Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Bu Fatma duduk di sofa ruang tamu dengan wajah cemas. Tangannya saling meremas, sesekali melirik Pak Iksan yang duduk di sebelahnya. Suasana rumah terasa begitu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.
Anjani duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan ibunya.
"Ibuk..." suara Anjani pelan, mencoba memecah keheningan.
Bu Fatma menegakkan kepala, matanya berkaca-kaca. Ia melirik Pak Iksan, seolah meminta izin sekali lagi. Pria paruh baya itu mengangguk pelan, wajahnya penuh kebijaksanaan meskipun sorot matanya menyimpan kegelisahan.
"Ada yang ingin Ibuk sampaikan nak,tentang siapa kamu sebenarnya." suara Bu Fatma bergetar, menahan emosi yang sejak lama ia pendam.
Anjani mengernyit, hatinya mulai tak enak.
"Maksud Ibuk apa?" tanyanya hati-hati.
Bu Fatma menarik napas panjang, seolah mengumpulkan Elisabet dan seluruh anggota keluarga di sana menyimak apa yang akan dikatakan oleh Bu Fatma. Suasana terasa begitu tegang, seolah semua orang menahan napas.
Anjani duduk dengan tangan gemetar, menanti penjelasan yang terasa begitu berat. Matanya menatap wajah Bu Fatma yang penuh kebimbangan.
"Ibuk... sebenarnya ada hal yang selama ini kami sembunyikan darimu, Nak," suara Bu Fatma lirih, nyaris bergetar.
Anjani menelan ludah, hatinya semakin gelisah.
"Apa maksud Ibuk?" tanyanya pelan, mencoba menenangkan diri.
Bu Fatma menggenggam tangan Anjani erat, air matanya mulai jatuh.
"Sebenarnya... kamu bukan anak kandung Ibu, Nak."
Seolah ada gemuruh petir yang menyambar hati Anjani. Nafasnya tercekat, wajahnya memucat seketika.
"Apa semua ini benar , Buk? Kenapa... kenapa baru sekarang Ibuk memberitahuku?"
Pak Iksan yang duduk di sudut ruangan ikut menundukkan kepala, seolah tak sanggup menatap mata putrinya.
"Kami tak pernah berniat menyakitimu, Nak... tapi kami takut kamu membenci kami jika tahu yang sebenarnya."
Air mata Anjani jatuh tanpa bisa dibendung. Dunia yang selama ini ia percaya seakan runtuh seketika.
"Kenapa Ibu baru bilang sekarang? Lalu siapa orang tuaku yang sebenarnya?"
Bu Fatma hanya terisak, tak mampu menjawab.
Anjani menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang semakin membuncah. kecewa, dan rasa sakit bercampur menjadi satu.
Dulu...
Suatu malam saat hujan turun dengan deras, rumah kecil milik Pak Iksan dan Bu Fatma diterangi lampu temaram. Suara petir bersahutan di langit, membuat suasana semakin mencekam.
Tiba-tiba, pintu rumah diketuk dengan keras. Bu Fatma menoleh ke arah suara itu dengan wajah cemas. Pak Iksan yang sedang menyiapkan kopi hangat segera bangkit, melangkah pelan menuju pintu.
Saat pintu terbuka, mereka dikejutkan oleh sosok laki-laki tak dikenal yang berdiri dengan tubuh berlumuran darah. Nafasnya tersengal, di pelukannya ada seorang bayi kecil yang basah kuyup, menangis pelan.
"Tolong... selamatkan anak ini..." suara pria itu terdengar lemah, hampir tak terdengar di tengah suara hujan.
Bu Fatma spontan mendekat, langsung meraih bayi itu dengan hati-hati. Tubuh mungil bayi itu gemetar kedinginan, wajahnya memerah.
"Ya Allah... siapa anak ini, Pak? Dan siapa Anda?" tanya Bu Fatma sambil membungkus bayi dengan kain kering.
Pak Iksan membantu pria itu masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di tikar lusuh dekat tungku perapian.
