Setelah ibundanya meninggal, sang ayah pulang membawa istri baru dan tiga orang anak.
Fania yang dulunya putri tunggal kesayangan, kini harus mengalami cobaan hidup yang pahit. Ibu dan kakak tiri yang selalu menyiksanya, membuat sang gadis kecil ketakutan.
Kabur dan bersembunyi di sebuah desa kecil bersama simbok tercinta, dan dukungan orang-orang yang menyayanginya, Fania kecil berusaha tumbuh melawan trauma dan rasa takutnya.
Kecurigaan orang-orang terhadap kematian Ibundanya, menyingkap kebenaran atas kematian Ibundanya.
Terus berguru dengan orang-orang hebat. Fania tumbuh menjadi gadis yang kuat dan berani. Ia bertekad untuk membalaskan kematian Ibundanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CloverMint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 29
"Hah? Kenapa rambutmu dipotong pendek begitu? Seperti anak laki-laki saja?" tanya Pak Rojak kaget begitu Nia melepas topi yang dipakainya.
"Ah... Pakde.... Ngingetin Nia soal rambut ini!"
"Loh memang kenapa?" tanya Pak Rojak heran.
"Ini loh Pakde, kemarin pas Nia potong rambut di salon Bu Lely, ehh.. Pas Bu Lely lagi gunting rambut Nia, anaknya Bu Lely tiba-tiba lari menabrak Bu Lely! Jadi guntingnya salah.. Mau marah juga bukan salah bu Lely, mau marahin anaknya Bu Lely tapi ya namanya juga anak-anak. Ya sudah deh Nia ngalah dan akhirnya potong pendek seperti ini!" jelas Nia manyun.
"Hahahaha."
"Nggak papa Nia, kamu jadi terlihat lebih segar. Irit shampo juga nanti. Hahaha" ucap pak Rojak menggodanya.
"Iya benar Pakde. Nia juga nggak perlu sisir rambut. Ngggak panas lagi." jawab Nia dengan polosnya, tak sadar bahwa Pak Rojak sebenarnya sedang menggodanya.
"Pakde, nanti kalau Nia sudah pindah ke Jakarta, Nia bisa main ke sini lagi nggak ya." gumam Nia.
"Nia, Jakarta dan Desa Anyelir jaraknya nggak jauh kok. Nia bisa main kemari kapan saja."
"Kata Mama Hani jaraknya 5 jam naik mobil. Nanti kalau Mama laura dan Kak Resi tahu Nia akan tinggal disana lagi, gimana ya Pakde?"
"Nia, kamu nggak usah mikirin pendapat Laura maupun Resi. Yang harus Nia pikirkan adalah bagaimana Nia akan bertindak nantinya. Ibarat kalau sedang bertarung, kita harus melihat gerak-gerik lawan, dan memikirkan cara menghadapinya!" nasehat Pak Rojak.
"Iya, Pakde. Makasih atas nasehatnya ya, Pakde. Nia sekarang tahu apa yang harus Nia lakukan." jawab Nia senang.
"Yang harus Nia perhatikan adalah Nia nggak boleh lengah. Apapun yang terjadi di sana, Nia harus tetap waspada!" nasehat pak Rojak.
"Iya Pakde, Nia janji akan selalu waspada."
"Nia, Pakde kasih tahu kamu sesuatu ya.. Nama asli Laura itu sebenarnya Sumini, dia dulu pernah bekerja sebagai pembantu di rumah sindikat narkoba. Narkoba itu obat terlarang, obat berbahaya yang dapat merusak tubuh kita. Sindikat narkoba itu. orang-orang yang mengedarkan obat-obatan terlarang tersebut."
"Waktu Pakde masih jadi polisi, tugas Pakde adalah memata-matai sindikat tersebut. Tetapi saat itu Pakde lengah. Sindikat itu tahu kelemahan pakde lebih dulu. Mereka menculik anak Pakde dan menghabisinya. Laura ini yang dulu membantu sindikat tersebut menculik anak Pakde. Maka dari itu, Pakde minta Nia harus benar-benar waspada menghadapi Laura. Jangan pernah lengah ya, nak!" pesan pak Rojak sambil menatap Nia.
Nia yang diam mendengar cerita pak Rojak sangat kaget, "Mama Laura jahat sekali, Pakde.."
"Nia akan hukum Mama Laura, Pakde! Tega sekali Mama Laura berbuat seperti itu!" geram Nia.
"Kamu jangan gegabah Nia!" seru Pak Rojak.
"Ingat Nia, kamu harus punya strategi. Sama seperti saat kamu berlatih pencak silat, kamu harus memperhatikan gerak gerik musuh. dan kemudian mengatur posisi sebelum menyerang! Intinya, kamu jangan gegabah dan main serang." nasihat Pak Rojak.
"Nia mengerti, Pakde." ucap Nia sambil menatap pakde sendu, lalu memeluk Pakde nya.
"Pakde jangan sedih lagi ya. Pasti anak Pakde sudah bahagia sama Mama Fira sekarang. Seperti Pakde menyayangi Nia, disana Mama Fira juga pasti menyayangi anak Pakde."
Pak Rojak yang mendengar kata-kata Nia tanpa terasa menitikkan air mata dan memeluk Nia semakin erat.
"Ingat ya Nia, kamu adalah anak Pakde dan Bude. Kamu harus kuat, berani. dan berjiwa ksatria!" pesan Pakde.
"Iya, Pakde."
"Ya sudah, Pakde. Nia pamit pulang dulu ya. Nanti malam Nia mau makan bareng keluarganya Arum."
