Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Luka dari Darah Sendiri
Di kamar inap VIP, Sean perlahan membuka mata. Pandangannya menatap langit-langit putih rumah sakit sebelum beralih pada Jane yang tertidur di atas sofa dengan tubuh meringkuk kelelahan. Ia mencoba duduk, tangan kirinya yang diinfus bergerak pelan, sementara kepalanya berdenyut hebat karena efek dari racun yang ia ciptakan sendiri. Sepertinya ia telah tertidur lama sejak diberi infus di IGD. Dipindahkan ke kamar ini, bahkan hingga pakaian yang kini berubah menjadi seragam pasien, semuanya terjadi tanpa ia sadari.
Namun begitu kesadarannya pulih, kegelisahan langsung menyergap. Ia menatap sekitar, mencari seseorang yang seharusnya ada di sisinya. Kenapa ayahnya tidak ada di sana?
Tatapan Sean kemudian jatuh pada Jane, “Jane!” panggilnya keras.
Wanita itu tidak bergerak.
“Jane! Bangunlah!” ulangnya, kali ini lebih keras.
Jane tergagap bangun, matanya masih buram sebelum akhirnya menatap Sean dengan penuh terkejut.
“Tuan Muda! Kau sudah sadar?!” serunya panik. Ia segera menghampiri Sean.
“Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?”
“Aku tidak apa-apa,” jawab Sean datar, “Dimana ayahku?”
Pertanyaan itu membuat Jane terdiam. Lidahnya kelu, antara jujur atau menyembunyikan kenyataan. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa Damian pergi meninggalkan anaknya demi seorang wanita.
“Tuan besar… dia…”
“Katakan, Jane!” bentak Sean, nadanya tajam.
Jane menunduk, “Semalam setelah Tuan Muda dirawat di IGD, Tuan Besar langsung pergi… menemui seseorang.”
“Menemui siapa?”
“Tuan Muda, tolong jangan mempersulitku,” ucap Jane dengan ekspresi memohon.
Sean menundukkan kepala. Seketika pikirannya bekerja cepat, menyusun potongan-potongan yang tercecer. Ketika jawabannya muncul, ia mengangkat wajahnya menatap Jane dengan tajam.
“Menemui wanita itu, bukan?”
Jane tidak menjawab, tapi tatapannya cukup menjadi pengakuan.
“Tuan besar tidak mengatakannya. Tapi sebelum pergi, Tuan besar sempat menanyakan sesuatu pada dokter. Tentang penyebab lain seseorang bisa mengalami gejala seperti keracunan makanan.”
“Apa maksudnya?” Sean mengernyit, nadanya menekan.
“Aku tidak tahu, Tuan. Tapi sepertinya Tuan besar mulai meragukan bagaimana Tuan Muda bisa mengalami keracunan,” jelas Jane dengan cemas.
“Sial!” Sean memukul ranjang hingga Jane terlonjak kaget.
“Tapi tenanglah,” ucap Jane cepat, mencoba menenangkan, “Aku percaya padamu, Tuan Muda. Aku selalu di pihakmu.”
Sean menatapnya, senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang tidak sepenuhnya tulus.
“Terima kasih, Jane. Hanya kau yang mengerti aku,” ucapnya datar, “Tapi aku harus pergi dari sini.”
Sebelum Jane sempat menahan, Sean sudah mencabut infus di tangannya. Darah merah menetes, tapi pria itu tidak peduli.
“Tuan Muda! Apa yang kau lakukan?!” seru Jane panik, berusaha menahannya.
“Lepaskan aku, Jane! Atau aku tidak akan selamat.”
Jane akhirnya melepaskan pegangannya. Ia sangat bingung dan takut.
“Apa maksudmu, Tuan?” tanyanya lirih.
Sean tidak menjawab. Ia justru membuka tas yang dibawa Jane dari rumah, mengeluarkan pakaian, dan cepat mengganti seragam pasien dengan pakaiannya sendiri. Tangannya yang berdarah ia balut dengan robekan kain dari bajunya. Setelah itu ia meraih ponselnya.
“Jangan mengikutiku. Urus saja administrasi keluar dari tempat ini,” ucapnya dingin lalu berjalan menuju pintu.
“Tuan Muda!” panggil Jane, namun langkah Sean tidak berhenti. Ia hanya mengangkat tangannya sebentar, tanda agar wanita itu tidak mengikutinya, dan dalam sekejap sosoknya menghilang di balik pintu kamar.
Saat melangkah menyusuri koridor rumah sakit, Sean berusaha menghubungi Alan. Suara dering di telinganya terdengar begitu lama hingga akhirnya terdengar sahutan berat dari seberang.
“Kakek?”
“Ada apa, Nak? Kau mengganggu bulan maduku.”
“Sepertinya kita gagal,” ujar Sean, berhenti sejenak di tengah langkahnya.
Alan terdengar terkejut, “Apa maksudmu?! Sebentar, aku harus menjauhi istriku dulu.”
Beberapa detik sunyi berlalu sebelum suaranya kembali terdengar, kali ini lebih serius.
“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku yang seharusnya bertanya, Kek,” suara Sean meninggi, menahan emosi, “Apa kakek di sana tidak tahu apa yang terjadi? Ayahku ada di hotel itu semalam! Dia meninggalkanku yang sedang sakit demi wanita sialan itu!”
Alan terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan.
“Tunggu dulu. Memang benar Damian kembali semalam. Tapi untuk apa kau khawatir? John sudah menjalankan tugasnya. Aku yakin Damian bahkan memergoki kekasihnya sendiri berhubungan dengan pria lain.” Nada puas terdengar jelas di ujung kalimatnya, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Nak.”
Namun wajah Sean tetap tegang, “Aku tidak yakin. Ayahku sepertinya tahu aku berbohong soal keracunanku. Dia tampak lebih percaya pada wanita itu. Kakek, tolong selidiki. Aku akan ke sana sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban, Sean menutup panggilan itu, lalu berlari keluar dari area rumah sakit.
Setelah menaiki taksi, Sean langsung memerintahkan sopir untuk mengebut menuju hotel. Begitu tiba, ia segera membayarnya lalu bergegas turun. Udara panas di luar belum sempat dihirup utuh ketika langkahnya sudah menembus pintu lobi.
Baru beberapa langkah, Alan muncul tergesa dengan wajah panik.
“Kurasa kau harus ikut denganku,” ucapnya cepat, lalu melangkah lebih dulu.
Sean menahan diri untuk tidak bertanya dan memilih untuk mengikuti langkah pria tua itu melewati koridor lobi menuju ruang keamanan. Begitu pintu terbuka, aroma keringat dan ketegangan langsung menyergap. Beberapa petugas keamanan memenuhi ruangan, sementara di sudut, seorang pria duduk dengan wajah babak belur.
“Tuan Sean!” John berusaha berdiri, namun dicegah oleh salah satu petugas yang menjaganya.
Alan melirik Sean, “Kita memang telah gagal.”
Sean mendekati John, “Apa yang sebenarnya terjadi?” Tatapannya tajam, penuh amarah.
Alan menoleh ke para petugas, “Kalian keluarlah.”
Salah satu petugas menggeleng, “Maaf, Tuan. Kami sudah diperintahkan untuk menahannya sampai orang yang memerintah kami memberi perhitungan padanya.”
Sean melangkah maju, “Apa orang yang kau maksud adalah ayahku?”
“Saya tidak mengenal Anda ataupun ayah Anda. Silakan keluar,” jawab petugas itu tetap sopan.
Wajah Sean mengeras. Ia mencengkeram kerah petugas itu, “Jaga sopan santunmu! Kau hanya pegawai rendahan, beraninya bicara begitu padaku!”
“Hentikan, Sean. Sekarang juga!” Alan menarik tubuh Sean keras-keras hingga pegangan itu lepas, lalu menyeretnya keluar dari ruangan.
“Lepaskan aku, Kakek!” Sean menepis kasar.
Alan berdecak, menatap sekeliling, lalu berbisik tajam, “Kendalikan dirimu! Jangan mempermalukan namamu sendiri. John sepertinya belum membuka mulut. Jadi diamlah, anggap ini tidak pernah terjadi. Untuk urusan John, aku bisa membereskan semuanya baik dengan uang tutup mulut, jaminan aman, atau apapun itu. Kupastikan kau tidak akan ikut terseret dalam masalah ini.”
