Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
"Apakah pernikahan itu rencana Anda?"
Pertanyaan Bayu terdengar tenang, tapi sorot matanya serius. Ia bukan sekadar mitra bisnis Yudhistira, melainkan juga adik ipar Harris Aditama. Meski sudah membelot dari keluarga Aditama, Yudhistira tetap harus hati-hati karena di lingkungan mereka, kepercayaan hanyalah topeng. Karena setiap orang punya kepentingan sendiri.
Yudhistira tersenyum tipis, menatap lurus ke arah Bayu. "Menurutmu?"
Jawaban itu membuat Bayu terdiam. Dadanya bergemuruh, dihantam perasaan yang saling bertolak belakang antara puas sekaligus gusar. Ia memang ingin melihat bara lama antara keluarga Wijaya dan Aditama kembali berkobar. Tapi caranya Itu yang sulit ia terima.
Bayu menggertakkan gigi, menahan amarah. Jika pernikahan itu justru menyatukan kembali kedua keluarga, maka semua rencana yang ia bangun selama ini bisa runtuh dalam sekejap.
"Jadi... apa tujuan pernikahan itu?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara lebih rendah namun penuh tekanan. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan.
Yudhistira mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Ia tidak benar-benar tahu alasan Lingga memilih Diandra, tapi ia cukup cerdas untuk menyembunyikan ketidaktahuannya. Ia tidak mau menjadi pion dalam permainan orang lain. Biarlah publik berspekulasi, karena ia sendiri tidak tahu rencana Lingga di balik semua itu.
"Kamu paham, bukan?" suaranya terdengar pelan namun berwibawa. "Keluarga Wijaya tidak pernah melangkah tanpa tujuan yang jelas. Apa yang terlihat di permukaan, itu hanyalah bagian kecil dari permainan."
Bayu terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. Ia tahu Yudhistira tidak berbohong. Selama ini keluarga Wijaya memang dikenal lihai dalam berbisnis, dengan jaringan yang menjangkau pengusaha, pejabat, hingga lingkaran internasional.
Dan itulah yang membuat Bayu harus berhati-hati. Mendapatkan kepercayaan keluarga Wijaya tidaklah mudah. Ia sudah mengorbankan terlalu banyak untuk sampai sejauh ini.
Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Karena tujuan Bayu hanya satu yaitu menumbangkan keluarga Aditama.
Keluarga besar istrinya sendiri.
"Kalau begitu, mari kita bekerja sama, Pak Yudhistira." Suara Bayu terdengar tenang, tapi tatapannya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ia tahu, jika hanya menjadi penonton dalam permainan ini, ia bisa kalah bahkan sebelum sempat melangkah.
"Kerja sama?" dahi Yudhistira berkerut, alisnya terangkat.
"Tujuan kita sama, bukan?" Bayu menatapnya penuh arti. "Saya punya cara cepat untuk mencapainya."
"Cara cepat?" Yudhistira menatap penuh selidik.
Bayu tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Anda tentu belum lupa... putra Anda, Lingga, pernah menjalin hubungan dengan putri saya."
Sekilas tatapan Yudhistira berubah. "Ya, saya ingat. Lalu?"
Senyum Bayu melebar, kali ini lebih licik. "Bagaimana kalau kita dekatkan mereka lagi? Jika itu berhasil, keluarga Aditama akan hancur dari dalam. Harris tidak akan pernah sanggup menerima bila anaknya diduakan. Retaknya hubungan Lingga dan Diandra... akan menjadi senjata paling mematikan yang kita punya."
Yudhistira hanya terdiam, menimbang setiap kata Bayu.
Melihat itu, Bayu melanjutkan dengan nada lebih meyakinkan. "Saya sangat mengenal Diandra. Dia keponakan saya sendiri. Gadis itu pekerja keras, pintar, dan keras kepala. Dia bahkan memilih jadi dokter hanya karena menolak dijadikan pion ambisi orang tuanya. Percayalah, dia tidak akan tinggal diam bila mengetahui suaminya masih memiliki wanita lain. Apalagi... hubungan Lingga dan Celina masih bisa kita hidupkan kembali, bukan?" setelah mengatakan itu Bayu menyandarkan punggungnya, seolah sudah menaruh pion pertama dalam papan permainan.
"Anda tahu bagaimana hubungan Lingga dan putri Anda," ujar Yudhistira datar, mengingat masa lalu mereka.
Bayu tersenyum tipis. "Justru itu, Pak Yudhistira. Kalau rencana utama sulit dijalankan, kita kembali ke rencana lama. Menyatukan Lingga dan Celina akan lebih efektif. Diandra tidak akan sanggup menahan pengkhianatan itu, dan Harris pun akan kehilangan kendali. Dari situlah keluarga Aditama bisa kita hancurkan."
Yudhistira terdiam, menimbang. Hanya sudut bibirnya yang sedikit terangkat, tanda ia mulai tertarik dengan permainan berbahaya ini.
______
"Yang nyebarin berita itu... bokap lo sendiri, Ga." suara James terdengar berat setelah ia meletakkan berkas bukti di meja.
Mendapatkan informasi itu bukan hal mudah. James sampai harus mengerahkan orang-orang kepercayaannya, menyusup ke berbagai celah, karena pelakunya adalah orang dalam sendiri.
Lingga membeku. "Dia?" suaranya rendah, nyaris tak terdengar.
Selama ini ia sudah terlalu banyak mengalah, mengikuti setiap langkah dan kehendak sang ayah. Tapi ternyata, pria tua itu justru menikamnya dari belakang.
James hanya mengangguk pelan. Wajahnya menegang, jelas ia pun tak menyangka akan menemukan fakta itu. Sampai kapan hubungan ayah dan anak ini hanya berisi pengkhianatan?
"Gue belum tahu alasan pastinya," ucap James pelan, "tapi gue yakin... ini cuma peringatan pertama buat lo, Ga."
Tatapan Lingga mengeras. "Dia ada di kantor?"
"Di ruangannya."
Tanpa banyak bicara, Lingga bangkit. Wajah dinginnya tidak menunjukkan emosi, tapi langkahnya penuh tekanan. Ia membuka pintu ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk.
Yudhistira sedang duduk di balik meja besar, seolah sudah menunggu. Bibirnya melengkung tipis. "Sudah berubah pikiran?" tanyanya tenang, seolah tahu alasan putranya datang.
Lingga mendekat, tatapannya tajam menusuk. "Kali ini... apa lagi yang Anda inginkan?"
Alis Yudhistira sedikit terangkat. "Apa maksudmu? Saya hanya mengusik wanita-"
"Wanita itu istri saya." potong Lingga tegas, suaranya dingin.
Sekilas senyum tipis Yudhistira muncul. "Oke. Istrimu. Anggap saja saya hanya memberi peringatan... tentang siapa keluarga Wijaya sebenarnya."
Lingga mengepalkan tangan. "Jika Anda menyentuh istri saya, sama saja Anda menyentuh saya."
"Tenang." Yudhistira bersandar santai di kursinya. "Ayah tidak akan mengusiknya. Tapi..." ia menatap tajam, penuh penekanan, "kembalilah pada Celina."
Lingga terdiam beberapa detik, mencoba menahan gejolak di dadanya. Namun begitu nama Celina terlontar lagi dari bibir ayahnya, darahnya mendidih.
"Celina?" suaranya meninggi, untuk pertama kalinya ia membentak di ruangan itu. "Berapa kali saya harus bilang kalau semua itu sudah selesai?! Jangan pernah bawa-bawa nama dia lagi di hadapan saya!"
Yudhistira tetap duduk tenang, seolah bentakan Lingga hanyalah angin lalu. Senyum tipisnya bahkan semakin jelas, seperti menikmati amarah putranya.
Lingga mengepalkan tangannya di atas meja ayahnya. "Jangan pikir saya akan kembali pada masa lalu yang busuk itu hanya karena Anda menginginkan sesuatu. Hidup saya bukan pion catur yang bisa Anda geser sesuka hati!"
Nada suara Yudhistira tetap rendah, namun dingin menusuk. "Kau pikir kau sudah bebas, Lingga? Kau pikir dengan menikahi perempuan itu kau bisa keluar dari bayangan Ayahmu?" Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Selama darah saya mengalir di tubuhmu, kau tidak pernah benar-benar punya pilihan."
Lingga terdiam, wajahnya menegang. Amarahnya bercampur dengan luka lama yang kembali diungkit.
"Itulah yang paling saya sesali selama ini," ucapnya dengan suara bergetar menahan emosi. "Kenapa darah Anda harus mengalir di tubuh saya."
Mata Yudhistira menyipit, tapi bibirnya masih melengkung tipis. "Fakta itu tidak bisa kau tolak, Lingga. Sebenci apa pun kau pada Ayahmu, kenyataannya... kau tetap darah daging saya." Kalimat itu selalu ia gunakan, semacam tali yang berusaha mengikat agar Lingga tidak benar-benar pergi meninggalkannya.
Karena hanya Lingga adalah satu-satunya anak yang bisa ia andalkan. Namun, tragedi tiga puluh tahun lalu membuat hubungan ayah dan anak itu retak, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh hingga kini.
Lingga mengepalkan tangannya. "Dan faktanya, anak Anda bukan hanya saya." Nada suaranya dingin, namun penuh sindiran.
Sekilas senyum Yudhistira memudar. Lalu dengan suara berat, ia menekankan setiap kata. "Pilihan ada di tanganmu, Lingga. Saya sudah cukup lama menahan diri." Matanya menatap tajam, menekan tanpa kompromi. "Jangan buat Ayahmu ini kehilangan kesabaran... karena kau tahu persis apa yang akan saya lakukan kalau itu terjadi, bukan?"