Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Mereka mendengarkan ceramah yang sama sekali tidak menarik itu. Apalagi Nisa. Hatinya perih mendengar seorang ulama menggunakan kata *nj*ng untuk mengungkapkan kekesalannya.
'Ulama kok begitu.' batin Nisa tidak suka, sementara orang di sekitarnya tertawa terbahak - bahak karena menganggapnya lucu.
Di tempat penuh sesak itu ada yang masih mencari kesempatan untuk menjemput rezeki.
"Kacang! Kacang kacang!"
"Kacang - kacang!" ada yang berjualan pula!
"Nisa, bayarin ini, dong?!" pinta Yanti. Nisa mengangguk. Untung ia sempat mengantongi uang tadi.
Yanti masih terus ngedumel.
"Awas aja, kalau ngajak - ngajak lagi Kita nggak usah ikut!"
"Tapi kalau dapat kupon lagi, gimana?" sergah Sari.
"Iya, ya." Nisa hanya diam memperhatikan kakak kakak iparnya ini bersungut - sungut sambil terus memakan kacangnya.
"Kamu nggak makan, Nisa? Ini enak banget, lho!"
Nisa menggeleng. Ia takut haus sedang mereka tidak ada yang membawa minum. Dan benar saja,
"Aduuh! Aku kok jadi haus, nih?" keluh Yanti.
"Kita keluar aja, yuk?" ajak Sari.
"Kita cari minuman. Ayok, Nisa!" Nisa menggeleng.
"Aku tunggu di sini aja." kok acara pengajian mereka jadi acara jajan - jajan, sih?
"Ngapain sih, di sini? Yang ceramah juga nggak asyik!"
"Teh Yanah gimana?"
"Tenang aja. Nanti Kita tungguin di tempat janjian ketemu."
"Terus kuponnya?"
"Iya sekalian Kita tukar kuponnya di bawah. Jadi nggak ngantri lagi." Benar juga. Maka Emak - emak pemburu kupon ini pun turun.
Sebenarnya Yanah melihat mereka saat namanya dipanggil, tapi ia pura - pura tak melihat.
Dari kemarin ia memang ditawarkan oleh panitia untuk duduk di dekat podium. Panitia itu teman sekolahnya dulu.
"Kamu ajak aja ipar - ipar Kita itu, Mah." Kata Ijay semalam.
"Males, ah! Apalagi ngajakin si Nisa! Emang maunya di ajakin ke tempat gituan. Biar nggak di iming - iming in kupon juga Dia pasti mau ikut! Tapi mata Kamu itu, lho!"
"Mata Aku emang kenapa, sih?" Ijay berusaha mengelak. Ia memang tidak bisa menjaga matanya bila melihat Nisa.
Yanah cemberut. Ia tidak suka Nisa ya karena ini. Semakin sederhana Nisa, suaminya ini semakin memujinya, meski di depan Nisa ia berlagak jaim, bahkan sering mengatakan hal - hal yang menyakiti Nisa.
"Iya nanti Aku ajak si Nisa. Tapi mata Papah jangan jelalatan, ya?"
"Iya! Takut amat, sih. Tinggal ngajak si Yanti sama si Sari yang nggak pernah mau ke pengajian."
"Itu sih gampang, Pah. Ada kupon sembako mereka pasti ngintil. Apalagi ada doorprizenya. Tapi ngapain sih ngajak - ngajak? Mereka tuh kalau ikut kemana - mana selalu minta jajan kayak bocah. Males, ah!"
"Yey..! Biar mereka tau, Kamu tuh bukan orang sembarangan!"
"Maksud Papah apa, sih?"
"Siapa yang boleh duduk di dekat podium selain pejabat dan tamu - tamu kehormatan?" Benar juga. Jadilah seperti itu kejadiannya. Mereka hanya ingin pamer status.
Yanah melihat mereka bangun dari tempat duduknya dan turun melalui tangga yang berada di sebelah kanan.
"Mau kemana mereka?" gumam Yanah.
"Jangan - jangan mereka tau Aku sengaja ninggalin mereka di sana." Yanah mulai gelisah.
*********
Di bawah mereka langsung menuju tempat penukaran kupon.
"Acaranya belum selesai, Bu!"
"Tapi Kami mau pulang sekarang, Bu!"
"Tunggu sebentar lagi ya, Bu."
"Mbak, sebaiknya dilayani saja sekarang. Daripada nanti pas selesai, orang tumpah semua di sini, bagaimana? Kita udah tua, Mbak. Nanti kegencet - gencet gimana?" Nisa berusaha membujuk penjaga stand dengan ujaran lembut.
"Mbak sih masih muda. Masih kuat kalau terdorong - dorong." lanjutnya lagi.
Wajah Ibu itu kontan berubah cerah.
"Ya udah, Bu. Mana kupon - kuponnya?"
Yanti memalingkan wajahnya untuk mencibir.
'Tua-an juga Situ sama Kita!'
Berkat rayuan Nisa kupon akhirnya berpindah tangan, berganti dengan paket sembako yang mereka inginkan.
"Alhamdulillah." ucap mereka penuh syukur.
"Terus doorprizenya gimana?" tanya Sari.
"Ya itu, Bu. Setelah doorpricenya diundi, baru kuponnya di tukar paket sembakonya."
"Ya udah, Kami pegang dulu kuponnya." pinta Yanti.
"Nggak bisa, Bu. Siapa yang mau menjamin Ibu tidak mengambil paket sembako lagi?"
"Jadi gimana, dong? Masa' Ibu nggak bisa ngapalin muka Saya yang cantik ini?" Yanti melebarkan senyumnya.
"Muka Ibu pasaran, Bu!" celetuk Ibu itu.
"Sembarangan!" Yanti meradang. Apalagi Nisa dan Sari terkikik geli.
"Sudah, Teh. Emang bukan rezeki Kita." bujuk Nisa di sela tawanya.
"Emang apa sih, doorprizenya?" bibir Yanti mengerucut.
"Baju - baju bekas Bu Kades." mata ketiganya membelalak.
"Tapi masih bagus - bagus, Bu! Ada yang baru sekali pakai!"
"Namanya tetap aja bekas! Aku mah ogah!" Yanti mencibir. Ia langsung berjalan menuju tempat janji bertemu dengan Ijay. Nisa dan Sari mengikuti di belakangnya.
"Bang Ijay belum dateng." Yanti duduk di tembok pembatas. Sari mengikutinya. Nisa berdiri di depan mereka.
"Nisa, gamis Kamu bagus." Sari tidak tahan untuk memuji. Nisa memperhatikan gamisnya.
"Ini gamis lama, Teh. Dibeliin Mama."
"Pantas Mamah Kamu yang beliin. Pasti mahal." Nisa mengangkat bahunya. Yanti sendiri seperti tidak perduli. Sehari hari ia jarang bahkan hampir tidak pernah memakai baju perempuan. Ia lebih suka memakai celana dan kaos.
"Boleh Aku minta, Nisa?" bisik Sari.
"Ini baju lama, Teteh. Aku.. nggak enak.."
"Itu Teh Yanah!" seru Yanti.
Yanah berjalan tergesa - gesa ke arah mereka.
"Kalian duduk di mana, tadi?" tanyanya kura - kura dalam perahu.
"Teteh tau Kita duduk di mana!" ketus Yanti.
Degg!
Jantung Yanah berdegup keras.
"Teteh tadi ngeliat Kita, 'kan?"
"Kita sampai berdiri, lho! Panggil - panggil Teteh!"
"Teteh nggak tau! Demi Allah, deh!" nama Allah pun Dia bawa - bawa untuk berbohong.
" Udah nuker kuponnya belum? Kok kalian udah langsung ke sini?" Yanah berusaha mengalihkan perhatian. Padahal ia sudah melihat 3 tumpuk paket sembako di bawah kaki mereka.
"Sudah!" Ketus Yanti. Ia masih terlihat kesal sedang Sari dan Nisa hanya diam tak ingin menambah masalah.
"Bang Ijay belum dateng, ya?" tanya Yanah berbasa basi.
"Belum, Teh." Hanya Nisa yang menjawab.
Sebenarnya Yanah takut melihat kekesalan Yanti karena Yanti pasti akan mengadukan sikapnya ini pada Mumu dan Mumu akan mengadukannya lagi pada Hasby.
"Memang betul Kamu begitu, Yanah? Kenapa Kamu jadi sombong banget, sih? Sombong itu hanya milik Allah!" dan masih banyak lagi.
Yanah tidak mau mellihat mata Hasby yang memelototinya.
'Ini semua gara - gara Bang Ijay!' gerutu hatinya.
"Habis ini Kita makan, ya?" mata Yanti berbinar saat Yanah mengajak mereka makan.
"Makan di mana, Teh?" kebetulan perutnya juga sudah lapar.
"Nanti Kita tanya Bang Ijay aja. Dia tau tempat makan yang enak."
"Nisa turun di depan jalan aja ya, Teh?" Nisa menolak.
"Kenapa, Nisa? Kok Kamu nggak mau ikut?" Sari merasa tidak enak hati bila tidak ada Nisa. Yanah dan Yanti itu setipe dan sebangun. Kalau ngomong asal njeplak. Tidak memikirkan ada orang yang akan tersakiti.
"Kasihan Doni, kalau Dia pulang Nisa nggak ada."
"Anak udah gede, Nisa! Telpon aja Dianya! bilang Kamu pergi sama Teteh!"
Nisa menurut. Ia menelpon Doni yang masih berada di Sekolah.
******