Sean menatapnya tajam, “Kau terlalu berpikir dangkal, Kek. Ayahku lebih cerdas dari apa yang kau kira. Daripada menunggu untuk ditangkap, lebih baik aku menemuinya sekarang juga.”
“Sean!”
Sean berbalik dan masuk lagi ke ruang keamanan, “Di mana orang yang memerintah kalian?”
Salah satu petugas menjawab cepat, “Kamar 423.”
Sean mendengus lirih, “Kamar? Jadi kau yang malah bersenang-senang, Ayah…” gumamnya sebelum melangkah pergi.
“Sean! Jangan gegabah!” Alan bergegas mengejar, namun tiba-tiba seseorang menarik lengannya ke samping.
“Kelly? Kau…?” Alan terpaku, matanya membulat.
“Kenapa? Terkejut melihatku?” Suara Kelly dingin, “Aku sudah dengar semuanya, Alan. Kau memang paman yang bodoh. Menjebak keponakanmu sendiri?”
“Itu semua demi Sean!” Alan menahan napasnya, “Aku tidak mau ada anak lain lahir di keluarga Evans. Kau tahu akibatnya, kan? Posisi Sean sebagai pewaris bisa hancur!”
Kelly menatap suaminya tidak percaya, “Jadi hanya demi warisan? Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menikahi pria sebodoh ini.”
“Kau tidak akan mengerti. Aku harus mengejar Sean!”
“Tidak.” Kelly menahan lengannya lebih kuat, “Tetap di sini, jika kau masih memerdulikanku. Biarkan Sean menyelesaikannya. Dia anak Damian maka biarkan mereka bicara.”
“Tapi—”
“Kau harus mematuhiku!”
Alan mendecak keras, tapi tidak berani melawan. Dan akhirnya menuruti ucapan wanita itu dengan pasrah.
Sementara itu di kamar 423, cahaya matahari menembus tirai tipis, menimpa selimut yang menutupi kulit yang saling bersentuhan. Damian mengelus lembut rambut Elena yang masih terlelap dalam dekapannya. Sentuhannya tenang, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang berat. Ia menunduk, mengecup kening wanita itu perlahan.
Kelopak mata Elena bergerak sebelum akhirnya terbuka. Begitu melihat wajah Damian, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.
“Selamat pagi, Om.”
Damian membalas dengan senyum tipis, “Ini sudah siang, Elena.”
Elena terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di tubuh Damian yang masih polos, menyandarkan wajahnya di dada bidang pria itu, “Di sini terlalu nyaman. Aku bahkan lupa waktu.”
Damian mengusap rambutnya lagi, tatapannya berubah penuh rasa bersalah, “Maafkan aku,” ucapnya lirih.
Elena mendongak, menatapnya lembut, “Maaf karena apa?”
“Jika saja aku tidak meninggalkanmu, semua ini tidak akan terjadi.”
Elena menggeleng kecil, lalu kembali menyandarkan wajahnya di dada Damian, “Aku justru bersyukur, Om. Kalau bukan karena kejadian semalam, aku tidak akan melewati malam seindah itu bersama Om.”
“Jangan bilang begitu lagi,” Damian menarik napas berat, “Aku merasa bersalah padamu.”
Elena terdiam sejenak. Kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Damian dalam posisi miring, “Tidak apa-apa, Om. Aku tahu Om punya alasan kenapa harus meninggalkanku sendirian.”
Nada suara Elena memang menenangkan, tapi kata-katanya justru mengguncang dada pria itu.
Damian mengepal pelan, “Bajingan itu memang tidak pantas hidup!”
Elena mengangkat alis, “Bajingan?”
“John,” jawab Damian dingin, “Aku sudah menghajarnya tadi malam. Dia pasti orang yang memberimu obat itu.”
Elena menarik napas dalam, lalu perlahan duduk, menutupi tubuhnya dengan selimut, “Om… sepertinya Om belum tahu kebenarannya.”
Damian menatapnya bingung, “Apa maksudmu?”
“Semalam, saat aku pergi mengambil minuman, tiba-tiba seorang pegawai hotel menghampiriku dan memberiku minuman. Dia bilang minuman itu dikirim oleh Bibi Kelly, katanya untuk kita berdua. Dan setelah meminumnya, tubuhku menjadi tidak normal.”
Damian menggeleng cepat, “Kelly? Tidak mungkin dia—”
Elena memotong dengan senyum samar, “Aku juga tahu pasti bukan dia.” Ia kemudian bergerak mencari sesuatu, “Di mana ponselku?”
Damian duduk, lalu mengambil ponsel dari nakas sampingnya, “Ini. Semalam kau membuangnya asal.”
Elena kemudian menyalakan ponselnya, membuka galeri, lalu memutar sebuah video.
“Om harus lihat ini.”
Damian menerima ponsel itu. Tatapannya terpaku pada layar dengan napas yang tertahan.
Sementara itu, di sampingnya, Elena tersenyum samar. Ia tahu, mulai dari detik ini, perseteruan besar keluarga Evans akan segera terjadi.
Dalam video yang direkam Elena, terlihat Alan dan John berdiri berhadapan di depan kamar hotel.
“Kau terbantu, aku juga terbantu. Kita sama-sama mendapat keuntungan.”
“Kau benar. Aku juga harus berterima kasih pada Tuan Sean.”
“Tidak perlu. Semua ini adalah ideku. Sean hanya membantu untuk membuat ayahnya pergi dari tempat ini.”
Video itu kemudian berakhir dengan gelap diikuti suara ponsel yang terjatuh.
Damian diam sejenak. Jemarinya perlahan menggenggam ponsel itu begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Rahangnya menegang, otot-ototnya menonjol di bawah kulit. Napasnya berat, dan kilatan emosi tajam terpancar dari matanya.
“Jadi ini semua…” suaranya tertahan karena amarah, “Mereka bertiga yang merencanakannya.”
Ia menatap layar yang kini gelap seolah menatap wajah anaknya sendiri.
“Sean… bisa-bisanya kau berbuat sekotor ini pada ayahmu!”
Dengan geram, Damian melempar ponsel itu ke atas ranjang. Elena terlonjak kecil, refleks menatap benda itu khawatir, takut rusak.
“Maaf, Om,” ujarnya cepat, suaranya sedikit gemetar, “Karena tubuhku waktu itu tidak stabil, videonya hanya sempat terekam sebentar. Jika saja aku bisa—”
Grep
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Damian sudah merengkuhnya erat.
“Maafkan aku,” ucapnya serak di telinga Elena, “Aku minta maaf, Elena. Orang-orang terdekatku sendiri yang telah menyakitimu.”
Elena menghela napas, lalu pelan-pelan mengelus punggung pria itu, mencoba menenangkan.
“Sudahlah, Om. Aku baik-baik saja. Lagipula tidak terjadi apa-apa. Untuk anak Om, jangan terlalu kasar padanya. Dia pasti punya alasan tersendiri kenapa melakukan semua hal ini. Berjanjilah padaku, untuk memaafkannya,” ucap Elena dengan wajah yang dipenuhi amarah.
Damian melepaskan pelukannya dan Elena segera mengubah ekspresinya. Pria itu menatap Elena dalam, lalu menangkup kedua pipinya dengan tangan yang masih bergetar.
“Tidak, Elena. Atas perbuatan mereka, aku berjanji tidak akan memaafkan siapa pun. Mereka semua akan bertanggung jawab atas perbuatan mereka padamu. Termasuk anakku sendiri.”
Elena menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia mengangguk pelan.
Dan di matanya, terselip kilau halus yang tidak disadari Damian. Sebuah kepuasan kecil, karena rencananya kembali berjalan sesuai harapan.
Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu kamar. Bahkan ketukan itu lebih mirip hantaman yang tidak sabar.
“Aku akan melihatnya,” ucap Damian lalu segera turun dari ranjang, mengenakan celana panjangnya, dan menyambar kemeja yang tergantung di kursi.
Sementara itu, Elena sempat menatap ke arah pintu dengan mata sedikit cemas sebelum memutuskan melangkah ke kamar mandi.
