Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. MANIPULASI VICTORIA
Beberapa hari setelah dirinya jatuh sakit, Victoria mulai menemukan pola. Pola yang jelas, rapuh, dan sangat mudah dimanfaatkan:
Sean selalu luluh ketika Victoria tampak takut. Ketika Victoria menangis. Ketika Victoria gemetar.
Sean bukan lelaki normal. Ia bukan orang yang memahami cinta dengan cara sehat. Namun ia punya satu kelemahan yang sangat jelas:
Sean tidak tahan melihat Victoria 'hancur' karena dirinya. Artinya Sean akan merasa gagal mendapatkan yang ia inginkan. Sean mencintai pengakuan dan ketundukkan.
Maka Victoria melanjutkan permainannya.
Setiap kali Sean datang dengan makanan, Victoria duduk memeluk lutut di sudut tempat tidur.
Setiap kali Sean mencoba masuk, Victoria mengangkat bahu dan menutup wajah seolah ketakutan. Dan setiap kali Sean berbicara dengan nada sedikit tegas, Victoria refleks menjauh seolah laki-laki itu akan memukulnya.
Efeknya?
Sean runtuh. Setiap Saat Victoria melakukan hal dramatis itu.
Pagi itu, Sean datang membawa sarapan: roti isi keju hangat dan sup ayam. Pintu diketuk pelan, seolah Victoria adalah anak kucing rapuh.
"Victoria? Aku masuk," ucap Sean dengan suara serendah mungkin.
Victoria langsung mengerutkan tubuhnya begitu pintu berdecit.
"Vic? Hey ... aku cuma bawa sarapan." Sean mendekat perlahan, seperti mendekati hewan liar yang trauma.
Victoria menunduk, menggenggam selimut dengan erat, ujung jarinya bergetar keras. Sementara dalam hati ia menghitung langkah Sean.
Empat langkah lagi ... dua langkah lagi ... berhenti.
Dengan wajah cemas, Sean meletakkan nampan itu di meja kecil dekat tempat tidur.
"Kau sudah merasa lebih baik?" suara Sean pelan, takut menyakiti.
Victoria membuka mulut untuk menjawab, tapi suaranya sengaja dibuat serak, lemah.
"Y-ya," jawab Victoria pelan.
Sean duduk di tepi ranjang. "Boleh aku dekat?"
Victoria menelan ludah pelan lalu mengangguk takut. Gerakannya kecil, sangat kecil, seolah Victoria takut kepalanya dipukul jika mengangguk terlalu keras.
Sean mendekat.
Victoria langsung tegang. Tubuhnya gemetar.
Sean reflek berhenti.
"Love?" Sean menarik napas panjang. "Aku tidak akan menyakitimu. Bukan lagi. Aku janji."
Victoria diam.
Itu jauh lebih efektif daripada jawaban apa pun.
Dan Sean kembali goyah.
Manuver ini berjalan mulus dua hari.
Hingga akhirnya Victoria masuk ke fase berikutnya dari rencana sang gadis.
Malam itu, setelah Sean keluar dari kamar, Victoria bangkit perlahan. Kakinya yang terantai terasa berat, tapi ia tahu ia harus membuat sesuatu. Ia butuh luka. Luka yang meyakinkan Sean bahwa rantai itu berbahaya.
Maka Victoria berjalan ke kamar mandi dan dengan sengaja menggesekkan pergelangan kakinya ke ujung tajam mata rantai.
Sakitnya luar biasa.
"Argh," Victoria menahan erangan dan menggigit bibir.
Darah tidak keluar banyak, tapi memar perlahan terbit besar dan gelap. Kebiruan. Sempurna.
Ia duduk di lantai kamar mandi, menahan napas, menahan rasa perih, lalu tersenyum.
Ini cukup, batinnya.
Keesokan paginya, ketika Sean datang membawa makanan, Victoria duduk diam di pinggir tempat tidur. Wajah pucatnya semakin meyakinkan karena semalam ia tak tidur. Matanya merah. Bibirnya sedikit pecah.