"Saya... hanya dititipi anak ini... tolong... jaga dia..." pria itu berbisik lirih, darah segar terus mengalir dari luka di tubuhnya.
Pak Iksan segera mengambil peralatan sederhana untuk membersihkan luka-luka pria itu, tapi pria tersebut hanya tersenyum lemah.
"Orang tuanya... sudah tiada... jangan pernah biarkan dia tahu... tentang masa lalunya..."
Setelah mengatakan itu, pria tersebut menutup matanya, nafasnya terputus dalam sekejap.
Pagi harinya, kabar tentang pria tak dikenal yang meninggal di rumah Pak Iksan cepat menyebar di antara warga desa. Beberapa tetangga datang membantu mengurus jenazah pria itu. Mereka menggali liang lahat di pemakaman kecil di ujung desa.
Pak Iksan ikut turun tangan, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya tentang siapa pria itu dan dari mana asal-usulnya. Namun, satu hal yang pasti, pria itu telah menitipkan sesuatu yang sangat berharga pada mereka.
Bu Fatma, yang sejak malam tadi tak pernah melepaskan bayi kecil itu dari pelukannya, terus menatap wajah mungil di dekapannya. Bayi itu tampak begitu tenang, seolah menemukan tempat yang aman.
"Ibu... bayi ini tak punya siapa-siapa... bagaimana kalau kita rawat saja? Kita anggap dia sebagai anugerah dari Allah," kata Pak Iksan lirih setelah pemakaman selesai.
Bu Fatma menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, belum juga hadir buah hati yang mereka nanti-nantikan. Kehadiran bayi ini bagaikan jawaban atas doa-doa mereka.
"Dia sudah seperti amanah buat kita, Pak... mungkin ini rezeki yang selama ini kita tunggu-tunggu," jawab Bu Fatma dengan suara bergetar.
Pak Iksan mengangguk pelan. Mereka memutuskan untuk merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang.
Hari itu juga, Bu Fatma memberi bayi itu nama Anjani—yang berarti keberanian dan keteguhan hati.
Sejak saat itu, Anjani menjadi pelita di tengah rumah kecil mereka, tanpa pernah tahu bahwa hidupnya menyimpan rahasia besar yang kelak akan mengguncang dunianya.
*****
Setelah itu, kami merawatmu dengan segala keterbatasan ekonomi yang kami miliki, Nak... Tapi kami selalu mencoba memberikan yang terbaik untukmu," suara Bu Fatma bergetar, menahan air mata yang hampir tumpah.
Anjani menatap Bu Fatma dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kehidupan yang ia jalani selama ini ternyata menyimpan rahasia besar.
"Ibuk... jadi selama ini aku bukan anak kandung ibu?" suara Anjani bergetar, mencoba memahami kenyataan yang baru saja ia dengar.
Bu Fatma menggenggam tangan Anjani erat, "Bukan, Nak... tapi bagaimanapun juga, kamu tetap anak ibu... ibu menyayangimu melebihi apa pun."
Anjani menangis di pelukan Bu Fatma, merasa dunia yang selama ini ia pijak seakan runtuh seketika.
Di sudut ruangan, Marco yang sejak tadi diam, akhirnya memberanikan diri melangkah mendekat. Matanya menatap Anjani penuh harap.
"Anjani... aku tahu ini terdengar mustahil, tapi... aku pernah kehilangan seorang bayi perempuan bertahun-tahun lalu..." suaranya bergetar menahan emosi.
Anjani menoleh, menatap Marco dengan bingung.
"Apa maksud Bapak?" tanyanya dengan suara lirih.
Marco menarik napas dalam, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk.
"Bertahun-tahun lalu... anakku diculik saat masih bayi. Aku mencarinya ke mana-mana, tapi tidak pernah menemukannya..." Marco menelan ludah, suaranya semakin bergetar. "Dan sekarang, melihatmu... aku merasa ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku yakin... kamu mungkin putriku, Eviana."