Damian membuka pintu, dan napasnya langsung tertahan. Di hadapannya berdiri Sean yang menatapnya tajam tanpa rasa takut.
“Kau…?” suara Damian rendah, nyaris tidak percaya.
Sean tidak menjawab. Pandangannya menembus bahu ayahnya, menelusuri ruangan di belakang Damian, berniat mencari seseorang.
Sadar akan arah tatapan itu, Damian segera keluar, menutup pintu di belakangnya dengan cepat, seolah melindungi sesuatu yang tidak boleh dilihat.
“Apa maumu sekarang?” suara Damian dingin, menggema di koridor sepi itu.
Sean mengangkat wajahnya perlahan, “Kupikir kau sudah tahu semuanya, Ayah.” Nada suaranya datar, tapi matanya memancarkan dendam, “Apa John tidak mengatakan apa pun padamu?”
“Tidak,” jawab Damian datar, “Tapi ada seseorang yang memberiku bukti, kalau kau ikut bermain bersama Alan dan John.”
Senyum miring muncul di wajah Sean. Bukan senyum bahagia, melainkan ejekan.
“Bukti dari wanita itu, maksudmu?” ucapnya meremehkan, “Jadi sekarang kau lebih percaya padanya daripada aku, anakmu sendiri?”
Plak!
Tamparan Damian mendarat keras di pipi Sean, menimbulkan suara yang memantul di dinding koridor.
“Bukti itu,” desis Damian tajam, “Akan menjadi alasan kenapa kau pantas dihukum! Aku tahu semuanya, Sean! Kau benar-benar keterlaluan. Apa yang ada di kepalamu sampai bisa merencanakan hal sebejat itu?”
Sean menahan napas, pipinya memerah, “Aku terpaksa, Ayah!” suaranya pecah, “Aku tidak ingin kau punya anak lain yang akan mengambil posisiku sebagai pewaris!”
Damian menatapnya tajam, “Lalu harus dengan cara seperti ini?”
“Ya!” Sean membentak, matanya berair tapi penuh amarah, “Aku ingin membuatmu jijik pada wanita murahan itu!”
Plak!
Tamparan kedua menghantam pipi lainnya. Damian bahkan tidak menyesal.
“Kau adalah kesalahan terbesarku,” ucap Damian pelan tapi mematikan, “Mendidikmu hingga menjadi dirimu yang sekarang juga merupakan kesalahanku. Aku ayah yang kurang beruntung karena memiliki anak sepertimu.” Kali ini suaranya bergetar karena kecewa, bukan sekadar marah.
Sean tersenyum getir, sudut bibirnya bahkan berdarah, “Benar. Karena di matamu yang benar hanyalah wanita itu!”
Damian memejamkan mata, menahan diri agar tidak meledak, “Sekalipun kau anakku, kau tetap bersalah. Aku tidak akan menyerahkan bukti itu ke polisi. Tapi untuk John, aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Karena mengingat hubunganku dengan kau maupun Alan, aku tidak akan menyeret kalian ke kantor polisi.”
Ia menatap lurus ke mata Sean, “Minta maaflah padanya. Wanita yang kau hina itu bahkan memohon padaku untuk memaafkanmu. Kau yang sekarang telah dibutakan oleh ambisi, Sean. Kau lupa cara menjadi manusia.”
Sean mendengus kecil, “Aku tidak akan merendahkan diriku pada wanita itu!”
“Baik,” tegas Damian setelah menegakkan tubuhnya, “Kalau begitu, kau akan lihat sendiri bagaimana aku menjadikan wanita itu sebagai bagian dari keluarga ini. Aku akan menikahinya.”
Sean menatap ayahnya tidak percaya, “Apa?!”
“Anggap saja itu hukuman atas perbuatanmu.”
Lalu Damian memutar tubuh, membuka pintu, dan masuk kembali ke kamar, meninggalkan Sean yang masih berdiri terpaku di depan kamar.
Begitu pintu tertutup, amarah Sean meledak.
“ARGHHHH!” teriaknya, lalu tinjunya menghantam dinding berkali-kali.
Darah merembes dari buku jarinya, tapi ia tidak peduli.
“Lihat saja kau, wanita sialan! Aku berjanji akan membuatmu menderita.”