Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 28
Kadang Tenggara bertanya-tanya, kenapa ya hidup ini tidak bisa berjalan lurus saja? Kenapa harus berkelok-kelok, yang kadang kelokannya terlalu tajam sampai membuat kita kehilangan keseimbangan? Kenapa harus melewati naik turun jalan bebatuan, kalau sebetulnya ada rute lain yang jalannya mulus beraspal? Hanya agar menantang saja, kah? Atau supaya ada cerita untuk dibagikan kepada anak-anak keturunan kelak?
Hidup Tenggara sudah tidak mulus sejak maminya meninggal. Banyak jatuh bangun sudah dirasakan. Berhasil dilewati juga walau pada awalnya terasa seperti hampir mati.
Ditempa begitu kiranya mampu membuat mentalnya sekuat baja dan tak lagi takut apa pun. Ternyata tidak juga. Kini saat menemukan nomornya diblokir oleh Ganesha, dia masih tetap kelimpungan tuh. Bingung dan linglungnya bahkan lebih parah daripada sewaktu menguburkan mami atau melepas kepergian Rene sekalipun. Kalau di dua momen terberatnya itu dia masih punya satu kaki untuk berpijak, yang kali ini rasanya benar-benar lumpuh. Kehadiran Ganesha ternyata sepenting itu. Entah iblis mana yang telah membutakan pandangannya selama ini.
"NGGAK ADA! NGGAK TAU! NGGAK PEDULI! BYE!"
Bahkan dibentak-bentak oleh Kafka pun sampai tidak mampu membuatnya merasa kesal. Tidak ada gerutuan atau sekadar helaan napas berat saat teleponnya diputus secara sepihak. Hatinya malah semakin gundah gulana, tak tahu lagi harus bertanya pada siapa untuk menemukan keberadaan Ganesha.
Sebelum membuang gengsinya jauh-jauh untuk menelepon Kafka, dia sudah lebih dulu menghubungi Selena yang lebih bisa diajak kerja sama. Tapi jawaban gadis itu tak jauh berbeda: tidak tahu. Katanya sejak pulang dari festival kampus sore tadi, Ganesha tidak mengabari sama sekali. Data selulernya juga dimatikan sejak dua jam terakhir.
"Tolol, tolol. Kan bisa diomongin baik-baik, kenapa malah milih marah-marah?"
Tapi, hei, kalaupun bisa mengulang waktu, memangnya ada jaminan dirinya tidak akan menghadapi situasi sore tadi dengan cara yang sama?
Karena demi Hades dan cintanya yang begitu besar pada Persefone, api amarah di hatinya terlalu membara untuk bisa diredam hanya berbekal akal sehat. Sudah bagus tak dia realisasikan niat untuk membunuh orang. Coba kalau dia nekat, apa tidak semakin gawat?
Masalahnya... sekarang harus bagaimana? Jarum pendek jam sudah menunjuk angka sebelas dan jarum panjangnya di angka delapan. Sudah hampir tengah malam. Tidak etis juga untuk pergi menyatroni rumah Ganesha sekarang. Iya kalau dibukakan pintu, kalau tidak? Bisa habis dirinya digeruduk warga karena dianggap mengganggu.
Melepaskan ponsel dari genggaman, Tenggara menggulingkan tubuhnya ke kanan. Kasur empuk yang dia tiduri hari ini dibalut sprei motif luar angkasa warna biru tua. Kebetulan sialan yang malah membuat hatinya semakin nelangsa.
Seperti orang gila, telapak tangannya merambat, membelai lembut tiap sisi sprei seolah sedang mencari jejak Ganesha di sana. Yang mana tidak akan ketemu mau seberapa keras pun dia mencoba.
"Sadarlah, Kak. Lo yang selalu bilang kalau fans adalah segalanya."
Kepalanya makin mumet saja kalau mengingat tumpahan unek-unek Ganesha sore tadi. Jantungnya sampai terasa seperti diremas seribu tangan raksasa waktu akhirnya sadar bahwa Ganesha sudah berkorban banyak.
Selama tiga tahun berkarier, dia pikir effort yang dia keluarkan untuk fans sudah yang paling top nan aduhai. Ternyata dia salah. Zaloria bisa langgeng dan menjadi sebesar sekarang justru karena kebesaran hati Ganesha. Coba kalau sejak awal gadis itu mau terang-terangan menumpahkan unek-uneknya, pasti mereka sudah sering bertengkar karena berbeda pendapat dan band yang dia dirikan ini mungkin hanya akan bertahan beberapa bulan.
"Lo nggak akan sampai kayak gini kalau emang nggak suka sama dia."
Kalau boleh jujur, Tenggara juga masih belum yakin apakah omongan Mathias itu benar. Terlalu sulit mengidentifikasi perasannya untuk saat ini. Terlalu banyak hal yang terjadi, dan itu membingungkan. Dia tak mau asal mengambil kesimpulan, kalau ujung-ujungnya malah akan membuat Ganesha semakin kesakitan.
"Ah, nggak tahulah! Tenggelem aja, Ga. Tenggelem sana ke Laut Merah."
Masih seperti orang gila, dia membentur-benturkan kepalanya ke kasur. Membuatnya membal naik-turun seperti bola kasti yang dilempar keras dan memantul.
Andai saja hal itu bisa membuat Ganesha tiba-tiba muncul....
......................
