NovelToon NovelToon
Ashes Of The Fallen Throne

Ashes Of The Fallen Throne

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Epik Petualangan / Budidaya dan Peningkatan / Perperangan / Barat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mooney moon

Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Leiya dan Raya

Cassius memiringkan kepalanya sedikit, matanya menelusuri benda itu dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh. “Benda apa itu..?”

Jormund mengambil benda itu dari tangan Vala saat ia kembali, lalu mengangkatnya sedikit agar Cassius bisa melihatnya lebih jelas. “Ini darah hewan yang telah dikumpulkan dan dibiarkan menggumpal di suhu yang panas selama beberapa hari. Kami membentuknya menjadi batu kecil, padat dan pekat, lalu menggunakannya sebagai persembahan. Dalam setiap gumpalan ini, ada bagian dari siklus alam yang sudah kami akui. Hidup, mati, dan api.”

Tanpa banyak kata lagi, Jormund melemparkan benda itu ke dalam kawah. Suara kecil terdengar saat batu darah itu menyentuh abu dan bara. Seketika, bara dalam kawah itu bereaksi. Dari nyala tenang yang semula hanya berkerlip, kini berubah menjadi kobaran merah terang yang menyala dari dalam tanah, membentuk pusaran cahaya yang berdenyut dan meluas hingga ke tepi kawah. Seluruh altar utama diterangi oleh cahaya itu, seperti ditelan matahari yang sedang terbit dari dasar bumi.

Anehnya, meski cahaya itu begitu terang dan membara, tak ada hawa panas yang menyentuh kulit Cassius. Tak ada angin panas, tak ada tekanan udara yang naik. Hanya kilau merah itu… hidup, terbakar… namun tak membakar.

Jormund perlahan berlutut di depan kawah, kepalanya ditundukkan, tangan disatukan di dada. Vala pun mengikutinya, dengan gerakan anggun dan penuh hormat. Mulgur hanya berdiri di belakang mereka, sedikit menunduk, matanya tetap terbuka dan menatap ke dalam bara dengan senyum tipis di wajah keriputnya.

Cassius berdiri terdiam. Ia tidak tahu apakah harus ikut berlutut atau cukup menyaksikan. Tapi perasaan di dadanya terasa aneh, semacam ketegangan yang tidak mengancam, lebih seperti ketertarikan yang mengakar. Bara itu seakan menyentuh sesuatu di dalam dirinya.

Setelah beberapa saat doa berlangsung dalam hening penuh makna, sesuatu yang lain terjadi. Dari pusat kawah, mulai muncul asap pekat berwarna merah darah. Asap itu tidak mengepul tinggi, tapi mengalir perlahan seperti kabut yang keluar dari tanah, bergerak menuju arah Jormund dan Vala. Asap itu melingkari mereka dengan gerakan lambat dan lembut, lalu lenyap, seolah menyerap ke dalam tubuh mereka.

Jormund membuka mata, lalu berdiri perlahan. Vala mengikutinya dengan gerakan yang hampir bersamaan.

“Berkahnya telah diberikan,” ucap Jormund, suaranya kini lebih dalam dan penuh rasa hormat. “Asap itu bukan hanya simbol. Ia adalah bentuk nyata dari anugerah Galrath. Tidak semua doa kami dijawab, dan tidak setiap berkah bisa dilihat. Tapi saat asap itu muncul… artinya doa kami diterima.”

Cassius menatap mereka, lalu kembali menoleh ke arah kawah. “Apa yang kalian rasakan saat menerima… berkah itu?”

Jormund menoleh padanya, matanya yang tajam tampak lebih terang dalam cahaya bara. “Itu seperti... sepotong kehendak yang masuk ke dalam tubuhmu. Tidak kasar, tidak menyakitkan… tapi mengubahmu. Seiring waktu dan kesetiaan, berkah itu membentuk kami, menguatkan tubuh kami, mengubah darah kami, hingga kami... menjadi seperti ini.”

Ia mengangkat sedikit tangannya—kulitnya yang bersisik, dengan warna abu-abu gelap yang samar terlihat dalam cahaya bara.

“Wujud kami bukan hasil eksperimen. Bukan hasil dari sihir atau manipulasi tubuh. Ini adalah bentuk akhir dari ketaatan dan doa yang kami terima. Dan untuk mencapai bentuk ini... tentu ada ritual yang harus dijalani dan juga pengorbanan yang harus diterima. Tidak mudah, tidak cepat. Tapi suci.”