Saat Sean masuk, Victoria tersentak keras. Seolah mendengar suara pistol.
Sean langsung cemas.
"Victoria? Hei, aku cuma datang bawa sarapan."
Victoria menunduk dan memeluk dirinya sendiri.
Sean mendekat. "Kenapa kau gemetar begitu? Aku tidak marah."
Victoria mengangkat kepala, dan suara pelan itu muncul.
"A-aku ... aku minta maaf," ucap Victoria denhan nada bergetar.
"Hah? Untuk apa?" tanya Sean bingung.
"Aku ingin meminta sesuatu," jawab Victoria seraya menunduk lebih dalam.
Sean mengerutkan alis. "Minta apa?"
Victoria ragu, menelan ludah, lalu berkata lirih, "Rantainya ... boleh lepas rantai di kakiku?" pintanya.
Sean mendadak tegang. Wajahnya berubah tidak suka. Alisnya turun, rahangnya mengeras.
Victoria langsung terlonjak.
"Ma-maaf! Maaf! Maaf, Sean! Aku tidak akan minta apa-apa lagi! Jangan marah, aku ... aku tidak sengaja! Maaf! Lupakan saja. Maafkan aku," ujar Victoria panik. Tubuh Victoria gemetar hebat seperti anak kecil ketakutan menghadapi ayah pemarah.
Sean refleks mundur satu langkah.
Seolah Victoria menampar rasa bersalahnya.
"Victoria, Sean menghembuskan napas panjang, menahan emosi. "Aku tidak marah. Aku hanya terkejut."
Victoria menggeleng-geleng cepat. "Maaf ... maaf."
Gerakan sang gadis dibuat gemetar, kacau, sangat natural.
Lalu, dalam timing sempurna, Victoria mengubah posisi kakinya. Dengan sengaja namun alami.
Rantai bergeser.
Dan memar besar berwarna ungu gelap itu tampak jelas.
Sean membeku.
"Victoria?" suaranya patah. "Kakimu kenapa?"
Victoria buru-buru menutupinya dengan selimut, seolah takut Sean akan menghukumnya karena memar itu.
Namun justru tindakan itu membuat Sean semakin kacau.
"Biarkan aku lihat," kata Sean pelan.
Tangan Sean bergerak.
Victoria langsung tersentak keras, seolah Sean akan memukulnya.
"Jangan!" Victoria spontan mundur cepat.
Sean langsung berhenti. Setengah membeku.
"Aku tidak akan memukulmu," kata Sean parau. "Aku ... ya Tuhan, kenapa kakimu bisa separah ini?"
Victoria menunduk. "Maaf, aku selalu tersandung rantai, aku hanya ingin ke kamar mandi cepat, tapi rantai itu ... terus membuatku terjatuh."
Kini suara Victoria pecah, tapi bukan karena menangis sungguhan, melainkan karena ia ingin Sean tenggelam dalam rasa bersalah.
Sean memejamkan mata, tampak hancur.
"Jadi ... itu sebabnya kau minta rantainya dilepas?" Sean bertanya.
Victoria mengangguk kecil. Takut. Ragu. Manis. Rapuh.
Lawan sempurna bagi obsesi Sean.
Tanpa kata lain, Sean berlutut. Tangannya meraih kunci di saku celana. Ia memasukkan kunci kecil itu ke gembok rantai dan ....
Klik.
Rantai terlepas dari pergelangan kaki Victoria.
Victoria membeku. Ia tak sangka Sean akan langsung melepasnya. Ia mengira butuh drama lebih.
"Kenapa ... kenapa kau lepas?" Victoria berbisik lemah. "Bagaimana kalau aku ... kabur?"
Sean tersenyum tipis, dingin, mengusap kepala Victoria.
"Dengan keadaan kaki seperti itu? Kau bahkan sulit berjalan cepat. Dan kalau pun kau lar ...," Sean menatap matanya dalam, "Aku akan menangkapmu sebelum kau menyentuh pintu."
