semua… terlalu.

“Ibu masak banyak banget,” kataku sambil duduk di meja makan.

Ibu menoleh dengan mata berbinar. “Iya dong, sesekali nggak apa-apa. Minggu ini kita harus makan enak.”

Tapi mata itu yang berusaha terlihat berbinar punya kekosongan yang samar, seperti kaca yang memantulkan cahaya tapi tak punya kedalaman.

Laras ikut duduk di sampingku, menatap ibu dengan alis mengernyit. “Bu… biasanya Ibu nggak semangat gini pagi-pagi.”

Ibu menertawakan komentar itu terlalu keras. “Masa iya? Ibu kan selalu semangat.”

Dimas yang baru keluar dari kamar hanya melihat tanpa komentar. Ia menggosok tengkuknya, tanda ia juga merasakan ada sesuatu yang janggal.

Ardi ikut duduk di sebelahku sambil berbisik, “Ibumu kelihatan beda.”

Aku mengangguk. “Aku tahu.”

Ibu menyajikan makanan di meja dengan gerakan yang terlalu cepat, lalu duduk sambil menepuk tangannya. “Ayo makan! Ibu senang lihat kalian ngumpul begini.”

Tapi di sela-sela senyum itu, aku melihat tangan Ibu bergetar sedikit ketika ia mengambil sendok.

Ada tawa, ada cerita, ada suara piring semua terlihat normal dari luar. Tapi aku tahu: Ibu sedang menyembunyikan sesuatu.

Setelah sarapan selesai, Ibu membersihkan meja sambil bersenandung. Bukan lagu yang biasa ia nyanyikan, melainkan lagu acak yang nadanya naik turun seperti orang yang tidak benar-benar memperhatikan apa yang ia lakukan.

Aku menghampirinya.

“Bu,” panggilku pelan.

“Hm?” jawabnya tanpa menatapku.

“Bu… Ibu beneran nggak apa-apa?”

Ibu berhenti mengelap meja selama satu detik, lalu melanjutkannya lagi sambil tersenyum tipis. “Alya, kamu kok nanyanya gitu? Ibu baik-baik saja, Nak.”

“Tapi…”

Ibu menepuk tanganmu. “Sudah. Tidak apa-apa. Jangan khawatir.”

Jawaban itu terlalu cepat. Terlalu rapi. Terlalu… latihan.

Ada jarak di balik kata-kata itu jarak yang selama ini Ibu tidak pernah pasang terhadapku. Jarak yang terasa seperti tembok yang tiba-tiba muncul semalam.

Siang harinya, Ibu bersiap keluar rumah. Ia memakai baju baru yang jarang ia gunakan, memulas lipstik tipis, dan merapikan jilbabnya dengan teliti di depan cermin.

Raka yang sedang duduk di ruang tamu bertanya, “Bu mau ke mana?”

Ibu tersenyum. “Ke pasar sebentar.”

Raka mengerutkan kening. “Loh, tadi pagi kita sudah belanja?”

Ibu tertawa kecil. “Lupa, ada yang kurang.”

Lagi-lagi, senyum itu. Senyum yang seperti menutupi suara detak jantung yang tak stabil.

Setelah Ibu keluar rumah, aku, Ardi, Laras, dan Dimas saling berpandangan.

“Ini aneh,” gumam Dimas. “Ibu kayak bukan Ibu yang kita kenal.”

Laras menggenggam tangannya sendiri. “Apa Ibu kangen Ayah?”

Aku hanya diam. Karena aku tahu jawabannya tidak sesederhana itu.

Ibu bukan hanya kangen. Ibu kehilangan sesuatu yang tidak bisa ia sebutkan.

Sore itu, Ibu pulang sambil membawa dua kantong belanja. Wajahnya tampak berseri, seperti baru bertemu seseorang atau mendapat kabar baik. Tapi ketika meletakkan belanjaan di meja, ia menghela napas panjang—napas yang terdengar lebih seperti keluhan yang disembunyikan.

“Alya, tolong simpan ini di dapur, ya.”

Aku menurut. Tapi saat membuka kantong plastik yang satu, aku terdiam. Isinya bukan bahan makanan. Bukan pula barang rumah tangga. Melainkan sebuah kotak kecil berisi bros baru, dan sekotak parfum murah yang biasanya dibeli Ibu hanya ketika ia ingin merasa lebih… berharga.

Aku menggenggam kotak itu. Ada sesuatu di dadaku yang menegang.

“Ibu dapat dari mana ini?” tanyaku saat kembali ke ruang tamu.

Ibu menatapku. Senyumnya sedikit goyah. “Itu cuma… hadiah dari teman.”

“Teman siapa?”

Ia terdiam sepersekian detik. “Teman lama.”

Teman lama?

