zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Di tengah guyuran air hujan, albian mengemudikan mobilnya sambil terus mengedarkan pandangan ke sekitar mencari-cari ziara yang mendadak menghilang tanpa jejak. Langit pun mulai gelap, waktu juga sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi hingga kini albian belum bisa menemukan keberadaan ziara. Bahkan Hp istrinya itu juga belum aktif hingga sekarang.
Pada layar Hp nya nampak beberapa panggilan tak terjawab dari kontak milik diana. Tapi, albian memilih mengabaikannya. Ia yakin kalau Mamanya tengah khawatir sekarang mengingat albian yang pergi tanpa pamit untuk mencari ziara.
"Lo ke mana sih, zia? Maafin gue, zia. Gue gak bermaksud bikin lo sakit hati, apalagi merendahkan lo tadi." Albian tak hentinya menyesali kebodohan yang ia lakukan sehingga membuat ziara pergi.
Sejak pukul 5 sore, albian berkeliling mencari ziara. Sudah tiga jam lamanya ia mengemudikan mobil tanpa henti, tapi pemuda itu tak kunjung berhenti mencari keberadaan sang istri. Dibandingkan rasa lelahnya, rasa bersalahnya jauh lebih besar. Ia tak ingin berhenti sebelum ziara ditemukan.
Bukannya reda, tapi makin malam hujan pun makin lebat. Pandangan albian pun semakin terbatas karena guyuran air hujan.Pemuda itu menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu memukul setir kemudinya meluapkan amarah yang tertahan. "Gue emang bodoh! Kenapa gue gak akui aja tadi kalo zia istri gue? Soal arfa sama rifki, gue bisa bungkam mulut mereka biar gak bocorin masalah ini ke mana-mana." Kedua tangan albian memegangi kepalanya yang berat. "Sekarang karena kebodohan gue, ziara pergi entah ke mana. Apalagi dia gak ada tempat untuk pulang."
Tiba-tiba albian teringat dengan ucapan arfa tadi saat di rumahnya. Cowok biang gosip itu sempat bilang kalau ia bisa mendapatkan informasi dengan cepat karena banyaknya channel yang dimiliki.
Albian pun memilih menghubungi arfa, dan tanpa ragu ia menolak panggilan dari sang Mama meski ia tahu resikonya saat pulang nanti.
Arfa yang tak pernah bisa jauh dari Hp langsung menerima panggilan dari albian. Suara cempreng pemuda itu kali ini berhasil membuat albian sedikit lega karena teleponnya segera diangkat.
"Halo, ada apa, bian?" tanya Arfa di seberang sana.
“Lo tau nomornya Adeline gak?” albian langsung melontarkan pertanyaan tanpa basa basi terlebih dulu. Ia sudah sangat mengkhawatirkan ziara sekarang.
“eline? Temennya ziara itu bukan sih?” Agra mencoba memastikan, sebab di kelasnya juga ada yang bernama eline.
“Iya yang itu,” jawab albian. “Lo punya nomornya?”
“Waduh... Gue mana punya nomor tuh cewek, bian. Buat apa coba gue simpen nomor dia? Kenala aja enggak,” ucap arfa.
“Kalo gitu cariin gue nomornya eline. Gue tunggu lima menit, lo udah harus dapet,” titah albian. “Ini bukan permintaan, tapi perintah. Jangan sampe bikin gue nunggu lama! Gue tunggu,” sambung albian tegas.
Sambungan telepon pun diputuskan secara sepihak. Albian memegangi kepalanya yang semakin berat. Ia hanya bisa bergantung pada arfa sekarang.
Menit demi menit pun berlalu. Hingga di menit yang kelima, sebuah pesan masuk dari arfa pun ia terima. Pesan berisi kontak milik eline itu berhasil membuat albian bernapas lega.
"Thanks. Besok gue traktir sebagai imbalan." Pesan balasan dikirimkan pada Agra setelah albian merasa puas dengan hasil kerjanya.
Selesai mengirimkan pesan pada Arfa, albian pun menelepon eline. Meski mereka tak saling mengenal, tapi demi mencaritahu keberadaan ziara, albian yang selalu mengedepankan rasa gengsinya kali ini ia mengesampingkan rasa gengsinya demi ziara.
"Halo, siapa ya?" Suara eline mengalun di seberang sana.
"Halo, Del. Ini gue albian, anak managemen," jawab albian memperkenalkan diri. "Lo temennya ziara kan? Yang biasa bareng sama dia," tanya albian tanpa basa basi lebih dulu.
"Ohh... Jadi lo. Ada apa lo nelepon gue?" Suara eline yang tadinya terdengar ramah, kini berubah jadi ketus.
"Gue lagi nyariin ziara sekarang. Tapi nomornya gak bisa dihubungi. Lo tau gak dia di mana? Barangkali aja dia ke rumah lo."
"Mana gue tau. Lagian lo ngapain pake nyari ziara segala? Biasanya ketemu ziara aja lo langsung tantrum."
Albian menyandarkan kepalanya yang makin berat. Harapan satu-satunya pada Adeline lenyap begitu mendengar jawaban dari gadis yang masih terhubung dengannya di telepon itu.
"Gue... Yang jelas sekarang ini gue lagi nyariin dia. Gue kuatir dia lagi kehujanan atau ketemu orang jahat di luar sana," jawab albian sambil teringat air mata ziara yang jatuh di hadapannya. "Nanti kalo lo tau kabar dari ziara, bisa minta tolong hubungin gue ya? Gue baru akan tenang kalo udah denger kalo dia baik-baik aja."
Hening.
eline mendadak tak mengeluarkan sepatah kata pun di ujung sana. Gadis itu bahkan tak terdengar tengah bernapas, padahal tadi napasnya terdengar sangat kencang.
"Lo dengerin gue kan, lin?" tanya albian setelah cukup lama keheningan di sana. Linl... Lo masih di sana?" sambungnya.
"Ehh... Iya-iya, bian. Gue denger kok. Tadi gue lagi ngelag sebentar, hahaha," jawab eline dengan tawa yang menguar di akhir kalimat. "Soalnya lo aneh aja. Gak kayak albian biasanya. Makanya gue agak kaget."
"Ya udah kalo gitu. Jangan lupa nanti kabari gue kalo lo dapat info soal ziara ya." Albian mencoba mengakhiri obrolan yang terlalu panjang dengan eline.
"Oke. Siap deh. Nanti gue kabari lo kalo dapet. Tapi, gak janji ya. Soalnya habis ini gue mau tidur."
Alnian menautkan kedua alisnya. Ia agak keheranan mendengar jawaban dari sahabat istrinya itu. Setahunya, Adeline begitu dekat dengan ziara, kemana pun mereka berdua selalu bersama. Tapi, kenapa kali ini eline terdengar tak mencemaskan ziara?
"Thanksya."
Sambungan telepon segera diakhiri oleh albian.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di kamar eline. Gadis dengan rambut yang dicepol satu itu menatap menelisik seorang gadis bercadar yang tengah duduk di tepi ranjangnya.
"Bisa dijelaskan ini maksudnya apa, ziara Kalya ? Kenapa seorang albian bisa nyariin lo dan keliatan kuatir banget sama lo?" tanya eline seraya bangkit dari kursi meja belajarnya dan berjalan menghampiri ziara.
"Aku ... Tadi aku... Jadi gini, lin-"
"Langsung ke intinya aja, zia. Kenapa albian sampe nelepon gue cuma buat nyariin lo? Padahal semua orang tau kalo dia benci banget sama lo, alergi kalo ketemu sama lo," potong eline sebelum ziara menyelesaikan kalimatnya.
"Albian sama gue gak pernah saling kenal, apalagi deket. Sekedar saling save nomor Hp aja, rasanya gak mungkin banget. Tapi, mendadak dia tau nomor gue. Dan lo tau kenapa? Cuma buat nanyain lo doang," sambung eline makin curiga.
Ziara masih ragu untuk menjawab pertanyaan Adeline barusan. Apalagi mengingat ucapan albian pada arfa dan rifki sore tadi yang memperkenalkannya sebagai asisten rumah tangga pada dua sahabatnya itu membuat ziara semakin ragu untuk jujur pada Adeline perihal pernikahannya dengan albian.
"Ayo buruan kasih tau gue! Dilarang bohong karena bohong itu dosa!" desak eline yang tak sabaran.
Ziaar menelan salivanya susah payah. Ia mengambil napas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan.
"Sebenarnya... jadi, sebenernya aku sama albian itu ... ehmm, jadi kami udah menikah, lin," jawab ziara sambil memejamkan kedua matanya