Apa itu pucuk dicinta ulam pun tiba? Di saat Tenggara kalang kabut sampai nyaris kehilangan kewarasan, seseorang yang dia tangisi malah sedang asyik menikmati waktu senggang. Tampangnya tak menunjukkan tanda-tanda seperti habis bertengkar hebat dengan her so called cinta pertama. Malah kelihatan happy dan tanpa beban. Roti bakar cokelat keju yang sedang dia kunyah hingga membuat bibirnya belepotan itu sudah piring yang kedua. Sementara jahe susu di gelas rendah itu akan dia isin ulang sebentar lagi.
"Dasar bocil. Makan aja belepotan."
Sewaktu seonggok ibu jari menyeka sudut bibirnya yang berlumur cokelat pun, Ganesha masih santai saja. Tetap mengunyah sambil kakinya mengayun-ayun sebab telapaknya tak sampai menyentuh lantai. Jangan salahkan tinggi badannya, salahkan saja bangku kayu di kedai kopi ini yang terlalu tinggi.
"Balik naik taksi atau naik kuyang?"
"Naik babi hutan," sahutnya asal. Sebelah pipinya menggembung, sengaja membiarkan roti bakar tersimpan di sana sedikit lebih lama sebelum lanjut dikunyah. "Abang mau panggilin?" susulnya.
Mathias mendelik pura-pura. "Kamu kira Abang pawang binatang?" decaknya.
Ganesha terkikik geli dan lanjut mengunyah. Di sebelahnya, Jeremy masih setia menemani. Dengan satu tangan dipakai menopang kepala dan satu tangan yang lain siaga. Satu tangan itu sejak tadi sibuk sekali. Menyeka bibir Ganesha yang belepotan, mengambilkan air mineral, menarikkan tisu untuk mengelap keringat yang berkumpul di kening, sampai menadahi remahan keju parut agar tak jatuh mengenai dress warna salem yang gadis itu kenakan.
"Ngomong-ngomong nih," Mathias mulai lagi. Berhubung rokoknya tak bisa dibakar selama ada Ganesha di sini, dia memutuskan untuk banyak berbicara agar mulutnya tak semakin terasa asam. "Ada angin apa kamu mau nongkrong di sini, tapi nggak mau ada Tenggara?"
Aduh, kenapa harus disebut sih namanya? Membuat selera makannya turun saja deh.
"Emang kenapa? Abang nggak suka?"
"Bukannya nggak suka," Mathias menaikkan satu kakinya, setengah bersila menghadap ke arah Ganesha. "tapi heran aja. Kamu kan bucin mampus sama dia. Agak nggak masuk akal jadinya."
Fix, Ganesha sudah tidak selera menghabiskan roti bakarnya. Sayang sekali, padahal tinggal dua gigitan lagi. Tapi daripada dipaksakan, nanti malah muntah dan makin mubazir.
"Lagi marahan," katanya. Malam ini, dia mendadak cosplay jadi tuan putri. Sudahlah dibantu bukakan tutup botol, masih malas juga memegang botolnya sendiri. Benar-benar aji mumpung, tak tanggung-tanggung memanfaatkan kebaikan hati Jeremy.
Bunyi ahhh mengudara setelah dirinya puas menenggak air mineral. Tak lama berselang, jahe susu susulan yang dia pesan juga datang. Namun, karena perutnya sudah kenyang, gelas rendah itu berakhir dia serahkan pada Mathias.
"Marahan kenapa?" tanya Jeremy. Sedari tadi diam melayani, jiwa keponya sepertinya mulai bangkit.
Ganesha pura-pura berpikir dengan pandangan berlarian tak tentu arah. Hanya untuk berkata bahwa ya... ingin saja. Tidak ada alasan khusus dari pertengkarannya dengan Tenggara kali ini.
Karena kalau dia jujur soal perdebatan di backstage kampus sebelumnya, Ganesha pasti akan menyaksikan wajah tampan Tenggara dihadiahi bogem mentah tak kira-kira. Bisa oleh salah satu abang tampan di kanan dan kirinya ini, bisa juga langsung oleh dua-duanya. Tentu dia tidak ingin itu terjadi. Walaupun marah dan rasanya ingin menghancurkan bumi, dia tetap tidak rela Tenggara terluka.
Ayo, kalian jangan lupa kalau tolol sudah menjadi nama tengah Ganesha.
Iya, iya, dia akan move on. Tapi bukan berarti harus membiarkan orang yang dia cinta selama bertahun-tahun babak belur, kan? Selain jahat, itu juga tidak keren sama sekali. Not her style.
"Anak-anak piyik kalau berantem emang bikin pusing," komentar Jeremy.
Mathias mengangguk setuju dan menambahkan, "Bagus yang satu dikirim ke Zimbabwe, satu lagi ke Saranjana."
"Ke Saranjana ketemu kuyang, Bang?" gurau Ganesha.
"Ketemu babu hutan!" balas Mathias.
Tawa Ganesha meledak-ledak. Menarik perhatian anak-anak tongkrongan dari meja sebelah untuk ikut menyimak.
Waktu terus bergerak dan malam semakin merangkak naik, tetapi Ganesha masih enggan beranjak pergi. Menenggelamkan diri di kamar dan menangis tersedu-sedu seperti terakhir kali ternyata tidak cocok untuknya. Lebih seru begini. Bertukar obrolan aneh dengan Jeremy dan Mathias lebih membantu untuk mengurai isi kepalanya yang kusut.
"Abang, kalau Elon Musk sama Trump tiba-tiba pacaran gimana, ya?"
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