Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Peresmian yang Teringat
Pagi itu matahari bersinar lembut, seperti sengaja turun lebih dekat untuk menyaksikan seseorang jatuh cinta. Udara masih sedikit dingin, namun hangatnya terasa cukup untuk membuat hati ikut mencair.
Rayna melangkah keluar rumah sambil menenteng tasnya. Baru beberapa langkah, ia sudah melihat mobil terparkir rapi di depan pagar rumah. Di sampingnya, Ben dan Mama Rayna sedang mengobrol. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara Ben berdiri tegak dan wajah Mama yang serius, itu tampak seperti obrolan penting.
Rayna sempat berhenti. Jantungnya memukul-mukul dada, seolah tak sabar atau justru gugup melihat mereka begitu akrab.
Ben sadar akan kehadirannya. Ia menoleh, dan tatapannya langsung mengunci Rayna. Untuk sepersekian detik, ada senyum kecil yang muncul, senyum yang seperti sengaja dibuat untuk Rayna saja.
"Ayo," seru Ben dengan nada sok galak, meski ujung bibirnya masih menyimpan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. "Buruan. Jangan cuma berdiri disitu, nanti gue mikir lo lagi memandang ketampanan gue lagi dari jauh."
Rayna mengerjap cepat, mencoba mengusir rasa deg-degan yang tiba-tiba menyerang.
"Dih, apaan sih," jawabnya cepat, tapi langkahnya justru makin pelan karena ia tak tahu harus bersikap bagaimana.
Ben berjalan mendekat, lalu mengambil tas Rayna tanpa meminta izin. "Gue bawain. Biar cepet."
Rayna terkesiap kecil. "Gak usah—"
"Udah biar gue bawain aja," potong Ben sambil menatap Rayna seolah berkata percaya sama gue aja.
Ada sesuatu di tatapan itu, sesuatu yang bikin Rayna sulit bernapas normal.
Mama Rayna hanya tersenyum samar, seperti menyimpan sesuatu yang hanya seorang ibu yang tahu. "Hati-hati kalian ya, ikutin aja mobil Mama," ucapnya pelan namun penuh makna.
"Iya, Ma" Jawab Rayna.
Tanpa banyak bicara, Ben mengambil helm cadangan yang tergantung di stang lalu menyodorkannya. "Gue pasangin ya."
Rayna tersentak, otomatis mundur setengah langkah. "Gue juga bisa sendiri kok.."
"Udah diem ah, gak usah banyak ngomel."
Ben mendekat, jaraknya hanya tinggal beberapa senti. Tangan Ben perlahan memasang helm di kepala Rayna. Jemarinya tanpa sengaja menyentuh pipi Rayna, membuat napas Rayna tercekat. Ia pura-pura menunduk agar Ben tidak melihat wajahnya yang memanas.
Sementara itu, Mama Rayna membuka jendela mobil dan tersenyum lembut. "Kalian jangan sampe kepisah ya dijalannya sama Mama. Kita lewat kantor dulu, kita lihat-lihat pembukaan kantor barunya dulu sebentar."
"Oke, Ma." Ben menepuk helm Rayna pelan. "Siap, Putri Bos Besar?"
Rayna mendelik, tapi senyum kecil tak bisa ia tahan. "Jangan aneh-aneh deh, Ben."
Ben sudah duduk di motor dan menyalakan mesin. Ia menoleh sedikit sambil memberi kode, "Peluk dong.."
Rayna ragu. "Pegang pundak aja ah, malu tau ada Mama."
"Berarti kalau gak ada Mama, mau ya..? Hahaha" ledek Ben.
"Ih udah ah gue gini aja," kata Rayna sambil melingkarkan tangannya didepan dada.
Ben terkekeh, sedikit menoleh sehingga tatapan mereka hampir bertemu terlalu dekat. "Kalau lo jatuh gimana? Gue gak mau jadi tersangka ya."
Rayna menggigit bibir bawahnya, akhirnya meraih bagian belakang jaket Ben… pelan… sangat pelan.
"Gini aja.." Ucap Rayna.
Ben hanya tersenyum nakal, berpikir, Kalau bisa, jangan cuma belakangnya aja yang dipegang…
Mereka pun melaju, mengikuti mobil Mama Rayna di depan. Angin pagi menerpa wajah Rayna, tapi suara jantungnya justru lebih berisik daripada suara mesin motor.
Rayna terus memandangi punggung Ben sepanjang perjalanan, sebel, tapi juga penasaran setengah mati. Begitu motor berhenti di lampu merah, ia langsung bertanya tanpa nunggu momen dramatis dulu.
"Lo tadi ngobrolin apa sih sama Mama gue?" tanyanya sambil sedikit menepuk bahu Ben.
Ben hanya mengangkat bahu. "Nggak kok. Biasa aja."
"Apanya yang biasa aja? Tadi gue liat lo serius banget." Suara Rayna terdengar cemberut.
Ben melirik ke belakang sekilas, senyum kecilnya muncul. "Iya sih."
"Nah, makanya. Ngomongin apa?" Rayna makin maju, nyaris menempel di Ben karena rasa kepo membesar.
Ben menahan tawa. "Kepo banget ya lo ini..?"
"Ya gue penasaran aja sih, cepetan ngomongin apa?" Rayna nyaris manyun.
"Udah deh gak usah tau. Ini tuh urusan mertua sama calon menantunya, hahaha," sahut Ben santai, seperti hal itu adalah kebenaran paling wajar di dunia.
Rayna langsung memukul pelan punggung Ben. "Ih apaan sih lo Ben! Serius ah..!"
Ben tertawa kecil sebelum menjawab, "Udah. Diem. Pegangan yang bener. Jangan banyak gerak, nanti jatoh."
Rayna mendengus kesal di balik helmnya, tapi kedua tangannya justru refleks memeluk pinggang Ben lebih erat, lebih erat dari yang ia sadari.
Ben tersenyum puas tanpa menoleh.
"Gitu dong," gumamnya pelan, cukup pelan supaya Rayna nggak sadar kalau hatinya ikut meleleh.
Setibanya di lokasi, motor Ben berhenti tepat di depan sebuah bangunan dua lantai yang tampak sederhana, tetapi elegan. Warnanya lembut, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya pagi. Ada aroma cat baru bercampur dengan wangi bunga segar yang ditata di pintu masuk.
Rayna memandangi bangunan itu dengan mata berbinar. "Keren ya, nyokap lo," gumamnya pelan, seolah masih tak percaya kalau ibunya sendiri yang membangun semua ini.
Ben ikut melihat-lihat, mengangguk pelan dengan decakan kagum. "Emm… iya. Gue juga salut banget sama Mama. Dia ngelakuin semua ini tanpa… ya, tanpa sosok suami. Kuat banget dia." Nada Ben melembut, memberi Rayna waktu untuk menghayati.
Saat mereka berjalan mendekat, Rayna tiba-tiba menarik lengan Ben. "Eh, itu bukan nya… Mama lo?"
Ben spontan menoleh. "Hah?"
Matanya langsung membesar sedikit. "Ehh iya bener, itu nyokap gue. Kok gue nggak tau dia bakal kesini juga?"
Rayna menatap Ben seolah jawabannya jelas. "Kayaknya ya pasti dateng lah. Mama lo sama Mama gue kan udah kenal dari lama. Masa iya enggak dateng?"
Ben menggaruk kepalanya. "Iya sih… Orang mau besanan juga ya kan.. Tapi tetap aja gue kaget."
Mereka semakin dekat ke pintu masuk. Papan nama Madame R terpampang anggun, membuat siapa pun yang melihatnya bakal berhenti sejenak untuk mengagumi.
Ben berhenti di depan pintu, memasukkan kedua tangan ke kantong sambil menghela napas pendek. "Asli, ini keren banget. Nyokap lo tuh… gila ya. Kuat, mandiri, tapi elegan."
Rayna tersenyum kecil. Ada bangga yang sulit disembunyikan. "Gue juga pengen kayak gitu suatu hari nanti… kaya Mama."
Ben menoleh ke Rayna, matanya sedikit melembut. "Lo pasti bisa, gue yakin itu."
Lalu ia menambahkan sambil pura-pura acuh, "Jadi.. Lo nanti mau ambil kuliah bisnis..?"
Rayna menatap bangunan itu sekali lagi sebelum menjawab, "Mungkin…"
Ben mendengus kecil. "Mungkin apa? Kayaknya sih lo udah pasti jadi penerus bisnis Madame R ini gak sih.."
Rayna menoyor pelan lengan Ben. "Gue belum tau. Tapi kalo gue jadi penerus… lo siap jadi apa?"
Ben tersenyum lebar, sok percaya diri. "Jadi suami direkturnya."
Rayna langsung memukul pundaknya. "Ben!"
Ben hanya tertawa… tapi dalam hatinya, ia benar-benar serius.
Bersambung ...
semoga nanti rayna bisa tempat yang aman untuk ben.
btw ini vando gak ada kabarnya samsek nih?
hati dan fikiran pasti masih stay di tempat sebelumnya