Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Izin untuk Serakah
Subuh itu, Ivy terbangun oleh getaran halus di meja samping. Bunyi notifikasi singkat memecah kesunyian kamar. Matanya masih berat, tubuhnya pegal dan hangat sisa pelukan semalam. Ia mengulurkan tangan malas, sekadar ingin mematikan layar ponsel suaminya agar tidak mengganggu tidur.
Namun, yang terpampang di layar membuatnya tertegun.
Beatrice.
Satu nama sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya serasa diremas.
Boleh kita bicara? Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu.
Ivy menoleh. Calix tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang, nafasnya teratur. Seolah tak ada satu hal pun di dunia yang bisa mengusik tidurnya.
Ivy menelan ludah. Ada rasa hangat, tapi juga getir yang menyusup bersamaan. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tidak ingin menuduh. Namun, perasaan cemburu itu tetap saja menyelinap, merayap tanpa permisi.
Perlahan, ia bangkit. Selimut yang menutupi tubuhnya ia singkirkan pelan-pelan agar tidak membangunkan Calix. Begitu kakinya menapak lantai dingin, rasa pegal membuatnya meringis kecil. Semalam, ia terlalu larut dalam permainan suaminya.
Ia berjalan menuju balkon kecil, menarik pintu kaca dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Angin subuh itu menyapa kulitnya, membuatnya sedikit menggigil.
Bahu Ivy merosot. Tangannya menggenggam pagar balkon, pandangannya jatuh pada hamparan lampu kota yang berkelip jauh di bawah.
“Kenapa aku selalu begini?” bisiknya lirih.
Ia takut. Takut kalau semua yang ia rasa hanyalah sepihak. Takut kalau Calix sebenarnya tak pernah melihatnya lebih dari sekadar kewajiban. Dan Beatrice … nama itu kembali bergema di kepalanya.
Untuk sesaat, ia hanya berdiri di sana, sendiri, dengan tubuh pegal, hati penuh sesak, dan pikiran yang tak mau diam.
...***...
Calix menggeliat pelan di ranjang. Tubuhnya refleks meraih sisi tempat tidur yang kosong —dingin. Matanya membuka perlahan, keningnya mengernyit. Ia menatap jam kecil di atas meja. Masih pukul 3 subuh.
“Ivy?” panggilnya rendah, suara serak khas baru bangun.
Hening.
Ia bangkit, mengambil robe hitam yang tergantung di kursi. Begitu melangkah, ia melihat pintu balkon sedikit terbuka, tirainya bergoyang pelan diterpa angin.
Calix berjalan ke sana, dan benar saja, sosok Ivy berdiri dengan punggung membelakanginya. Bahunya sedikit merosot, rambutnya tergerai berantakan, dan tubuh mungilnya hanya dibalut kaus tidur tipis yang membuatnya tampak begitu rapuh di bawah cahaya bulan.
“Ivy.” Suaranya dalam, tapi lembut.
Ivy tersentak kecil, lalu menoleh. Matanya berkedip cepat, seolah ingin menyembunyikan sesuatu. "Calix? Kau bangun? Maaf, aku terbangun. Udara di luar terasa … lebih tenang.”
Calix mendekat tanpa bicara. Ia berdiri tepat di belakang Ivy, lalu menyelimuti bahunya dengan tangan besar dan hangatnya. Kepala Ivy otomatis bersandar di dada bidang suaminya, dan ia bisa merasakan detak jantung Calix yang stabil.
"Ada apa? Kau boleh mengatakannya."
Beberapa saat mereka hanya diam, ditemani gemerisik malam. Hingga akhirnya, Ivy membuka suara. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
“Calix…”
“Hm?” Ia menunduk, memperhatikan wajah istrinya yang setengah bersembunyi di dadanya.
Ivy menelan ludah. Kedua tangannya meremas kaus tipis yang dipakainya sendiri. “Apa ... aku boleh menjadi serakah?”
Calix tidak menjawab segera, hanya menunduk sedikit, menunggu.
Katakan saja, Ivy. Katakan pada pria ini.
“Apa aku boleh ingin kau sepenuhnya jadi milikku? Hanya aku yang punya hak atasmu … tanpa siapa pun, tanpa masa lalu, tanpa orang lain. Hanya aku.” Mata Ivy menatap kosong ke depan, tapi suaranya bergetar.
“Aku ingin merasa berhak … meskipun aku tahu, aku mungkin tidak benar-benar —”
Kalimat itu terhenti karena Calix memutar tubuhnya, menangkup dagu Ivy agar menatap langsung. Tatapannya menusuk, dingin namun mengekang penuh kuasa.
“Dengarkan baik-baik, Ivy,” ujarnya berat, nyaris menggeram. “Aku adalah suamimu. Itu saja sudah cukup untuk kau merasa berhak. Kau tidak perlu izin untuk menjadi serakah.”
Jantung Ivy melompat, seolah sesuatu yang selama ini ia takutkan runtuh begitu saja.
Calix mendekatkan wajahnya, kening mereka hampir bertemu. “Aku tidak akan jadi milik siapa pun. Aku sudah jadi milikmu, dengan atau tanpa kau minta. Ingat itu.”
Ivy membeku, lalu perlahan menutup mata. Dadanya sesak, antara lega, bahagia, sekaligus sakit. Karena meski tidak ada kata cinta, ucapan itu cukup untuk meninju hatinya yang lemah.
Pagi itu, Ivy bersandar lebih dalam ke dada Calix. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya percaya — walau mungkin hanya sebatas peran, ia tetap berhak.
Ivy menarik napas dalam, matanya masih terpejam. Perlahan, ia mengangkat tangan, menyusuri dada bidang Calix, jari-jarinya ragu-ragu tapi akhirnya menempel erat. Ia menempelkan pipinya ke dada itu, seolah mencari bukti kalau kata-kata barusan nyata.
“Kalau begitu … jangan biarkan aku melepasmu, Calix.” Suaranya nyaris berbisik, penuh ketakutan yang disembunyikan.
Calix tidak menjawab dengan kata, hanya menundukkan kepalanya untuk mengecup ubun-ubun Ivy. Gerakan sederhana, tapi cukup membuat Ivy merasa seluruh dinding pertahanannya runtuh.
Dengan tubuh yang masih pegal, Ivy malah semakin melingkarkan tangannya di pinggang suaminya. Ia mendongak sedikit, bibirnya menyentuh kulit Calix, mencuri kehangatan tanpa izin.
“Kalau kau sudah jadi milikku …” gumamnya, kali ini dengan nada lebih berani. “… aku akan benar-benar egois. Tidak ada yang boleh memanggilmu, mengganggumu, atau mengambil waktumu dariku. Tidak ada yang boleh.”
Ia berhenti sebentar, lalu menatap Calix dari bawah dengan mata basah, manja sekaligus penuh rasa takut kehilangan.
“… bahkan Beatrice.”
Calix terdiam, tatapannya menajam. Namun Ivy cepat-cepat menyembunyikan wajahnya di dadanya lagi, tidak berani melihat reaksi lebih jauh.
Ia hanya bisa menggenggam lebih erat, seolah tubuh Calix adalah jangkar yang menahan segala rasa cemburu dan takut yang selama ini ia sembunyikan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
respon Calix yg membuatku terdiam thor.
Jangan macam² ya Calix, awas memang km
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu