Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
...****************...
"Kalau kamu apinya, aku siap terbakar."
Deg.
Arion mematung. Napasnya tercekat.
Wajah Aresya begitu dekat. Tatapannya menusuk dan penuh siasat. Bibirnya terangkat sedikit, senyuman misterius yang entah mengundang atau menantang.
Dan Arion tahu…
Wanita ini sedang menguji batasnya.
Jemari Aresya bergerak menyentuh rahang Arion yang mengatup kuat.
"Sentuh aku, Arion." Ucap Aresya seperti menantang singa yang kelaparan.
"Ka—" belum sempat Arion membalas, bibir ranum Aresya sudah lebih dulu melumat lembut bibir Arion. Matanya sedikit terbelalak dan mendorong tubuh wanita itu. Namun detik berikutnya, dia memejamkan matanya, terbuai oleh lidah Aresya yang berkelana dalam mulutnya.
Tangan Aresya kembali bergerak menyentuh dada Arion mencoba merasakan debar jantung pria itu. Namun tiba-tiba Arion bergerak menindih Aresya tanpa melepaskan ciuman panas mereka.
"Arion.." Panggil Aresya dengan suaranya yang begitu lembut atau memang sengaja di lembut-lembutkan.
Napas Arion memburu, tubuhnya mengeluarkan hawa panas yang tak tertahankan. Perlahan kepalanya turun ke leher jenjang Aresya. Menjilatnya seperti yang di lakukan Aresya waktu itu, sesekali menggigit dan memberikan bekas merah keunguan. Tangannya memcengkram bahu mulus Aresya.
Sial. Batin Aresya. Dia hampir saja terlena oleh permainan Arion.
Saat Arion sudah berada di gundukan kenyal milik Aresya. Aresya mendorong tubuh pria itu yang mulai basah oleh keringatnya sendiri.
"Sayang, kamu tak boleh terangsang padaku. Itu syarat yang sudah kamu setujui."
Mata Arion menyala, antara kemarahan atau nafsu yang membara. Dia seakan tak peduli dan mulai menghisap salah satu milik Aresya—mencoba membuat wanita itu terangsang juga padanya. Arion benar-benar fokus dan kasar.
"Arion, jika kamu melanggar kontrak. Kita akan bercerai."
Arion membeku. Dia benar-benar berhenti melakukan aktivitasnya.
Arion masih membeku, tubuhnya diam di atas ranjang yang kini terasa dingin meski udara kamar hangat. Tangannya menggantung di sisi tubuh Aresya, napasnya masih berat—tidak stabil.
Matanya menatap Aresya dari jarak sangat dekat. Namun bukan hanya gairah yang bergejolak di sana. Ada kekacauan. Kemarahan. Dan... rasa takut yang samar.
Aresya mengangkat tangannya perlahan, menyentuh pipi Arion dengan lembut namun mengandung kuasa. Bibirnya membentuk senyum kecil—bukan senyum manis, tapi senyum yang tahu pasti dirinya sedang memegang kendali penuh.
"Kita sudah sepakat soal perjanjian pernikahan ini, Arion," ucapnya tenang, nyaris seperti seorang guru yang menasihati murid nakal.
Arion menelan ludahnya. Dadanya naik-turun. Rahangnya menegang.
Tapi dia tak menjawab.
Aresya menatap langsung ke matanya, kemudian melanjutkan dengan suara sedikit lebih rendah, namun jelas, menusuk…
"Kamu bisa menyentuhku, Rion. Tapi bukan karena kamu menginginkanku… melainkan karena aku mengizinkannya."
Arion mengerjap, seperti tersadar dari sebuah mantra.
Lalu ia menjauh pelan, duduk di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Aresya. Bahunya naik turun—masih mencoba meredam badai di dadanya.
Keheningan menggantung.
Aresya pun bangkit perlahan, duduk di belakang Arion. Ia tak menyentuh pria itu, hanya membiarkan kehadirannya terasa sangat dekat.
"Kau bisa menginginkanku, Rion. Tapi jangan pernah lupa… akulah yang menentukan kapan."
Arion bangkit dari ranjang tanpa mengucap sepatah kata pun. Gerakannya cepat, tegas, tapi menyimpan gejolak yang terlalu jelas bagi Aresya yang hanya memandang punggungnya dari balik selimut.
Pintu kamar mandi terbuka lalu tertutup dengan suara klik yang menggema pelan.
Air mengalir deras.
Arion berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya yang masih membara oleh emosi dan hasrat yang tak tersalurkan. Ujung jarinya mencengkram sisi marmer wastafel, napasnya memburu, rahangnya terkunci rapat.
"Apa yang kau lakukan padaku, Aresya..." gumamnya pelan, nyaris seperti rintihan.
Air dingin belum cukup memadamkan api yang berkecamuk di dalam dadanya. Maka, dengan gerakan kesal dan frustrasi, tangannya bergerak ke bawah.
Dia melampiaskan semua sisa nafsunya sendiri—tanpa imajinasi lain, tanpa wajah lain, hanya satu nama yang terus berputar di dalam kepalanya.
Aresya.
Tubuhnya menegang, lalu perlahan melemas.
Arion menunduk, air terus mengalir, membasahi tubuhnya yang kini bergetar bukan karena dingin, melainkan karena rasa kalah. Rasa tak berdaya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya…
Dia menjadi tahanan dalam permainannya sendiri.
Dan wanita itu—Aresya—adalah penjaga kuncinya.
...****************...
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui celah tirai. Udara masih dingin, namun kamar terasa hangat oleh kehadiran dua tubuh yang terbaring dalam satu ranjang.
Arion bangun lebih dulu.
Matanya langsung menangkap wajah Aresya yang tertidur pulas di sampingnya. Nafas wanita itu teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan rambut berantakan menyapu sebagian wajahnya. Di bawah cahaya pagi, wajah Aresya terlihat sangat lembut… manis… tak berdosa.
Kontras dengan sikap dan kelicikannya.
Arion mengamati lekat-lekat. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Rasa penasaran yang tumbuh makin besar dari hari ke hari.
Siapa sebenarnya wanita ini?
Dia tidur di sampingnya, berbagi nafas dan kehangatan, tapi tetap terasa jauh dan misterius. Ada sisi dalam diri Aresya yang tak bisa ia sentuh… seolah semuanya hanya topeng dalam permainan yang entah sejak kapan dimulai.
Jarinya terangkat pelan, hampir tanpa sadar.
Ia menyentuh pipi Aresya dengan lembut, mengelusnya seakan takut membangunkan. Kulit itu hangat dan halus… sangat manusiawi, sangat nyata.
Namun justru itulah yang membuatnya semakin gila.
“Perempuan licik,” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri.
Namun entah kenapa, bibirnya membentuk senyum tipis.
Senyum yang tak ia mengerti.
Senyum kalah… atau senyum yang baru mulai jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri.
Dan Aresya masih tidur… atau mungkin, pura-pura tidur.
Karena wanita itu selalu tahu cara membuatnya kehilangan kendali.
...****************...
Aresya perlahan membuka mata, tubuhnya menggeliat kecil sebelum sadar sepenuhnya. Begitu pandangannya jernih, ia melirik sekeliling dan mendapati Arion sudah duduk rapi di sofa, mengenakan kemeja putih yang lengannya sedikit tergulung.
Rambutnya basah dan rapi. Satu tangan menyilang di dada, tangan lainnya memegang secangkir kopi. Wajahnya tampak tenang, tapi tajam—seperti menunggu ledakan yang akan datang kapan saja.
Dengan malas, Aresya bangkit dan berjalan menuju meja rias, niat awalnya untuk mandi. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat pantulan lehernya di cermin. Matanya menyipit. Sebuah bekas kemerahan keunguan menghiasi sisi lehernya. Bekas ciuman… gigitan…
Ia menoleh ke arah Arion dengan tatapan dingin penuh tuntutan.
“Bagaimana dengan ini?” tanyanya datar, jari telunjuknya menunjuk bekas itu.
Arion mendongak perlahan, menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menggigit bibir bawahnya pelan.
“Bilang saja kita habis melakukan itu.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Aresya. Senyum yang seperti racun manis. Ia melangkah mendekat, lalu bersandar di dinding, menatap Arion yang kini menghindari tatapannya.
“Tapi nyatanya kita tak pernah melakukan itu,” bisiknya dengan nada hampir mengejek.
Arion mendongak dengan tatapan membakar. Rahangnya mengeras. Nafasnya terdengar berat. Lalu…
“Aresya…” gumamnya dengan nada menggeram, seperti peringatan yang tertahan.
Matanya menyala, antara marah dan tertarik. Seakan tiap detik bersama wanita ini adalah siksaan sekaligus candu.
Dan Aresya hanya tersenyum…
Senjata andalannya yang selalu berhasil membuat Arion kehilangan logika.
.
.
Next 👉🏻
gitu gak sih thor? salah satu tujuannya? 🤔