Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Devan keluar dari kamar setelah berganti pakaian. Ia menghampiri Nara yang sudah duduk di meja makan, menunggunya untuk makan malam. Wajah Nara tampak cemberut, menunjukkan ketidaksukaannya. Devan yakin, cemberutnya Nara masih berkaitan dengan kejadian di kamar mandi tadi.
“Kenapa muka kamu ditekuk gitu? Kamu belum jelaskan apa-apa soal kamu kerja di kantor, loh!” Devan memulai pembicaraan lain, mencoba mengalihkan perhatian Nara dari kejadian yang membuat canggung tadi.
Nara mende sah pelan, kemudian mulai melayani makan malam Devan. Ia tampak masih kesal.
“Aku kerja di sana dengan usahaku sendiri, kok. Aku sama sekali nggak menyebut namamu biar diterima. Salahkan aja personalia kamu, kenapa terima aku!” jawab Nara, dengan raut wajahnya yang terlihat jutek.
Devan tahu, ia tidak akan bisa mengalahkan Nara dalam perdebatan ini. Wanita selalu punya seribu alasan untuk menyerang balik.
“Ya, tapi kan aku udah bilang kalau kita nggak bisa satu kantor. Itu sudah aturan perusahaan dari dulu. Kalau aku yang melanggar, karyawan akan menilaiku seperti apa, Nara.” Devan berkata, nada suaranya lebih rendah, menunjukkan kelelahan.
Nara melirik Devan yang duduk di hadapannya. Melihat wajah suaminya yang terlihat lelah dan sedikit putus asa, Nara baru menyadari posisinya. Devan bukan hanya suaminya, tetapi juga pemimpin di perusahaannya.
Perasaan bersalah mulai menghampiri Nara. Ia memilih diam, tidak membalas perkataan Devan.
Setelah makan malam, Nara akhirnya siap bicara lagi. Sepertinya ia sudah menemukan solusi. Ia duduk di sofa depan TV, di samping Devan.
“Aku … aku sebenarnya khawatir dan curiga sama kondisi kamu, Dev. Aku pikir, kalau kita kerja di tempat yang sama, aku akan bisa membantumu kalau terjadi apa-apa. Contohnya kayak tadi,” kata Nara, suaranya terdengar lebih lembut. “Kita nggak perlu mengungkapkan hubungan kita di kantor, kan bisa?”
Devan menatap Nara, mencoba mencerna usulannya. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang pro dan kontra.
Melihat keraguan Devan, Nara mulai merayu suaminya dengan memijat lengan dan pundaknya dengan lembut.
“Aku janji, nggak akan mengganggu pekerjaanmu, dan akan tetap profesional,” kata Nara, suaranya terdengar lembut, tetapi penuh harap. “Setidaknya, biarkan aku di dekat suamiku sampai kita punya anak dan aku nggak merasa kesepian.” Matanya yang indah berkedip-kedip, bibirnya sedikit mengerucut dengan manis, menunjukkan betapa ia ingin sekali permintaannya dikabulkan.
“Ya, baiklah. Tapi janji kita tetap profesional, ya! Jangan bikin kekacauan!” Devan akhirnya menyetujui usulan Nara, dengan peringatan.
Nara mengangguk setuju, kemudian mencium pipi Devan dengan cepat. Ia tentu merasa senang karena Devan mengabulkan permintaannya.
Devan merasakan kecupan lembut di pipinya. Tatapan matanya bertemu dengan tatapan Nara, keduanya tampak begitu intens, penuh makna tersirat.
Tiba-tiba, Nara merangkul Devan, membuat tubuh mereka menempel. Tangannya yang lain mulai bergerak, menyusuri perut Devan yang berotot.
“Dev,” panggil Nara, suaranya pelan, tetapi mengandung makna yang dalam.
Devan memejamkan mata, mengepalkan tangannya dengan kuat. Sentuhan Nara bagaikan sengatan listrik yang mengalir di tubuhnya.
“Hem.” Devan bergumam, menahan diri.
Tangan Nara terus bergerak, naik turun menyusuri dada dan perut Devan yang terbungkus baju.
“Apa waktu itu … waktu itu kamu nggak merasa puas denganku? Kenapa kita selalu melewatkan malam pertama kita setelah menikah?” tanya Nara, suaranya sedikit gemetar, mengungkapkan keraguan dan rasa tidak aman yang selama ini ia pendam.