Aku tahu itu bukan jawaban yang jujur. Aku tahu itu bukan jawaban Ibu yang biasanya. Ibu yang dulu selalu terbuka. Ibu yang dulu selalu jujur tanpa diminta. Ibu yang dulu tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku. Kini ia terlihat bahagia… Tapi bahagia yang rapuh. Bahagia yang seperti topeng yang menutupi kehampaan di baliknya. Aku berdiri di depannya sambil menatap dalam matanya.

“Bu… apa Ibu sedang berusaha terlihat baik-baik saja?”

Ibu tersenyum pelan—senyum yang hancur di ujung bibirnya.

“Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan menangis, Alya.”

Ia menunduk.

“Kadang… orang terpaksa terlihat bahagia agar tidak runtuh.”

Dan kalimat itu lebih dari apa pun membuatku sadar: Ibu sedang berjuang sendirian. Dalam kebahagiaan yang kosong. Dalam tawa yang tidak sepenuhnya tulus. Dan itu menyakitkan.

Di ruang tamu sore itu, suara tawa kecil dari televisi mengalun samar. Sinetron komedi yang Ibu putar terdengar riuh, tapi anehnya tidak ada satu pun tawa yang benar-benar keluar dari bibirnya. Ia hanya duduk tegap, menyandarkan punggung pada bantal kursi, jarinya menekan ponsel seolah sedang sibuk membalas chat, padahal layar ponsel mati.

Sejak pagi aku memperhatikan Ibu. Ia memasak lebih ramai dari biasanya—dua sayur, satu lauk, satu sambal. Ia bahkan membuatkan teh manis favorit Ayah, padahal ia tahu Ayah tak akan pulang hari ini.

Mungkin itu hanya kebiasaan yang belum bisa ia hentikan. Atau mungkin… itu caranya menipu dirinya sendiri.

“Bu, ini aku bantu potong bawang, ya,” kataku tadi siang.

Ibu tersenyum tipis. “Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja. Ibu lagi senang masak hari ini.”

Senang.... Kata itu begitu janggal di telingaku. Karena meskipun bibirnya tersenyum, matanya bengkak. Dan meski ia mencoba menyembunyikannya dengan bedak dan sedikit eyeliner, aku bisa membaca guratan letih yang menempel di sana.

Sore itu, Laras datang berkunjung. Ia langsung memeluk Ibu dari belakang.

“Bu… aku kangen.”

Ibu tertawa kecil tawa palsu yang bahkan Laras pun bisa dengar retaknya.

“Kamu itu, Ras. Baru dua hari nggak pulang udah kangen.”

“Kangen Ibu yang dulu…” gumam Laras pelan.

Aku sontak menatapnya, memberi kode agar ia tidak melanjutkan. Tetapi Ibu hanya diam, membiarkan kalimat itu menggantung di udara.

Ibu tidak marah. Tidak tersinggung. Tidak membentak seperti sebelumnya. Ia hanya memejamkan mata, seakan mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.

“Ayah kalian pergi bukan salah Ibu,” katanya lirih. “Dan kalau suatu hari kalian lihat Ibu tersenyum… itu bukan karena Ibu sudah lupa semuanya. Ibu hanya tidak ingin kalian tambah sedih.”

Ada suara retak di hatiku saat itu.

Ibu tidak sedang berusaha “bahagia”, ia sedang berusaha “tidak menyusahkan”.

Malam hari, setelah adik-adikku terlelap, aku melihat Ibu duduk sendirian di teras. Lampu kuning menerangi wajahnya yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Tanpa riasan, tanpa senyuman paksa, tanpa topeng.

Hanya Ibu… apa adanya. Aku duduk di sampingnya.

“Bu… kalau Ibu mau nangis, nggak apa-apa, kok. Nggak usah pura-pura kuat.”

Ibu menarik napas panjang. “Kamu pikir Ibu tidak pernah menangis?”

Ia tersenyum pahit. “Ibu hanya menangis di kamar mandi. Tempat yang paling sunyi.”

Aku menggenggam tangannya yang dingin. “Ibu nggak sendirian.”

“Justru itu,” katanya pelan. “Karena Ibu tidak sendirian… Ibu harus pura-pura kuat. Supaya kalian tidak tumbang.”

Kalimat itu membuatku terdiam cukup lama.

Dalam bayang-bayang lampu teras, aku bisa melihat jelas: senyum Ibu memang masih ada… tapi hampa. Setengah mati, setengah menyerah, setengah berusaha tetap hidup.

Dan untuk pertama kalinya sejak Ayah pergi, aku mengerti… Ibu tidak sedang bahagia. Ia hanya belajar menerima retakan di hatinya. Ia tidak menunggu Ayah kembali. Ia juga tidak sedang membenci. Ia hanya mencoba bertahan untuk kami.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!