Cassius memandangi Jormund, lalu Vala, lalu kawah kembali. Hening yang menyusul terasa sedikit berat namun sakral, seperti sebuah pengakuan diam-diam bahwa ia sedang berdiri di tempat yang disakralkan oleh para draconian yang tinggal di kuil ini.

“Apakah... semua Draconian di sini telah menerima berkah itu?” tanyanya perlahan.

“Semua yang bertahan,” jawab Jormund. “Dan semua yang memilih tetap percaya.”

Cassius masih memandangi kawah bara itu, menyimpan pertanyaan yang mulai berputar dalam pikirannya. Ia teringat dengan insiden yang melibatkan Galrath dengan kerajaan, juga dengan keluarganya. Cassius berpikir apakah dia bisa menanyakan perihal insiden itu pada para draconian. Namun saat ia larut dalam pikirannya, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong batu di sisi kanan altar. Suara itu terdengar cepat namun ringan, seperti irama langkah pemburu yang terbiasa bergerak tanpa suara di tengah hutan.

Semua kepala pun menoleh hampir bersamaan.

Dari balik lengkung batu yang menjadi pintu masuk lorong, muncul dua sosok draconian. Penampilan mereka langsung mencuri perhatian Cassius, karena dari semua draconian yang ia lihat sejauh ini, dua yang baru datang ini… berbeda.

Tubuh mereka ramping dan lebih mungil, bahkan bila dibandingkan dengan Vala yang sebelumnya dianggap Cassius sebagai yang paling kecil di antara para draconian. Tinggi mereka hanya setara dengan wanita manusia biasa, dan gerak-gerik mereka terlihat sangat lincah, seolah setiap langkah sudah dihitung dengan presisi yang alami.

Yang paling mencolok adalah warna sisik mereka, ungu muda yang seakan menyerap cahaya dari bara dengan cara aneh. Membuat tubuh mereka tampak sangat mudah untuk bisa menyembunyikan diri meski dengan sisik yang menutupi tubuh. Mereka mengenakan armor ringan yang hanya melindungi bagian dada dan lengan, sementara bagian lain dibalut dengan pelindung kulit hewan yang tebal dan tampak fleksibel, seolah memang dibuat untuk bertarung cepat dan diam-diam, bukan untuk menahan serangan berat.

Mereka sangat mirip, nyaris identik. Namun Cassius, dengan naluri dan pengamatannya yang tajam, segera menangkap perbedaan kecil di antara keduanya.

Salah satu dari mereka memiliki sepasang tanduk kecil yang melengkung ke bawah, nyaris menyentuh tulang pipi. Ia membawa sebuah belati yang diselipkan di pinggang belakangnya, tersembunyi namun mudah dijangkau. Matanya tampak sedikit lebih tajam, menatap Cassius dengan rasa ingin tahu yang tidak berlebihan, tapi juga tidak sepenuhnya ramah.

Sementara yang satunya memiliki tanduk kecil yang melengkung ke atas. Ia membawa sebuah crossbow ringan yang disandang di punggung, dan terlihat lebih santai dibanding yang satunya. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya saat matanya bertemu dengan Cassius, seolah ia menikmati suasana lebih dari yang lain.

Senyuman Jormund langsung merekah, lebih hangat daripada sebelumnya. Ia membuka kedua tangannya seakan menyambut anak yang pulang dari perjalanan.

“Ah, akhirnya kalian kembali juga,” ucapnya dengan nada senang yang lembut namun penuh wibawa. “Cassius, perkenalkan… mereka adalah Leiya dan Raya.”

Leiya—yang bertanduk ke bawah dan membawa belati, mengangguk pelan sebagai salam. Gerakannya kaku namun tegas.

Raya—yang bertanduk ke atas dan membawa crossbow, justru sedikit membungkuk ke depan dengan tangan di dada, memberi salam yang lebih teatrikal. “Senang bisa bertemu denganmu, aku Raya” katanya dengan suara yang ringan namun tajam, seperti sedang mengukur Cassius hanya dari kata-katanya.

Cassius menyambut mereka dengan tatapan penuh minat, tidak merasa terancam namun tetap waspada. “Leiya dan Raya,” ulangnya pelan, mencoba mengingat nama mereka dengan benar. “Kalian berdua… kembar?”

1
Mưa buồn
Semangat thor, jangan males update ya.
Kovács Natália
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
yongobongo11:11
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!