"Ya sudah sana hati-hati!" jawab Pak Rojak.
###
Ismail dan Indra sedang berada di rumah Nia di Jakarta, duduk berhadapan dengan Wahyu dan Laura.
"Kalian ini! Kalian semua memang cuma tong nasi! Parasit!" bentak Ismail dengan keras.
"Mana Nia?! Sampai sekarang kalian nggak bisa menemukan Nia!! Mana usaha kalian mencari Nia, mana!! Tong kosong kalian semua!" bentak Ismail lagi.
Wahyu dan Laura cuma diam menunduk tak berani mengangkat wajah, apalagi menjawab.
"Kalau kamu bukan ayah kandung Nia, sudah aku jadikan makanan buaya kamu!" bentak Ismail sambil menunjuk Wahyu.
"Maaf Pak, kami sudah berusaha mencari kemana-mana, tetapi belum ketemu." Jawab Wahyu takut-takut.
"Cari kepalamu itu!! Dasar tidak berguna! Parasit kalian itu, Parasit! Ngapain saja kalian selama ini!" bentak Ismail sambil memukul meja tamu.
"Kalian dengar baik-baik, ya! Kami sudah mengetahui keberadaan Nia! Dalam waktu dekat, Nia akan kembali ke rumahnya ini! " ucap pak Ismail.
"Nia sekarang di mana, Pak? saya ingin bertemu dengan Nia." tanya Wahyu takut.
"Buat apa kamu ketemu Nia sekarang? Tidak perlu! Nanti juga dia akan pulang ke rumahnya!" bentak Ismail lagi.
"Dan kamu siapakan dua kamar! Saya mau Nia tidur di kamar lamanya karena ini adalah rumah miliknya! Kapanpun Nia kembali kamar tersebut sudah harus siap! Bisa malam ini, bisa lusa, atau mau bulan depan, saya mau kamar Nia sudah siap sebelum dia pulang!"
"Baik, baik Pak. saya akan siapkan kamarnya." jawab Wahyu sambil mengangguk-anggukan kepalanya, masih belum berani menatap Ismail.
"Nggak bisa dong, Pak! Kamar itu sudah dipakai Resi anak saya. Bapak nggak bisa seenaknya menyuruh dia pindah!" ujar Laura buka suara karena tidak terima kalau kamar yang diberikannya kepada Resi harus kembali dipakai Nia.
Sebelum menjawab , Ismail menatap tajam kearah Laura.
"Kalau bukan perempuan sudah aku beri kamu! Biar tahu rasanya tinju ini! " bentak Ismail sambil mengarahkan tinju ke muka Laura.
Laura tentu saja terkejut dan langsung terdiam.
"Kamu bukan orangnya Subroto! Kamu tidak ada hubungan sedikitpun dengan keluarga Subroto! Suara kamu tidak berguna disini. Detik ini juga saya bisa melempar kamu ke jalan Sumini. Jangan pernah kamu main-main dengan saya. Sekali lagi kamu membuat ulah dan membuat emosi saya naik, kau akan tahu akibatnya! Silahkan saja kalau kau berani." bentak Ismail dengan wajah bengis.
Laura kaget mendengar nama Sumini. Ia langsung terdiam,
'Sialan bandot tua ini! Sampai sejauh mana dia tahu tentangku!' batinnya.
"Wahyu, ini adalah peringatan terakhir dari saya. Jika kejadian seperti ini terjadi lagi, saya tidak segan-segan mendepak kalian ke jalanan. Kamu tahu saya tidak pernah berbicara omong kosong!"
"Ingat baik-baik Sumini, saya bukan orang yang gampang kau bodohi apalagi kamu permainkan. Jangan coba-coba bermain dengan saya. Sekali lagi saya mendengar, atau melihat Nia menderita, maka saya tidak akan mengampuni kalian sekeluarga!" ancam Ismail.
Laura tidak menjawab. Ia masih kaget karena Ismail mengeyahui nama asilnya. Padahal Wahyu yang suaminya pun tidak mengetahui sampai saat ini.
Wahyu bingung karena Pak Ismail memanggil Laura dengan nama Sumini? Dia mau bertanya tetapi dia takut dengan amukan Ismail. Alhasil, dia hanya diam.
"Kalian dengar baik-baik apa yang sudah di minta pak Ismail."
"Saat Nia kembali, semua perhiasan Fira harus kamu serahkan ke Nia. Saya sudah tidak percaya dan tidak lagi mau mendengar omong kosong kalian!" ucap Indra kepada Wahyu.
###
Setelah kepulangan Indra dan Ismail, Wahyu menatap Laura dengan tatapan penuh selidik.
"Siapa Sumini?" tanya Wahyu sambil menatap Laura.
"Sumini, apa itu namamu? Tadi Pak Ismail- menyebutmu sebagai Sumini." ujar Wahyu.
"Sudahlah Pa, Ismail itu sudah tua, mungkin dia tidak ingat namaku, dan memanggilku dengan nama asal-asalan." jawab Laura.
"Sudah, besok kamu rapikan kamar Nia, seperti perintah Pak Ismail!" bentak Wahyu kesal.
"Nggak bisa dong, Pa. Kamar itu milik Resi dan sebelahnya kamar milik Rangga!" sentak Laura jengkel.
Wahyu menatap tajam Laura.
"Aku nggak mau dibantah, aku nggak mau jadi gelandangan! Jadi jangan banyak bicara dan turuti saja perintah Pak Ismail! Atau kamu bisa ke jalanan sendiri saja sana!" bentak Wahyu.
Laura hanya bisa terdiam.