Anjani terkejut, menatap Marco dengan mata membelalak.
Bu Fatma menunduk, air matanya jatuh perlahan.
"Ibu tidak tahu pasti siapa orang tuamu, Nak... Laki laki itu tak memberikan informasi apa apa pada kami. ia datang dalam keadaan sekarat... dia tidak sempat mengatakan apapun sebelum meninggal.”
"Kami memang dulu sempat berpikir kalau kamu bukan keturunan pribumi asli, Nak...," suara Bu Fatma lirih, menatap Anjani dengan mata berkaca-kaca.
Anjani mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata ibu yang selama ini ia panggil "ibu".
"Dari kecil... warna kulit, rambut, dan matamu berbeda dari kebanyakan orang di desa ini," lanjut Bu Fatma, suaranya sedikit bergetar. "Tapi karena kami dan warga desa sudah terbiasa dengan kehadiranmu sejak bayi, tak ada yang mempermasalahkannya..."
Pak Iksan yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Kami tidak pernah peduli tentang asal-usulmu, Nak... yang kami tahu, kamu adalah anugerah yang dititipkan Tuhan kepada kami."
Air mata Anjani semakin deras. Hatinya terasa sesak mendengar kejujuran kedua orang yang selama ini ia anggap sebagai orang tua kandungnya.
"Tapi kenapa... kenapa baru sekarang kalian menceritakan semua ini, Buk?"
Bu Fatma menundukkan kepala, menahan isak tangisnya.
"Kami takut kehilanganmu, Nak... kami takut kalau suatu saat kamu tahu, kamu akan membenci kami..."
Anjani menggeleng pelan, air matanya terus mengalir.
"Aku tidak pernah membenci kalian, Buk... kalian tetap ibuku dan ayahku... aku hanya... aku hanya merasa bingung dengan semua ini."
Marco yang sejak tadi menyimak dengan hati bergetar mencoba mendekat lagi.
"Anjani... aku tahu ini sulit... tapi aku yakin kamu adalah anakku, Eviana. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikannya."
Anjani terdiam, hatinya diliputi kebimbangan. Ia menatap Bu Fatma dan Pak Iksan yang masih duduk dengan wajah sendu.
Ruangan itu mendadak sunyi. Hanya suara isak tangis yang terdengar. Anjani merasa dunianya berputar, tidak tahu harus percaya kepada siapa.
Marco mendekat perlahan, suaranya penuh harap.
"Aku tidak memaksa... tapi jika kau bersedia, kita bisa melakukan tes DNA untuk memastikan semuanya."
Anjani menelan ludah, dadanya terasa sesak. Kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi perlahan mulai terungkap.
Akhirnya, dengan hati yang berat, Anjani mengangguk pelan menyetujui perkataan Marco. Matanya masih sembab oleh air mata yang belum kering.
William, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya buka suara, memecah keheningan.
"Sudah larut malam... lebih baik kalian semua beristirahat. Pak Iksan, Bu Fatma, kalian bisa menginap di sini. Besok kita lanjutkan pembicaraan ini."
Pak Iksan dan Bu Fatma saling pandang, merasa lega dengan tawaran tersebut.
"Terima kasih, Nak William...," ucap Pak Iksan dengan suara berat.
Bu Fatma hanya mengangguk pelan, matanya masih basah oleh air mata.
Anjani memeluk ibunya dengan erat, seolah mencari kekuatan dalam pelukan itu.
"Kita semua butuh waktu...," gumam Anjani pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
William segera mempersilahkan mereka menuju kamar tamu yang telah disiapkan. Rumah itu kembali sunyi, menyisakan perasaan canggung dan kebingungan di hati masing-masing.
Malam yang panjang itu menjadi saksi bahwa sebuah rahasia besar mulai terkuak, membawa Anjani pada perjalanan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Apakah hasil dari tes DNA itu akan menunjukan bahwa Anjani putri dari keluarga Marco…? Ikuti kisah selanjutnya..
hrs berani lawan lahhh