NovelToon NovelToon
Obsesi Sang Ceo

Obsesi Sang Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta / Dark Romance
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Biebell

Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.

Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.

Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.

Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 — Kau Belajar Dengan Baik

Camelia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop sambil memastikan tidak ada satu pun poin rapat yang terlewat. Jari-jarinya lincah mengetik, lalu setelah yakin dokumen rapat sudah rapi, ia menekan tombol Print.

Suara mesin printer segera terdengar di ruangan yang tenang. “Drrrt… cklik… cklik…” kertas pertama keluar perlahan, tinta hitam pekat mencetak huruf-huruf tegas di atas kertas putih.

“Ternyata suara mesin print cukup mengganggu, ya?” komentar Nerios tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptopnya.

Camelia melirik sekilas, lalu menyengir lebar. “Kalau begitu biarkan aku pindah ke ruang khusus sekretaris!”

Nerios menoleh dengan sebelah alis terangkat. “Apakah aku menyuruhmu pindah?”

“Tentu saja tidak,” jawab Camelia sambil cemberut. “Tapi kan kau merasa terganggu dengan suara mesin print, jadi aku sarankan aku dipindahkan saja ke ruang sekretaris.”

Pria itu terdiam sejenak, menatap Camelia dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi ruangannya harus dipindahkan ke sebelah ruanganku, lalu harus ada pintu yang terhubung.”

Senyum Camelia sempat muncul mendengar kata boleh, tapi langsung pudar ketika mendengar syarat tambahan itu. “Tidak mau. Sudah bagus ruangan sekretaris berada di dekat lift.”

“Kau akan capek bolak-balik ke ruanganku,” balas Nerios tenang.

“Tidak masalah!”

“Itu jadi masalah untukku, karena aku tidak bisa melihatmu sepanjang hari.”

Camelia mendelik. “Kau terlalu dramatis!” cibirnya, lalu berdiri untuk mengambil hasil print yang sudah selesai.

“Aku tidak peduli,” balas Nerios sambil mengendikkan bahu santai.

Camelia mengabaikannya. Ia merapikan lembar-lembar yang masih hangat dari printer, memasukkannya ke dalam map, lalu berjalan ke arah meja CEO itu. “Ini poin rapat tadi pagi. Untuk draft lengkapnya, akan aku kirimkan ke emailmu,” jelasnya singkat sebelum kembali ke mejanya.

Nerios membuka map tersebut, membaca cepat tapi teliti. Ia mengangguk tipis. “Bagus. Kau belajar dengan baik.”

“Terima kasih,” sahut Camelia tanpa menoleh, matanya fokus pada laptop karena ia mulai mengetik agenda rapat dan jadwal harian Nerios.

Pria itu menutup map, lalu bersandar sambil bertopang dagu. “Kau akan lelah bolak-balik ke ruanganku kalau setiap laporan diberikan satu per satu. Lalu kembali ke mejamu, lalu ke ruanganku lagi. Sangat tidak efisien.”

Camelia melirik sekilas, datarnya tak berubah. “Kan bisa dikumpulkan dulu, baru diberikan bersamaan. Kalau satu-satu memang merepotkan.”

“Kalau begitu kenapa kau langsung memberikan map ini padaku? Padahal kau masih membuat dokumen lain?” Nerios menyeringai tipis.

Camelia mendesah pelan. “Karena aku bukan membuat laporan, tapi jadwal rapat dan agenda harianmu.”

Nerios menegakkan duduknya, lalu pura-pura serius. “Tambahkan juga, jalan-jalan bersama Cameliaku. Masukkan itu ke jadwal harianku, oke?”

“HEI! Yang benar saja!” Camelia menoleh dengan mata melotot, wajahnya memerah karena kesal.

Tawa Nerios pun pecah. Suara rendahnya memenuhi ruangan, membuat suasana yang tadinya tegang kembali terasa hangat.

...———...

Beberapa menit setelah jam istirahat, pintu ruangan diketuk. Camelia bangkit dengan semangat, membuka pintu, dan mendapati Reyga berdiri tegap sambil memegang dua kantung plastik.

“Ini pesanan Nona,” ucap Reyga singkat, menyerahkan kantung itu.

Camelia menerimanya dengan senyum kecil. “Terima kasih,” jawabnya, lalu menutup pintu tanpa menunggu balasan.

Nerios menoleh sekilas dari balik meja, melihat Camelia berjalan ke arah meja kaca di depan sofa. “Kau memesan apa?” tanyanya datar, tapi matanya diam-diam menyorot penuh perhatian.

“Makanan Korea,” jawab Camelia sambil sibuk mengeluarkan isi kantung plastik, meletakkannya di atas meja dengan wajah ceria.

Kemudian ia melirik ke arah Nerios. “Ayo makan bersamaku! Aku sengaja beli banyak, pasti cukup untuk kita berdua.”

“Baiklah, kebetulan aku juga mulai lapar,” sahut Nerios seraya bangkit dan menghampirinya.

Mereka duduk lesehan di lantai, saling berhadapan. Nerios menatap satu per satu makanan yang sudah terbuka di depannya. “Kau memesan apa saja?”

“Kau belum pernah makan makanan Korea?” tanya Camelia sambil membuka bungkus panjang berisi toppoki.

“Sudah, tapi hanya beberapa yang kukenal. Seperti ini…” Nerios mengambil sumpit dan menunjuk toppoki. “Aku tahu ini toppoki.”

Camelia tersenyum kecil. "Itu toppoki malarose. Menurutku tidak terlalu pedas, tapi kalau menurutmu pedas, kau makan yang lain saja."

"Boleh aku mencicipinya duluan?" Izin Nerios sambil menatap Camelia yang masih sibuk membuka bungkus makanan.

"Boleh, kau cicipi saja duluan," jawabnya tanpa menoleh.

Nerios mencicipi kuahnya. Raut wajahnya tetap tenang. “Tidak pedas. Malah enak, creamy sekali. Aku suka.”

Camelia menahan tawa melihat cara Nerios yang serius sekali hanya untuk menilai rasa. “Kalau begitu makanlah lebih banyak. Kan aku yang ajak kau makan, lagipula uangnya juga uangmu,” ujarnya terkekeh.

Nerios tersenyum tipis. “Aku yang menyuruhmu pesan, jadi makanan ini milikmu. Kau makan dulu, baru aku.”

Camelia tertawa kecil, lalu menunduk menikmati suapan pertamanya. Sementara itu, Nerios menatap makanan lain di meja—chicken saus Korea, cheese ball, gimbab, hingga danmuji.

“Kau jangan hanya menatap. Coba yang lain juga,” ujar Camelia sambil meliriknya.

Nerios mengangguk, lalu mengambil gimbab. Rasanya sederhana tapi mengingatkannya pada perjalanan bisnisnya ke Seoul beberapa tahun lalu.

“Campurkan dengan toppoki, rasanya lebih enak,” saran Camelia, mendorong piring toppoki ke arahnya.

Nerios menuruti, mencampurkan satu potong gimbab dengan kuah toppoki, lalu mencicipinya. Ia menatap Camelia, lalu tersenyum. “Kau benar. Lebih enak.”

Camelia ikut tersenyum senang. Momen sederhana itu, makan lesehan di ruang kerja dengan makanan Korea, terasa begitu hangat.

...———...

Sore hari, ketika Camelia dan Nerios sudah bersiap untuk pulang, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Sheryl masuk dengan wajah cerah, melangkah langsung menuju sofa. Nerios yang awalnya berdiri, akhirnya duduk kembali ketika Sheryl mengajaknya bicara.

Camelia hanya menatap sekilas, lalu kembali menunduk menatap ponselnya. Jari-jarinya bergerak asal, sekadar mencari kesibukan, meski telinganya tak bisa menutup dari percakapan itu.

“Mamihku ingin kau datang lagi ke acara ulang tahunnya. Sama seperti tahun lalu,” ucap Sheryl sambil tersenyum manis, matanya menatap penuh harap ke arah Nerios.

Nerios bersandar, wajahnya datar tanpa ekspresi. “Tahun lalu kau yang memaksaku untuk ke sana, kalau kau lupa.”

Sheryl menunduk sesaat, lalu tersenyum kikuk. “Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa nolak permintaan Mamih. Dia senang sekali waktu kau datang.”

“Kau bisa jujur padanya bahwa kau sudah bukan lagi sekretarisku,” balas Nerios, nada suaranya dingin dan jelas.

Sheryl menggigit bibir bawahnya. “Tapi waktu itu aku bilang pada Mamih kalau kau kekasihku.”

Camelia yang mendengar itu spontan berhenti scrolling. Matanya membulat kecil, lalu buru-buru pura-pura kembali sibuk dengan ponselnya.

Nerios menghela napas pelan, lalu menatap Sheryl tajam. “Dan jelas itu kesalahanmu, bukan aku.”

Sheryl meremas ujung tas kecilnya, berusaha menahan rasa malu bercampur gelisah. “Aku cuma nggak tega bilang yang sebenarnya. Mamih pasti kecewa kalau tahu—”

“Kecewa atau tidak, itu bukan urusanku,” potong Nerios, suaranya dingin tapi tegas. Ia sedikit condong ke depan, menatap Sheryl tanpa basa-basi, langsung menusuk ke inti.“Jangan libatkan aku dalam kebohonganmu.”

Camelia melirik sekilas dari kursinya. Senyum tipis muncul tanpa bisa ditahan. Ia lalu berpura-pura mengetik sesuatu di ponsel, seakan tidak memperhatikan, padahal telinganya menyimak penuh.

Sheryl menghela napas keras, suaranya meninggi. “Kenapa sih kau selalu segamblang itu? Apa susahnya datang sekali lagi saja? Itu cuma pesta ulang tahun, Nerios!”

Pria itu menyandarkan punggung, menatap datar. “Yang kau sebut cuma pesta, itu berarti aku harus berakting jadi kekasihmu, kan? Aku tidak tertarik!”

Camelia yang sudah tidak tahan akhirnya ikut bersuara, masih dengan mata menatap layar ponselnya. “Kalau aku boleh kasih saran, Mbak Sheryl, sebaiknya undang saja orang lain. Banyak pria di luar sana yang lebih suka pesta, daripada memaksa orang yang jelas-jelas tidak mau.”

Sheryl terdiam, menoleh cepat ke arah Camelia. Wajahnya sedikit memerah, kesal karena Camelia ikut campur. “Aku tidak bicara denganmu!”

Camelia akhirnya mendongak, menatap Sheryl sambil tersenyum ramah tapi jelas menusuk. “Oh, maaf. Kupikir tadi pertanyaannya terbuka. Soalnya suaranya cukup keras sampai aku yang di sini ikut dengar.”

Nerios menahan tawa, sudut bibirnya terangkat tipis. Ia melirik Camelia sekilas, jelas menikmati bagaimana gadis itu menambah bumbu pada percakapan.

Sheryl terdiam beberapa detik, lalu bangkit dengan wajah masam. "Baiklah jika kau tidak bisa, aku permisi!"

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, hatinya pun penuh rasa dongkol.

Begitu pintu tertutup, Nerios menghela napas, lalu menoleh ke Camelia. “Kau seharusnya tidak perlu ikut campur.”

Camelia mengangkat bahu, ekspresi santainya tak tergoyahkan. “Aku cuma kasihan, kasihan lihatmu hampir terjebak jadi aktor di drama orang lain.”

Nerios menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya tertawa kecil. “Kau memang tidak bisa diam, ya?”

Camelia kembali menunduk pada ponselnya. “Diam itu membosankan.”

1
Satsuki Kitaoji
Gak nyangka bakal se-menggila ini sama cerita. Top markotop penulisnya!
Alucard
Baca sampe pagi gara-gara gak bisa lepas dari cerita ini. Suka banget!
MilitaryMan
Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!