Zely Quenby, seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan. ia hanya seorang karyawan biasa disana. sudah lama ia memiliki perasaan cinta pada Boss nya yang bernama lengkap Alka farwis gunanda. Hingga timbul lah tekad nya untuk mendapatkan Alka bagaimana pun itu. meskipun terkadang ia harus menahan rasa sakit karena mencintai seorang diri.
bagaimana yah keseruan kisah antara Alka si bos galak dan crewet dengan gadis bermulut lembek itu?
pantengin terus yah, dan jangan lupa untuk tekan favorit biar bisa ngikutin cerita nya😍.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sopiakim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Sadar diri
Suara ketukan berkali-kali terdengar dari luar namun seorang gadis muda yang kini duduk di dekat kaca jendela kamarnya hanya diam saja tak menghiraukan suara ketukan itu. Air matanya terus saja mengalir deras membasahi pipinya yang putih mulus itu.
"Cha, buka pintunya sayang. Mamah khawatir dengan kondisi mu sayang." Mamah mencoba membujuk dengan lembut tidak memaksa dan tergesa.
Sudah sejak semalaman Yesha menutup diri, ia mengunci dirinya di kamar. Tidak ingin bersosialisasi dengan siapapun, ia terpukul setengah mati. Banyak yang bersikap peduli tapi dtak satupun yang faham dengan cinta tulus dan sucinya itu. Mereka mengira itu hanya rasa suka sesaat seorang gadis SMA. Padahal Yesha sangat serius dengan perasaan nya.
"Aku hancur, aku rapuh dan aku pilu. Rasanya lebih menyakitkan daripada penyakit yang ku derita." Yesha meratapi kisah cintanya yang tragis dan sirna itu.
Sudah sejak lagi tadi mamah dan papahnya bergantian memohon untuk putrinya membukakan pintu namun nihil.
"Bagaimana ini mah? Papah khawatir dengan putri kita. Bagaimana kalau ia sampai kambuh lagi?"
Mamah mengangguk pelan karena sejak tadi sudah tidak ada suara lagi dari dalam kamar. Bagaimana kalau putri nya kesulitan bernafas dan semacamnya.
Dadanya sesak, Yesha benar-benar merasa hilang harapan. Ia mengira akan ada hari dimana ia dan Alka bisa bersama, katakan saja dia sangat gila diusia belia itu dia sudah gila akan cinta. Namun ia sangat tulus dengan perasaan nya.
Hujan tiba tiba turun mengetuk jendela, samar-samar mengiringi isak yang sudah mulai kering di tenggorokannya. Inhaler tergeletak di meja yang sangat dekat, tapi seperti jauh sekali. Napasnya mulai berat, dada terasa sempit, namun ia hanya memejamkan mata, membiarkan rasa sesak menyelimuti tubuhnya seperti selimut yang terlalu erat.
Air matanya sudah berhenti sejak tadi, tapi sakitnya masih tinggal. Bukan cuma di hati—kini menjalar sampai ke paru-parunya yang memberontak. Namun ia tak bergerak. Biarlah. Mungkin, pikirnya, rasa sesak di dada ini bisa menyaingi luka yang ditinggalkan seseorang yang tak pernah benar-benar tinggal. Dan dalam keheningan itu, Yesha menolak bertahan—untuk pertama kalinya, bukan karena asmanya... tapi karena hatinya terlalu hancur untuk peduli.
Detik demi detik berlalu. Napas Yesha kini terdengar seperti bisikan kasar yang terputus di setiap hela. Matanya masih terbuka, namun pandangannya mulai buram, seperti kabut menutupi seluruh dunia. Tangannya gemetar, tubuhnya melemas perlahan—tapi ia tetap tak menjangkau inhaler itu. Ia hanya menatap langit-langit, kosong, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Dan akhirnya, tubuhnya jatuh kesisi jendela. Sunyi. Inhaler tergeletak tak tersentuh, hanya berjarak satu lengan. Lampu kamar masih menyala redup, memantulkan bayangan tubuh yang terkulai diam di lantai. Yesha telah tergeletak tak sadarkan diri.
Gadis itu melihat samar dua malaikat yang selalu melindungi nya berlari panik kearahnya. Namun ia bahkan tak sempat melihat dengan jelas pandangan nya sudah luput.
Sementara Alka dan Zely kini sudah berpamitan dengan mamah yang sangat enggan untuk menantunya pergi meninggalkan nya. Zely bahkan lebih tidak ingin meninggalkan mamah, jujur saja dalam pernikahan ini ia paling bersyukur saat mendapatkan mertua sebaik mamah. Alka sendiri sudah tidak sabar ingin kembali ke mansion miliknya karena ia sangat lelah harus bersandiwara dihadapan mamah. Memang tidak begitu kontras namun tetap saja melelahkan.
Perjalanan pulang dari rumah mamah terasa lebih panjang dari biasanya. Saat mobil memasuki halaman mansion, keheningan di dalam kabin seolah menebal. Lampu-lampu taman menyala lembut, menyinari dinding putih mansion yang megah dan tak bercela—kontras dengan suasana hati mereka yang penuh jeda dan pertanyaan tak terucap. Zely turun lebih dulu tanpa harus dibukakan oleh Alka, langkahnya ragu saat hendak berjalan kearah pintu. Alka menyusul di belakang, membuka pintu depan tanpa sepatah kata.
Di dalam mansion, aroma lavender dari pengharum ruangan masih sama, begitu pula furnitur yang tertata rapi seperti tak pernah ditinggal. Tapi langkah mereka terasa asing. Zely menatap sebentar ruang tamu yang kosong, lalu berjalan melewati Alka tanpa saling menoleh. Tidak ada percakapan tentang makan malam, tidak ada basa-basi. Hanya diam yang menggantung—canggung, kaku, seperti dua pemeran dalam drama yang lupa naskah tapi masih harus tampil di atas panggung yang terlalu mewah.
Yap! Beginilah kenyataan rumah tangga yang baru berusia sehari ini. Alka yang membatasi diri dan Zely yang sudah tahu diri. Mereka benar-benar hidup dalam satu atap namun ada tembok tebal di hadapan mereka satu sama lain.
"Kamu boleh masuk ke kamar mu,bersihkan diri dan istirahat. "
Mereka sebenarnya sangat ingin kembali ke mansion saat siang tadi, tapi jelas mamah menahan mereka karena masih ingin bersama dengan Zely dan akhirnya mereka baru sampai malam larut begini.
"Baik mas, permisi!"
Zely menurut dan menaiki tangga, ia memasuki kamar yang sudah disiapkan Alka untuknya dan kamar itu tepat berada di samping kamar milik Alka. Kalau di ingat ingat Alka sangat baik hati, ia bahkan masih menerima Zely sebagian istri bahkan saat ia tau latarbelakang gadis itu, ia juga menyediakan semua nya untuk Zely saat gadis itu bahkan tidak memberikan keuntungan untuk nya ia juga bersikap baik kepada Zely.
Seharusnya Zely jangan bersikap licik dengan mengharapkan apapun kepada Alka, laki-laki itu harusnya bersama dengan gadis yang layak. Rasanya sangat memalukan karena bermimpi bisa menjadi seorang yang spesial untuk Alka. Laki-laki itu begitu sempurna dan tidak layak bersanding dengan gadis sehina Zely.
"Hufff baiklah Zely ke depannya kamu harus lebih sadar diri, ingat posisi dan siapa dirimu."
Gadis itu menghela nafas pelan lalu membuka bajunya perlahan, ia meriah handuk yang berada di gantungan nya namun alangkah kaget nya dia saat melihat kecoa disana.
"Arghhhhhh"
Teriakan kencang lolos dari bibirnya karena kaget dengan hewan kecil berwarna coklat pekat yang begitu menakutkan dalam pandangan Zely. Atau bisa dibilang ia hanya merasa geli.
Alka yang juga baru membuka baju dan hanya mengenakan handuk itu panik dan jujur sana ia khawatir tanpa sebab karena mendengar Teriakan dari kamar samping tepat disebelah kamarnya tentu saja Teriakan itu dapat jelas ia dengar.
Dengan cepat Alka membuka pintu kamar Zely, ia panik dan tidak sempat untuk mengetuk nya lagi. Zely sendiri ternyata sudah naik diatas kursi takut saat melihat kecoa itu diam diatas lantai.
"Ada apa?" Tanya Alka sedikit panik namun dengan cepat ia membenarkan ekspresi wajahnya.
"A,,ada kecoa mas disitu,,"
Zely melompat dari atas kursi dan berlari bersembunyi dibelakang Alka,sangat panik hingga tak sadar kalau saat ini Alka sedang tidak memakai baju dihadapan nya. Alka sendiri terpaku diam ditempat saat merasa gadis itu memegang lengannya dengan keadaan yang sama pula.
Gadis itu belum sadar dengan keadaan yang begitu canggung itu, ia baru sadar saat Alka berbalik kearah nya dan mata mereka bertemu.
Ruangan terasa menyempit seketika. Udara bercampur dengan keheningan yang begitu canggung. Alka menahan napas, tatapannya tak sengaja turun lalu buru-buru berpaling, sementara Zely merapatkan handuknya erat-erat ke dada.
“Itu… ada kecoa,” gumam Zely pelan, nyaris tak terdengar.
Alka mengangguk kaku, tak tahu harus menjawab apa. Mereka berdiri di sana—terlalu dekat, terlalu sadar satu sama lain—padahal sejak awal, pernikahan mereka seharusnya tak melibatkan hal-hal seperti ini. Tapi detik itu, kontrak terasa jauh, dan tubuh masing-masing terasa terlalu nyata.
Zely masih berdiri di tempatnya dengan jantung yangbtidak bisa kendalikan lagi detakannya, tangan gemetar memegang erat sisi handuknya, sementara Alka berpura-pura menyibukkan diri mencari kecoa yang entah ke mana perginya, walau pikirannya justru tak karuan, apakah iabtengah mengalihkan perasaan yang kian memanas atau hanya berpura-pura menahan gejolak hatinya.
Ia bersikap cuek, memasang wajah datar, bahkan sempat berujar, “Sudah tidak ada, mungkin teriakanmu membuatnyamelarikan diri.” Tapi matanya sesekali melirik, cepat dan nyaris tak terlihat—meski sebenarnya justru terlalu lama untuk disebut sekilas.
Pandangannya menangkap lekuk bahu Zely yang putih mulus dan terawat itu, jujur saja ia sahgat pandai merawat dirinyakalau dipikir ia bahkan tak ada waktu untukmelakukan semua itu, kulit yang putih mulus itu membuat Alka seolah sukit untuk menahan diri, dan cara ia menggigit bibir menahan gugup. Canggung jelas, tapi juga tak bisa dipungkiri ada sesuatu yang bergetar di dalam dada Alka.
Ia berdehem, mencoba menguasai diri, lalu berbalik sambil berkata datar, “Lain kali, teriaknya tunggu aku pakai baju dulu.”
Zely mendelik malu saat mendengar itu, tapi tak bisa membantah. Keduanya tertahan dalam ruang sempit, sama-sama terbungkus kain tipis dan rasa yang mulai menipis batasnya.
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Alka membalikkan badan dan melangkah keluar dari kamar mandi, masih berusaha terlihat tenang meski pikirannya tak berhenti memutar ulang bayangan tadi.
“Unur berapa kanu bahkan takut pada seekor kecoa kecil? Malu lah pada usiamu,” ujarnya datar, nyaris terdengar seperti lelucon dingin, lalu pintu ditarik perlahan hingga tertutup di belakangnya.
Ia menghela napas panjang di lorong, baru menyadari betapa cepat detak jantungnya—dan betapa tipis batas logika ketika emosi ikut campur.
Sementara itu, Zely masih berdiri di tempat yang sama, tangan meremas sisi handuknya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya naik turun tak beraturan, bukan karena kecoa yang entah ke mana, tapi karena efek kehadiran Alka yang terlalu dekat—dan tatapan yang, meskipun hanya sesaat, terasa terlalu jujur. Napasnya tercekat, tenggorokannya kering. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur diri, namun rasa panas yang menjalar di wajahnya sulit ditenangkan. Alka pergi, tapi sisa kehadirannya masih menempel di udara… dan di benaknya.
...🎀Bersambung🎀...
Awww aku yang nulis aku yang baper sendiri, busetdahh canggung nya nembus layar.
Jangan lupa like komen dan votenya wan kawan.
See you guys.