Sebagai seorang istri Maysa adalah seorang istri yang pengertian. Dia tidak pernah menuntut pada sang suami karena wanita itu tahu jika sang suami hanya pegawai biasa.
Maysa selalu menerima apa pun yang diberi Rafka—suaminya. Hingga suatu hari dia mengetahui jika sang suami ternyata berbohong mengenai pekerjaannya yang seorang manager. Lebih menyakitkan lagi selama ini Rafka main gila dengan salah seorang temannya di kantor.
Akankah Maysa bertahan dan memperjuangkan suaminya? Atau melepaskan pria itu begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Buka hatimu
Tiga bulan telah berlalu. Akhirnya hari ini sidang keputusan sudah dibacakan dan pengajuan gugatan cerai dikabulkan oleh hakim. Maysa sangat bahagia, tidak hentinya dia mengucap syukur karena bisa lepas dari Rafka.
"Maysa, tunggu dulu!" panggil Mama Ishana, saat Maysa akan meninggalkan pengadilan agama.
Hari ini memang keluarga Rafka datang untuk menghadiri sidang keputusan. Sebelumnya, tadi mereka juga berbicara dengan Maysa, berharap wanita itu mau kembali lagi bersama dengan Rafka. Namun, Maysa sudah kekeh pada pendiriannya untuk berpisah dengan pria itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Maysa.
"Mama kangen sama Eira, bolehkan Mama datang ke rumah kamu?" tanya Mama Rafiqah balik.
"Silakan saja datang ke rumah. Rumah Mama Rafiqah selalu terbuka untuk siapa pun dengan niat baik."
"Terima kasih, Mama juga mau minta maaf jika mama punya salah sama kamu."
Maysa tersenyum sebelum menjawab, "Semuanya sudah lewat, Ma. Aku juga sudah memaafkan Mama dan keluarga. Sekarang aku ingin memulai kehidupan yang baru."
"Mama doakan kamu bisa bahagia dengan kehidupan yang sekarang. Maafkan anak Mama juga."
"Aku juga sudah memaafkan Mas Rafka. Mungkin ini memang jalan kami. Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi dalam kehidupan ini. Aku yakin, ini memang sudah takdir dari Tuhan."
"Terima kasih, kamu memang wanita yang baik. Mengenai rumah kamu dan Rafka, apa kamu tidak ingin menempati rumah itu? Bagaimanapun juga itu adalah pemberian orang tuamu. Itu hak kamu dan Eira."
"Tidak, Ma. Tanah itu memang pemberian dari orang tuaku, tapi bangunannya hasil kami berdua, jadi di dalamnya juga ada hak Mas Rafka. Aku juga sudah memutuskan bahwa rumah itu sepenuhnya milik Eira ketika dia dewasa nanti. Terserah dia mau diapakan rumah itu."
"Kalau memang itu keputusan kamu, Mama tidak memaksa, tapi alangkah baiknya untuk sekarang disewakan saja. Kalau menunggu Eira dewasa, takutnya malah terbengkalai, kalau ada yang sewa 'kan setidaknya ada yang menjaga dan merawat rumah itu."
"Iya, Ma. Nanti akan aku pikirkan lagi."
"Ya sudah, kalau begitu, Mama mau permisi. Jaga dirimu baik-baik. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mama juga jaga diri baik-baik."
Keduanya pun terpisah, Maysa memutuskan untuk pulang saja. Dia sedang dalam suasana hati yang tidak menentu. Jika diajak bekerja pun rasanya tidak mungkin bisa konsentrasi. Sesekali libur pun tidak masalah."
Saat sampai di rumah wanita itu melihat putrinya tertawa bersama mama Rafiqah. Hal itu tentu saja menjadi obat untuk Maysa. Dia berharap tawa itu tidak akan hilang dari wajah cantik putrinya. Mulai hari ini wanita itu akan memberikan kasih sayang seorang Ibu sekaligus Ayah untuk putrinya. Maysa tidak kekurangan apa pun.
"Kamu sudah pulang, May?" tanya Mama Rafiqah membuyarkan lamunan putrinya.
"Sudah, Ma, baru saja," jawab Maysa sambil berjalan ke arah mamanya dan mencium punggung tangan wanita itu.
"Bagaimana tadi?" tanya Mama Rafiqah dengan suara pelan. Dia tidak ingin cucunya mendengar pembicaraan mereka. Sudah pasti gadis kecil itu akan banyak bertanya.
"Alhamdulillah, semuanya lancar. Hakim mengabulkan apa yang aku inginkan."
"Syukurlah kalau begitu, mudah-mudahan setelah ini tidak ada lagi kesedihan di wajah kamu. Mama ingin kamu selalu bahagia bersama dengan Eira."