Dalam hatinya, Nara merasa ada yang kurang, ia merasa seperti istri yang tidak diinginkan Devan.
Devan terdiam, kepalanya berdenyut pelan. Ia memikirkan jawaban yang tepat, takut jika kejujurannya akan melukai Nara.
Jika ia jujur, ia takut Nara akan kecewa dan meninggalkannya.
“Apa aku nggak menarik? Apa kamu akan meninggalkanku setelah merasa tanggung jawabmu selesai?” Nara bertanya lagi, suaranya terdengar sedih, mengungkapkan rasa takutnya yang terdalam.
Devan tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia menatap Nara dengan mesra, kemudian mencium bibirnya dengan cepat, mencoba menyampaikan perasaannya tanpa kata-kata.
Bibir Devan meninggalkan bibir Nara, lalu berpindah ke lehernya, menghujani kecupan lembut yang membuat Nara mende sah. Devan tidak peduli lagi dengan konsekuensi yang mungkin terjadi. Yang terpenting, Nara tidak merasa minder lagi.
“Dev…”
Suara Nara yang mendesah memanggil namanya, bagaikan kayu bakar yang semakin membakar api dalam tubuh Devan. Ia bergerak semakin agresif, tangannya menyusup ke dalam baju Nara, menggenggam sesuatu yang kenyal dan lembut di sana.
Nara merasa seperti melayang, tetapi ia menginginkan lebih.
Devan menghentikan ciumannya sejenak. Ia menatap Nara dengan intens, tatapan yang penuh dengan cinta dan keyakinan.
“Aku mau kamu berjanji satu hal padaku, apa pun yang terjadi pada kita, jangan pernah ada kata pisah. Hem?” suara Devan terdengar serius, menunjukkan betapa pentingnya janji ini baginya.
Nara menatap wajah Devan yang serius, tangan pria itu masih menggenggam erat sesuatu di dalam bajunya.
“Hem, aku janji,” jawab Nara, suaranya terdengar mantap, menunjukkan kesetiaannya.
Devan langsung mengangkat tubuh Nara, membawanya menuju tempat tidur. Ia ingin memberikan Nara semua yang ia inginkan, ingin menghapus semua keraguan dan rasa tidak aman yang selama ini menghantui istrinya.
Nara dan Devan kini telah melepaskan pakaian mereka. Saat Devan hendak memulai, ia kembali bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu-ragu, menunjukkan kecemasannya.
“Apa pun yang terjadi, kamu nggak akan meninggalkanku, ‘kan?”
Tampaknya, selain takut rahasianya terbongkar, Devan juga takut kehilangan kendali atas dirinya dan merusak suasana. Ia khawatir hal itu akan sangat menakutkan bagi Nara.
Nara, yang sudah berada di puncak perasaan, dengan cepat kembali mengangguk. Ia mencium bibir Devan dengan lembut, berbisik dengan suara yang penuh gai rah.
“Nggak akan, Dev. Aku istrimu. Sentuh aku sekarang! Nikmati aku!”
Devan membulatkan tekadnya, mulai memasuki tubuh Nara. Ia merasa sangat tegang, takut Nara akan marah atau menyadari ada sesuatu yang tidak salah.
Saat Devan mulai bergerak, Nara merasakan sensasi yang luar biasa, campuran antara panas dan perih yang tak tertahankan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menerobos masuk dengan paksa.
“Dev … sakit!” Nara merintih, matanya terpejam, wajahnya meringis kesakitan. Ini adalah rasa sakit yang luar biasa, jauh melebihi ekspektasinya, padahal seharusnya ini bukan pertama kali untuknya dan Devan.
Devan merasa tidak tega, tetapi ia lebih takut jika Nara menyadari kejanggalan. Ia kembali mendorong tubuhnya masuk lebih dalam, kali ini dengan sangat kuat, mencoba menembus pertahanan Nara.
Nara semakin meringis kesakitan. Rasa sakit yang begitu hebat membuatnya tak kuasa menahan air mata.
Melihat air mata Nara, Devan memeluk tubuhnya dan berbisik, “Maafkan aku, Nara!” Suaranya terdengar penuh penyesalan.
***
Siapa kemarin yang ngatain Mas Dev impo-ten? 🤭🤭🤭
tenang aja..aku nggak bakal ngintip kok.. cuma mantau dari jauh aja 🫣🫣🤣🤣🤣✌️✌️