Kiran begitu terluka ketika mendapati kekasihnya berdua dengan wanita lain di dalam kamar hotel. Impiannya untuk melanjutkan hubungannya ke arah yang lebih serius pun sirna.
Hatinya semakin hancur saat mendapati bahwa pada malam ia merasa hampa atas pengkhianatan kekasihnya, ia telah melalui malam penuh kesalahan yang sama sekali tidak disadarinya. Malam yang ia habiskan bersama atasannya.
Kesalahan itu kemudian menggiring Kiran untuk membuka setiap simpulan benang merah yang terjadi di dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uma hajid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengingat Masa Lalu
Flashback On
"Putrimu sangat cantik, Rina." ucap Ariana melihat bayi mungil yang berada dalam pangkuan Rina, istri sahabatnya, Kamil.
"Jelas, papanya tampan mamanya cantik, anaknya ya pasti cantik." sahut Kamil yang berada tak jauh dari mereka. Pria itu sedang mengobrol dengan Mahesa, sahabat sekaligus suami Ariana. Rina melirik bayi mungil menggemaskan yang baru saja dilahirkan ke dunia. Merasa amat bersyukur.
"Putramu juga sangat tampan, Ariana." ucap Rina gantian melirik bayi tampan dalam gendongan Ariana yang lebih dulu lahir dari putrinya. Hanya beda beberapa bulan saja.
"Oh, jelaslah. Papanya tampan, Mamanya cantik, jelas ia akan menjadi sangat tampan." jawabnya dengan suara yang ditinggikan agar Kamil juga bisa mendengarnya. Pria itu menoleh sekilas lalu menggelengkan kepalanya. "Dasar. Gak pernah mau kalah!" desisnya.
"Putra putri kita sama-sama menawan. Bagaimana kalau kita jodohkan saja, Rin." ide itu tiba-tiba saja tercetus dalam pikiran Ariana. Mahesa yang sedari tadi mengobrol ringan dengan Kamil, menoleh. Menggelengkan kepala melihat kelakuan istrinya.
"Aku gak setuju! Apa jadinya putriku yang manis ini jika punya mertua secerewet dirimu. Mana mau menang sendiri." Ariana mendelik tajam menatap sahabatnya itu. Kamil dan Ariana memang sangat akrab. Mereka bersama sejak SMA hingga masuk perguruan tinggi yang sama.
"Justru putrimu akan beruntung punya mertua seperti aku. Aku tidak punya putri, tentu saja aku akan sayang pada putrimu. Akan kuanggap ia sebagai putriku sendiri. Kau akan menyesal jika menolak perjodohan ini." Ariana membuang muka, memasang wajah angkuh.
"Aku setuju, Ariana." timpal Rina mencoba menengahi.
"Tapi aku maunya putriku menikahi pria yang lebih tua. Secara psikologinya juga lebih mengayomi. Seperti aku dan Rina." Kamil mengerling pada Rina yang tersipu.
Mahesa berdehem, "Jadi kau kira aku gak mengayomi Ariana." ia merasa tersindir. Sebab dirinya dan Ariana adalah teman sebaya. Kamil, Ariana dan dirinya adalah teman satu angkatan di perkuliahan.
"Sori, Bro. Kalau lo mah, gue tahu. Sudah pasti mengayomi dan menjaga teman gue yang cerewet itu. Lo juga pasti yang banyak mengalah dari sifatnya yang keras kepala dan mau menang sendiri. Mana semua permintaannya mau diturutin. Sabar-sabar lo, Bro." jawab Kamil lagi sambil menepuk bahu Mahesa. Ariana mencebikkan bibirnya.
"Kalau kau tidak mau, jodohkan saja putrimu dengan anak sulungku, Radit. Dia lebih tua tiga tahun dari putrimu itu." Ariana masih mempertahankan idenya.
"Zaman sekarang sudah modern. Jika memang anak-anak kita berjodoh, mereka akan bertemu nantinya. Jadi tidak usah dipaksakan. Tapi jika nanti anak-anak kita belum bertemu jodohnya. Kita pertemukan mereka." Kamil mencoba bijak.
"Pa..., Mama pengen banget punya anak perempuan, Pa." kini Ariana menoleh pada Mahesa sambil merengek manja.
"Syukurin aja, Ma. Insya Allah nanti kita akan punya, jika Allah berkehendak." Jawab Mahesa arif. Ia memang paling sabar menghadapi sifat manja namun keras kepala istrinya itu. Namun wanita itu tak puas dengan jawaban suaminya. Kini ia melirik pada Rina.
"Kita tukaran aja yuk, Rin. Kau mengurus putraku. Aku mengurus putrimu. Aku belum punya anak perempuan. Kau juga kan belum punya anak laki-laki." ide yang entah kenapa tiba-tiba saja hinggap di kepalanya. Ariana menatap bayi perempuan mungil itu dengan tatapan penuh pengharapan.
"Kau kira anak kita barang bisa dibarter!" Kamil sewot, mendelik tajam pada Ariana yang menatapnya dengan tersenyum getir.
"Kalo gak mau, ya bilang aja. Gak usah nge-gas!" balasnya kemudian sambil membuang muka. Selanjutnya terdengar tawa dari Mahesa dan Rina melihat tingkah Kamil dan Ariana yang selalu saja kekanak-kanakan jika sudah berjumpa.
Flashback Off
Ariana mengusap sudut matanya yang basah. Bulir-bulir itu pun telah menuruni pipinya. Tangannya menggenggam tangan Tuan Mahesa dengan erat. Putaran masa lalu membayang dalam ingatannya. Begitu juga yang dialami suaminya. Semua tergambar jelas dalam ingatan.
Kiran memasuki tempat acara setelah MC memanggilnya. Dibimbing oleh Intan, gadis itu melangkah dengan hati-hati. Ariana memang sengaja membuat agar ijab kabul dilaksanakan tanpa adanya mempelai wanita. Masih mengikuti adat lama. Selain itu, untuk menjaga sebab gadis itu sama sekali belum tahu. Ariana masih belum tahu cara menyampaikan kepada Kiran hal yang sebenarnya. Ia juga takut jika Kiran sampai menolak rencananya.
Kiran melangkah dengan bersahaja. Seluruh tamu yang hadir berdecak kagum melihat mempelai wanita yang tak kalah memesona dari mempelai pria.
"Mereka tampan dan cantik."
"Cantik sekali menantu Ariana." Suara-suara itu terdengar di telinga Ariana yang menatap menantunya dengan berkaca-kaca.
Kiran dibimbing Intan duduk di kursi yang berada di samping Radit. MC menyebutkan acara selanjutnya yaitu serah terima mahar. MC mempersilahkan kedua mempelai untuk berdiri.
Kiran dan Radit berdiri secara bersamaan. Berdiri di samping kursi, pada celah kosong antara kedua kursi mereka. Tubuh mereka pun bertabrakan. Itu lah kali pertama Kiran melihat mempelai prianya bukan lah Ari melainkan Radit. Gadis itu membuka mulutnya tak percaya.
Radit memegang lengan Kiran dengan kuat lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kiran. "Diam dan tersenyumlah. Dalami peranmu dengan maksimal. Kita sedang bersandiwara sekarang." bibir pria itu tampak tersenyum namun ia mengucapkan kata-kata itu dengan penuh penekanan. Tamu yang hadir melihat mereka seperti sedang berbisik dengan penuh kemesraan.
Gadis itu mencoba tersenyum. Apapun yang sebenarnya terjadi, ia harus membuat agar semua tampak apa adanya. Namun dirinya dipenuhi tanda tanya. Kenapa harus Radit? Lalu kemana Ari? Ia merasa dejavu, seperti sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Tangan Radit yang masih memegang lengan Kiran, menarik tubuh wanita itu agar berjalan mengikuti, di sisinya. Sekali lagi, semua ia lakukan dengan senyuman.
Tampakkan pada semua orang bahwa kau sedang bahagia sekarang.
Bara memberikan satu kotak mahar berupa emas seratus gram yang ditata sedemikian rupa agar tampak cantik dan unik. Radit menerimanya, lalu memberikannya pada Kiran secara simbolis. Semua diabadikan dalam kamera foto dan video.
Selanjutnya acara pertukaran cincin. Karena dalam keluarga Makarim, pria tidak boleh memakai emas. Maka acara pertukaran cincin menjadi menyematkan cincin di jemari Kiran. Gadis itu mengulurkan jemarinya pada Radit. Setelah selesai, senyuman manis mengembang di kedua bibir mereka. Radit melirik Kiran.
Dasar tukang akting!
Selanjutnya mempelai wanita diminta untuk mencium tangan mempelai pria. Dilanjutkan dengan mempelai pria mencium kening mempelai wanita.
Kiran mencium tangan Radit takzim. Pria itu merasa risih. Ingin saja ia tepiskan, mengingat kata 'demi Mama' ia pun ikut melakukan perannya mencium kening Kiran dengan baik.
"Jangan senang dulu. Kalau bukan karena banyak orang, aku gak sudi seperti ini." bisiknya di telinga Kiran, membuat gadis itu tersenyum getir. Ia memejamkan matanya beberapa saat, mencoba menetralisir perasaan dalam hatinya.
Setelahnya, mereka berdua duduk kembali. Kemudian dilanjutkan dengan nasihat pernikahan. Kiran dan Radit sama-sama mendengarkan dengan takzim. Berpura-pura mendengarkan maksudnya. Sebab Radit dan Kiran sudah merasa gerah dengan situasi ini. Namun mereka sama-sama dejavu. Seperti sudah pernah mengalami hal ini.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sungkeman pada orang tua kedua belah pihak. Sebab hanya orang tua Radit saja yang ada, maka sungkeman hanya kepada Mama Ariana dan Tuan Mahesa. Nenek Radit pun berhalangan hadir.
Radit menghela nafas lega setelah acara demi acara dilaksanakan. Ia memanggil Bara dengan tangannya.
"Kenapa tidak kau buat saja namanya memakai nama presiden. Kenapa hanya menggunakan nama Widjadja. Kau ingin menyusahkanku, ya! Mana namanya panjang kali." bisiknya pada Bara. Wajahnya memperlihatkan senyuman namun suara bisikannya penuh dengan penekanan. Artinya ia sedang geram sekarang.
"Bukan aku yang buat, Dit. Kertas itu diberikan oleh pelayanmu. Aku juga kaget tadi, kenapa nama Kiran bisa ganti." jawab Bara dengan bisikan pula.
Ketika membaca nama Kiran tadi, Radit berpikir nama Kiran itu adalah skenario yang dibuat agar mereka tidak menikah sungguhan. Ibarat main sinetron pernikahan. Nama dibuat beda agar akad nikah yang terjadi tidak sah.
Apa mungkin Mama?
Radit melirik Ariana yang menatap Kiran dengan berkaca-kaca. Mamanya itu bahkan memeluk Kiran dengan lama. Tuan Mahesa juga tampak terpana menatap Kiran. Ini kali pertama ia melihat menantunya sejak ia pulang. Dan benar saja, wajah gadis itu memang mirip Rina. Istri dari sahabatnya, Kamil.
"Ternyata kau masih hidup, Nak. Syukurlah kami telah menemukanmu." katanya pada Kiran yang menatapnya dengan sorot mata tak terbaca.
❤❤❤❤