"Tentu, Ma. Apalagi sekarang ada Mama dan juga Riri, aku semakin bahagia. Hanya kalian yang menyayangiku tanpa syarat."
"Tapi mama minta satu hal. Jangan pernah menutup hatimu, jangan biarkan trauma itu singgah berkepanjangan. Kamu juga berhak bahagia. Tidak semua laki-laki itu sama," ucap Mama Rafiqah seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Maysa Karena sang putri sebelumnya memang berpikir tidak akan menikah lagi. Entahlah dia trauma atau memang baginya tidak membutuhkan laki-laki.
"Jangan terlalu dipikirkan, pelan-pelan saja," ucap Mama Ishana saat melihat putrinya terdiam. Maysa hanya mengangguk tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Riri mana, May? Nggak pulang bareng kamu?"
"Dia ada janji sama temennya, Ma. Aku ke kamar dulu mau bersih-bersih juga."
*****
Sementara itu, di pengadilan. Setelah Mama Isyana berbicara dengan Maysa tadi, dia kembali bergabung dengan keluarganya. Di sana juga ada Vida.
"Mama, tadi bicara apa sama Maysa?" tanya Rafka.
"Tidak ada, hanya minta maaf saja karena Mama sudah menghianatinya. Oh iya, Raf, mengenai rumah kamu dan Maysa, Mama sudah bicarakan dengannya untuk menyewakan rumah itu saja. Daripada tidak terpakai dan tidak terawat. Lebih baik disewakan. Nanti uang hasilnya bisa buat kebutuhan Eira sekolah. Rumah itu 'kan memang sudah sepenuhnya milik Eira."
"Kok dikasih ke Eira semua, sih, Ma. Mas Rafka juga punya hak atas rumah itu," sela Vida yang protes dengan rencana mertuanya.
"Tidak, rumah itu sudah sepenuhnya milik Eira. Sudah Mama katakan beberapa kali. Itu tanah pemberian orang tua Maysa, jadi itu milik Maysa dan Eira. Rafka hanya membangunnya. Itu pun juga saat berumah tangga dengan Maysa, jadi hak milik Rafka saat ini sudah menjadi milik Eira, jadi kalian tidak memiliki hak atas apa pun. Apalagi Rafka menikah dengan kamu 'kan tidak memiliki apa-apa. Mobil juga sebenarnya Maysa dan Eira masih memiliki hak, tapi mereka tidak menuntut. Jadi sebaiknya kamu diam saja, daripada nanti mobil Rafka juga diambil alih sama Maysa," lanjut Mama Ishana.
Dia memang sengaja memanas-manasi Vida agar tidak banyak bertingkah. Lagi pula kalau memang benar Maysa menginginkan mobil itu, dia pasti akan mendukung mantan menantunya itu. Baginya Maysa adalah putrinya sendiri karena kebaikannya dari dulu.
"Sudah, sudah. Ayo, Ma! Kita pulang. Nggak enak berdebat di tempat umum seperti ini," ajak Papa Irfan.
Mama Ishana pun menuruti sang suami. Rafka juga mengajak Vida untuk segera pergi. Sebenarnya wanita itu sangat kesal karena mertuanya sampai saat ini belum bisa menerimanya. Mama Ishana selalu saja memuji Maysa.
Sebagai seorang menantu, tentu saja dia kesal. Mendengar orang lain yang memuji Maysa saja sudah membuat kesal, apalagi mertua sendiri. Vida sering mengadu pada Rafka tentang perilaku mertuanya, tetapi pria itu selalu bilang 'lama-lama Mama pasti akan baik'.
Rafka juga tahu hal itu, tetapi dia tidak ingin Vida menjadi pembangkang. Pria itu ingin istrinya menurut, seperti Maysa. Rafka jadi teringat wanita itu. Jika ditanya menyesal akan perceraian ini, itu sudah pasti karena tidak mudah mendapatkan istri sebaik dia.
Jika dibandingkan dengan Vida, Maysa memang lebih hebat dalam segala hal. Selama pernikahannya, wanita itu tidak pernah sekalipun membentak atau memarahinya. Jika ada sesuatu, pasti dia bicarakan pelan-pelan. Maysa juga sering mengalah pada sang suami.
"Kamu lagi ngelamunin apa, Mas?" tanya Vida sambil menepuk bahu sang suami.
"Oh, tidak. Hanya urusan pekerjaan," jawab Rafka dengan berpura-pura tersenyum.
.
.
mknya muka nya familiar
sayang nya sama Eira tulis bgt
entah dia dari keluarga yg penuh tekanan,semua udah dia atur dia dia harus ngikutin semua aturan itu.
dan dia udah punya jodoh sendiri
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu