(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alfred yang iseng
Michelle segera membelakangi Alfred dengan jantung yang berdebar tak tertahankan, rasa malu membelit dadanya saat suaminya menangkap gerakannya yang tampak seperti orang kehilangan akal.
Langkah Alfred terdengar kian dekat, menghantam telinga Michelle bagai deru badai yang siap menghempaskannya ke dasar jurang. Tangannya meremas dada sendiri, matanya tertutup rapat dalam usaha keras meredam panik yang berkecamuk, tapi sesaat kemudian ia membuka mata, berbalik perlahan dengan senyum tipis yang terpaksa dipaksakan — menyengir kaku.
"Om Al, kau... butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara gugup.
Alfred mengangguk, melangkah mendekat lalu duduk di kursi sebelahnya dengan santai yang kontras dengan gelisah Michelle. "Bisakah kita bicara sebentar?"
Michelle menelan ludah, berusaha mengatur nafas yang sesak. "Tentu, Om. Ingin bicara tentang apa?"
Alfred menatapnya tajam, menyipitkan mata. "Kau masak sesuatu?"
Kening Michelle berkerut, seketika "Ah, iya! Aku sedang memanggang bolu pisang," jawabnya cepat, buru-buru menuju oven dan mengangkat bolu yang terlihat sempurna itu.
Ia meletakkan bolu itu di hadapan Alfred dengan harap. "Om, mau mencobanya?"
Alfred hanya terdiam, matanya menatap bolu yang menguar aroma manis menggoda.
Melihat suaminya yang tak berkata sepatah kata pun, Michelle berkata dengan suara penuh harap dan sedikit cemas, "Tenang saja, Om. Manisnya pas dengan selera Om. Aku sudah tanya Bu Ros, Om tidak suka yang terlalu manis, kan?"
Alfred menyahut dengan suara serak, "Iriskan untukku."
Mendengar itu, Michelle hampir melompat kegirangan. Dengan penuh semangat ia mengayunkan pisau, memotong bolu menjadi beberapa potong rapi lalu meletakkannya di atas piring dengan penuh percaya diri. "Aku jamin ini sesuai selera Om," katanya sambil tersenyum sumringah.
"Om mau coba dengan kopi? Aku sudah belajar banyak dari Bu Ros, bisa sesuaikan rasa sesuai selera Om."
Alfred hanya mengangkat bahu, suaranya datar, "Terserah kau saja." Tapi saat Alfred menggigit potongan kue itu, wajahnya yang tadinya dingin sedikit melunak.
Michelle segera menyeduh kopi, mengikuti resep yang diajarkan Bu Roslina dengan hati-hati. Senyum manis tak pernah lepas dari bibirnya.
Dengan lembut, dia meletakkan secangkir kopi di hadapan Alfred, lalu duduk di sampingnya, menunggu penilaian tentang bolu pisang yang baru saja ia buat. “Bagaimana bolunya, Om? Enak, kan?” tanya Michelle dengan mata berbinar.
Alfred menatap secangkir kopi lalu menatapnya balik, suara dinginnya menusuk, “Mau dengar jujur atau bohong?”
Michelle tak ragu, “Bohong saja.”
Alfred menggeleng pelan, “Hambar.”
Bukannya kecewa, senyum Michelle malah mengembang, begitu polos. Ia tahu jawabannya adalah enak.
Alfred menatap senyumnya itu dengan tatapan campur aduk—bingung dan geli.
Michelle tak bicara lagi. Dia mengambil potongan bolu, mengunyah pelan sambil memejamkan mata, menikmati manis dan lembutnya setiap gigitan seperti mencicipi hasil jerih payahnya yang tak sia-sia.
“Tadi, Om mau bicara apa?” tanya Michelle dengan pipi mengembung penuh, bola matanya penuh rasa penasaran.
Alfred mendesah, “Telan dulu, jangan ditahan.” Michelle buru-buru menelan dan menyeruput minum.
“Malam ini kita pulang ke rumah keluargaku,” ujar Alfred dengan nada santai, seolah tanpa beban.
Michelle menatapnya dengan mata terbelalak. “Pulang ke rumah om? Malam?”
“Kenapa tidak? Aku sudah terbiasa terbang ke negara itu di malam hari,” jawab Alfred.
Michelle terdiam sesaat, hatinya hangat sekaligus penuh gelisah.“Aku harus persiapkan apa? Keluarga om galak-galak, tidak? Aku... aku belum cukup mental menghadapi mereka. Bagaimana kalau aku salah langkah? Kalau mereka sampai membenciku? Atau—" suaranya melemah, bibirnya gemetar — “ mereka nanti malah menyuruhku pulang sendiri ke sini?”
Alfred tersenyum tipis, senyum yang penuh tipu daya dan kelicikan. Matanya berkilat, menyadari betapa polos dan mudahnya istrinya terpancing.
“Mereka memang galak,” katanya pelan, “cukup satu kesalahan kecil saja, dan kau bisa saja... kancing celanamu.”
Michelle mengerutkan dahinya, ketakutan merayap di balik tatapannya yang lugu. “Serius? Keluargamu—om—sangat menakutkan?” Suaranya bergetar, mencoba meredam kegelisahan yang membesar di dadanya. Alfred hanya mengangguk pelan, memberi jawaban tanpa kata.
“Kalau aku tidak ikut, boleh tidak? Aku belum siap menghadapi keluargamu,” bisik Michelle, jari-jarinya bergetar, meremas-remas tanpa sadar sambil menunduk—seperti kucing kecil yang ketakutan menyembunyikan dirinya.
“Tidak bisa. Kamu harus ikut. Ini resikonya kalau kamu sudah jadi istriku,” suara Alfred tegas, tanpa ruang kompromi.
Michelle menghela napas panjang, menelan segala rasa berat yang memenuhi dadanya. Ia hanya mengangguk pasrah.
“Kalau kamu bisa jaga sikap, mereka pasti akan menerima kamu,” Alfred berusaha meyakinkan.
Tapi dalam hati Michelle, badai itu baru saja dimulai. “Bagaimana ini? Mereka pasti mengharapkan kak Elena. Akulah yang jadi istrinya sekarang. Ada tidak ya, satu orang pun di sana yang mengerti aku?”
Bayangan terburuk menghantui—“Jangan-jangan mereka bakal menyalahkanku karena kak Elena kabur? Tidak! Aku cuma korban di sini,” bisiknya dalam hati, sambil geleng-geleng pelan.
Memandang wajah istrinya yang terus berubah-ubah, Alfred menahan tawa kemenangan yang menggelegar di dalam dadanya. Ia merasa seperti pemenang dalam permainan licik yang berhasil dia rancang untuk menjebak istrinya.
"Sepertinya seru juga menggoda gadis lugu ini," batin Alfred.
Saat ponsel sang istri bergetar menandakan pesan baru masuk, sebuah angka fantastis terpampang: saldo sepuluh milyar rupiah tiba-tiba mengisi di akunnya. Namun, anehnya, Michelle tidak menunjukkan kegembiraan seperti sebelumnya.
Alfred menyipitkan mata, perlahan melirik isi pesan itu sebelum menatap dalam-dalam wajah cemberut Michelle. “Apa yang kamu menangkan sampai dapat uang sebanyak itu?”
Wajah Michelle seketika merekah, tersungging senyum penuh kepuasan. “Lukisanku terjual, Om. Dibeli oleh orang asing, harganya sepuluh milyar.”
Alfred tertawa getir, suaranya penuh ejekan. “Lukisan apa itu sampai dihargai segila itu? Orang yang membeli pasti buta dan tak tahu apa-apa.”
Michelle merengut, darah kebanggaannya menggelegak. “Om belum lihat lukisanku sama sekali tapi berani bilang tidak berharga? Om tega sekali.”
“Kalau begitu, tunjukkan lukisan itu! Biar aku sendiri yang menilai,” tantang Alfred dengan senyum tajam.
Wajah Michelle masih mengerut kesal saat ia membuka galeri ponselnya, menunjukkan lukisan yang dulu sempat ia potret sebelum dilelang.
Alfred mengangkat satu alis, suaranya dingin tapi santai, “Biasa saja.”
Kata-kata itu menusuk, membuat hati Michelle semakin panas. Dengan cepat, dia menutup layar ponsel hingga menjadi gelap gulita.
Tiba-tiba, Alfred tertawa pelan sambil mengacak rambutnya dengan lembut. Ekspresi itu begitu asing, bahkan untuk Michelle yang biasanya hanya bertemu dengan wajah suaminya yang serius. Ia tertegun, seolah melihat sisi lain dari pria itu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
“Ganteng,” gumamnya pelan dalam hati, senyum tak sadar muncul di bibirnya.
Alfred menyadari gelaknya, lalu menengahi dengan berdehem ringan, menyembunyikan kesan santainya. “Butuh bantuan?"
Michelle menatapnya, penasaran. “Bantuan? Misalnya?”
“Kartu untuk menyimpan uangmu. Kalau terus di ponsel, bisa-bisa hilang entah kemana,” jawab Alfred sambil tersenyum hangat.
Michelle mengangguk cepat, perasaan lega dan senang menyatu di dadanya. “Besok aku akan dapat kartu itu?”
“Betul.”
“Terima kasih, Om,” ucap Michelle dengan mata yang berkilau, hati kecilnya dipenuhi harapan baru.