Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan Kendali
Kekacauan itu datang terlambat—dan justru karena itulah ia menghantam lebih keras.
Zavian berdiri di ruang kerjanya, ponsel masih menempel di telinga meski panggilan sudah terputus sejak beberapa detik lalu. Wajahnya tetap tenang, seperti biasa. Namun urat di pelipisnya menegang, dan rahangnya mengeras—tanda yang hanya dipahami oleh segelintir orang yang sudah lama berada di sisinya.
Evelyn tidak hanya berselingkuh.
Ia berselingkuh dengan **musuhnya sendiri**.
Nama itu muncul di laporan Ilham dengan tinta hitam yang rapi, seolah tidak menyadari betapa satu baris itu cukup untuk merobek banyak perhitungan lama. Pria dari lingkaran berseberangan. Bukan sekadar kompetitor bisnis—melainkan seseorang yang tahu cara memukul tepat di titik paling rapuh.
Zavian menutup map itu dengan keras.
Bukan karena cemburu.
Bukan karena cinta yang terluka.
Melainkan karena **pengkhianatan yang bersifat strategis**.
Semua keputusan Evelyn—kepergian yang “tenang”, rencana yang rapi, waktu yang tepat—kini terbaca jelas. Ia bukan hanya memilih hidup lain. Ia memilih **sisi lain**. Dan pilihan itu menempatkan Alya tepat di tengah badai yang seharusnya tidak pernah menyentuhnya.
“Pak?” suara Ilham terdengar hati-hati dari ambang pintu.
“Perketat pengamanan,” kata Zavian singkat. “Tanpa menakut-nakuti siapa pun.”
Ilham mengangguk. Ia tahu, nada seperti itu berarti sesuatu telah bergeser. Zavian tidak sedang marah—ia sedang **kehilangan kendali**, dan itu jauh lebih berbahaya.
---
Sore itu, rumah terasa berbeda.
Alya baru saja meletakkan buku di meja ketika Zavian masuk tanpa banyak suara. Jasnya dilepas asal, dasinya dilonggarkan. Wajahnya tidak menunjukkan apa-apa, tapi Alya—dengan kepekaan yang tidak ia pahami dari mana datangnya—langsung tahu: ada yang salah.
“Pak?” panggilnya pelan.
Zavian mengangguk, berjalan melewatinya, lalu berhenti di tengah ruangan. Ia mengusap wajahnya sebentar, seperti orang yang mencoba menahan sesuatu agar tidak tumpah.
Alya menunggu. Ia sudah terlalu sering menunggu.
Dan entah kenapa, hari itu, kesabarannya habis.
“Memangnya…” Alya memecah hening, suaranya naik sedikit, polos tapi jujur. “Memangnya kalau sudah menikah itu seperti ini?”
Zavian menoleh.
Alya berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya tidak menantang—lebih seperti bingung yang berubah menjadi kesal.
“Diam-diaman. Jauh-jauhan. Seperti orang asing,” lanjutnya cepat, seolah takut jika berhenti bicara keberaniannya akan runtuh. “Apa… apa kamu tidak tertarik padaku?”
Kalimat itu jatuh begitu saja. Tanpa niat menusuk. Tanpa strategi.
Justru karena itulah, Zavian terdiam.
“Alya,” katanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya, “sebentar. Aku bukan tidak tertarik padamu—”
“Kalau begitu kenapa rasanya aku ini cuma… ada?” potong Alya. Dadanya naik turun. “Aku tidak pernah tahu harus jadi apa. Tidak boleh pergi. Tidak boleh dekat. Terus aku harus bagaimana?”
Zavian melangkah mendekat setengah langkah, lalu berhenti. Ia sadar—satu langkah lagi bisa terasa seperti tekanan.
“Alya,” ulangnya, lebih pelan. “Ini bukan tentang kamu kurang apa pun.”
Alya tertawa kecil, getir. “Kamu selalu bilang begitu.”
Tangannya terangkat, menatap cincin di jarinya—cincin yang sejak awal terasa asing.
“Aku juga tidak mau cincin ini,” katanya tiba-tiba. “Bukan namaku yang ada di sini.”
Zavian menegang. “Alya—”
Terlambat.
Dengan gerakan cepat dan impulsif, Alya menarik cincin itu dari jarinya dan melemparkannya. Logam kecil itu membentur lantai, berputar sekali, lalu mental entah ke mana—menghilang di bawah sofa atau ke sudut ruangan yang gelap.
Suara *ting* itu kecil. Tapi cukup untuk membuat ruangan terasa pecah.
Zavian menatap kosong ke arah tempat cincin itu jatuh. Untuk sesaat, ia seperti lupa bernapas.
“Alya,” katanya, nada suaranya akhirnya mengeras—bukan marah, tapi terkejut dan tertahan. “Kamu tahu apa artinya itu?”
Alya menggigit bibirnya. Matanya basah, tapi ia tidak mundur. “Aku tahu. Tapi aku capek pura-pura baik-baik saja.”
Ia membalikkan badan. “Aku mau sendiri.”
Langkahnya cepat menuju kamar. Pintu ditutup—tidak dibanting, tapi cukup tegas untuk menjadi batas.
---
Zavian berdiri sendirian di ruang tengah.
Mafia yang biasa mengendalikan ruangan penuh pria dewasa.
Pria yang terbiasa membaca ancaman dari satu tarikan napas.
Kini kalah oleh satu kalimat polos dan sebuah cincin yang menghilang.
Ia mengusap rambutnya kasar, lalu menghela napas panjang—napas orang yang sadar bahwa ia baru saja kehilangan sesuatu yang tidak ia sadari pentingnya.
Bukan cincin itu.
Melainkan **kepercayaan kecil** yang Alya coba bangun, lalu runtuh karena terlalu lama dibiarkan menggantung.
Di balik pintu kamar, Alya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia marah. Ia bingung. Ia ngambek—dan juga takut karena telah berani.
Namun untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, ia tidak diam.
Dan Zavian—untuk pertama kalinya—menyadari bahwa ancaman terbesar bukan datang dari musuhnya di luar sana, melainkan dari ketidakmampuannya menjelaskan, menenangkan, dan memilih dengan benar… di dalam rumahnya sendiri.
Cincin itu mungkin bisa dicari.
Tapi keributan hari itu meninggalkan retakan yang tidak bisa disapu begitu saja.
Dan di antara hujan yang kembali turun di luar, satu hal menjadi jelas:
konsekuensi mulai mendekat—dan kali ini, tidak ada jalan mundur yang rapi.