Victoria menunduk.
Dalam hati: Dasar pria gila.
Namun wajah Victoria tampak jinak. Tunduk. Lemah.
Sean memeluk Victoria pelan. "Kamu aman denganku. Kalau kau menurut ... aku tidak akan menyakitimu."
Victoria berbisik pelan, "Jadi ... kau tidak akan memukul aku lagi?"
Sean terdiam lama.
Lalu menjawab lirih, "Tidak ... kalau kau tidak keras kepala dan tidak mencoba melarikan diri."
Victoria mengangguk kecil. "Baik."
Sean menghela napas lega. "Good."
Lalu Victoria mengangkat wajah dengan ekspresi takut-hati-hati.
"Sean, aku boleh ... minta sesuatu lagi?" tanya Victoria.
Sean langsung siaga. "Apa?"
Victoria menurunkan pandangan, tampak ketakutan, "A-aku lapar apa aku boleh minta makanan? Walau inj bukan jam makan?"
Sean tercengang. Tak menyangka hal itu.
Lalu senyum tipis muncul di wajah Sean. Ia mengelus kepala Victoria, lembut seperti mengelus anak kecil.
"Tentu saja boleh," jawab Sean akhirnya.
Tanpa pikir panjang, Sean bangkit dan keluar ruangan.
Pintu menutup.
Begitu suara langkah Sean meredup, Victoria langsung mengangkat wajah.
Dingin.
Tenang.
Licik.
Karena ia tahu satu hal pasti:
Sean pasti menaruh kamera di ruangan ini. Karena itu Victoria tidak boleh menunjukkan versi asli dirinya.
Victoria duduk kembali, memerlakukan memar di kakinya dengan hati-hati.
"Akhirnya," gumam Victoria tanpa suara, “aku menemukan titik lemahnya lebih cepat dari dugaanku."
Sean terobsesi.
Sean ingin dibutuhkan.
Sean ingin merasa superior.
Sean ingin menjadi 'pelindung' bagi Victoria yang rapuh.
Dan Victoria tahu persis bagaimana memainkan peran gadis lemah yang membutuhkan penyelamat.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka.
Sean masuk membawa nampan penuh makanan: roti isi, sup, puding vanilla, bahkan sebotol susu hangat. Ia berhenti, panik ketika melihat Victoria meneteskan air mata.
"Victoria? Apa yang terjadi?" tanya Sean.
Victoria menggeleng cepat. "A-aku hanya ... aku tadi menggerakkan kaki tanpa sengaja ... sakit."
Sean segera menaruh nampan di meja. "Biar aku lihat."
Victoria diam, membiarkan Sean mendekat, tapi tetap bergetar seolah takut disentuh.
Sean membuka selimut perlahan. Ia melihat memar itu. Ia mengumpat pelan, "Sialan, kenapa bisa separah ini."
Tanpa bicara panjang, Sean mengambil kompres air dingin yang ia bawa dan mulai mengompres kaki Victoria dengan lembut.
"Lihat” suara Sean pelan. "Kau tidak bisa apa-apa tanpa aku. Jadi, bersikaplah baik, Victoria. Terima takdir kamu bersamaku."
Victoria tidak menjawab.
Victoria Ia mengambil roti isi, menggigitnya perlahan. Tidak menyanggupi. Tidak menolak. Tidak memberi sinyal apa-apa.
Jawaban gantung itu justru membuat Sean semakin yakin bahwa Victoria mulai 'jinak'.
Sean tersenyum puas, mengusap rambutnya.
"Good girl," puji Sean.
Victoria menurunkan mata.
Namun dalam hati ...
Satu langkah lagi. Permainan ini sudah di tanganku.
Dan malam itu, Victoria makan perlahan, sementara Sean terus mengompres kaki itu dengan hati-hati.
Dan permainan manipulasi Victoria, baru saja memasuki babak paling manisnya.
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
semangat juga thor 💪
Sean obsesi bgt ke Victoria
boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
badai pasti berlalu
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya