Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Meremehkanku, Jen!
Cangkir yang dipegang Darren nyaris jatuh, sama dengan rahangnya, yang seketika memisah saking terkejutnya. Bahkan telinga Darren tak memercayai ucapan yang terlontar dari bibir Jen. Tetapi ia bersegera menguasai diri, ia tak boleh terlihat seperti orang yang tak punya pendirian. Ia tak mau dipermainkan lagi oleh Jen. Kali ini, ia ingin Jen yang memohon.
Jen sendiri tidak bisa terlalu berpikir panjang. Papa dan mamanya Darren sudah cukup membuatnya tertekan dan mengerucut pada satu keinginan. Setidaknya satu tahun atau dua tahun, tidak apalah, pikir Jen.
"Kau sehat?" Darren membuat bibirnya tertawa sinis.
Jen terkejut, tetapi langsung mendecak dengan sebal. Ini perkara serius, masih saja ditanggapi dengan candaan. Dengan tajam ia berkata. "Aku akan melupakan kalau kau pernah membuat hati sakit! Aku akan menghapus semuanya, Ren? Apa itu tidak cukup? Setidaknya kau juga harus bertanggung jawab dengan ucapanmu kemarin 'kan?" bujuk Jen.
Darren kembali mendengkus dan melirik dengan sinis, "Aku tidak mau, ya ...! Menikah? Jadi kekasihmu saja aku masih mikir dua kali!" Darren berbalik, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil yang sesak dengan barang milik Darren.
Tentu segala yang melekat di sini serba sederhana. Kamar Darren bahkan lebih sempit dari empat kamar lain yang ada di rumah ini. Tak ada ranjang besar, hanya sebuah kasur busa di lantai yang berukuran 120x200 cm dengan seprei polos berwarna abu terang. Sebuah bean bag sofa abu-abu tua yang berhadapan dengan layar monitor 32 inci yang menggantung di tembok.
Jen melebarkan matanya, Darren harus bisa mengiyakan, Darren tidak boleh menolak. "Aku akan membayarmu, Ren ... aku akan jadi istri yang baik, aku akan ikuti apa katamu!"
Darren masih membelakanginya, bergeming, mengisi ruangan ini dengan keheningan. Membuat Jen makin ketar ketir.
"Aku harus apa?" batin Jen sambil meremas tangannya sendiri. Ia sibuk memikirkan bagaimana cara memohon. Seketika Jen menyerbu Darren, mengambil posisi tepat di depan Darren, menatap mata yang mengedip cepat karena terkejut.
"Ku mohon, Ren!" Tanpa permisi, ia meraih telapak tangan Darren dan bersimpuh.
"Silly, apa aku harus mencium tangannya, memeluk kakinya? Kenapa diam saja? Tarik tangannya kek, kalau ngga mau. Minta aku bangun kek, kalau dia pertimbangkan ucapanku!"
Jen menengadahkan wajahnya, dilihatnya Darren masih bergeming dan kaku. Jen menggigit bibir, "Demi apa coba aku ngemis begini?"
Jen menunduk, tepat ketika Darren menurunkan pandangannya, usai melegakan dirinya yang terlampau syok. Sejenak menimbang baik buruknya menerima permintaan Jen. Salah satu sisi hatinya bersorak sorai, tetapi sisi hatinya tetap harus menjunjung tinggi harga dirinya.
Baginya, menikah hanya sekali, menikah bukan permainan. Jadi, dia harus benar-benar memastikan Jen bukan hanya sekadar memanfaatkan keadaan.
"Berdirilah! Ini seperti bukan kamu saja! Membayar? Kamu pikir menikah itu mudah? Atau kau pikir pernikahan hanya untuk mainan?" tegas Darren sambil menarik tangan Jen yang sejak tadi masih bertautan.
"Bukan begitu, Ren ... tapi tolonglah! Hanya kamu yang bisa nolong aku!" Jen sudah berdiri berhadapan dengan Darren. "Lagipula, kata Tante Desy ... kamu menyukaiku. Jadi apa salahnya? Aku janji deh, ngga bakal bikin kamu susah!" rengek Jen.
Darren masih menatap tak percaya gadis di depannya ini. "Tetap aku tidak mau, Jen ... kau pasti hanya ingin menikah untuk satu atau dua tahun, 'kan?"
"Eh ...," Jen terkaget-kaget sendiri. Kenapa dia bisa tahu? Apa dia dukun?
Tangan Jen mengibas dengan cepat dan menggeleng. "Enggak ... sumpah! Ngga secepat itu, lima kalau begitu! Sampai lima tahun, bagaimana?" Senyum takut menghiasi bibirnya.
Lima jemari Jen mengacung di depan wajah Darren. Membuat mata Darren mau tak mau melirik sekilas. Setelah itu, Darren menatapnya tajam, sehingga Jen mundur, menurunkan tangannya, dan meringis semakin takut. Ia menyerah, biarlah ia dicabik-cabik oleh semua orang dari pada memohon lebih dari ini.
"Kita berpisah jika kamu ngga punya anak dariku dan aku ngga bisa bikin kamu jatuh cinta padaku! Deal?"
"A ...?" Jen mengedip bodoh, lalu memutar bola matanya ke atas.
Darren mengacungkan tangannya, "Kalau ngga mau ya, sudah!" Ia menarik lagi tangannya.
Jen memburu tangan Darren dan tersenyum licik. "DEAL! One year, no more!" Jen mengangkat kedua alisnya penuh kemenangan saat Darren menatapnya dengan tak percaya. Jen tergelak menikmati kemenangannya. Kehidupan Jen seolah baru dimulai ketika semua terasa mudah hingga binar-binar dimatanya merangkak naik dengan cepat.
"Janji sudah dibuat dan pria harus menepati janji!" sambung Jen lagi. Lalu ia melepas tangannya dengan gerakan dramatis dan memprovokasi. Lalu mengitari kamar Darren yang terasa hangat, dan berakhir di sofa bulat. Ia menghempas tubuhnya di sana dan menyilangkan kakinya.
Sial!
Darren masih menatap setiap gerakan Jen dengan tatapan tajam. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkan olehnya saat itu. Tangannya terulur mengait gagang cangkir dan menyeruput teh yang hampir dingin.
Byur!
Darren menyemburkan teh yang baru setengah jalan mengisi mulutnya. Membuat Jen bangkit saking terkejutnya.
"Kau ini tidak tahu caranya minum, sudah tahu panas masih ngga hati-hati!" teriak Jen sambil berdiri dan membantu Darren membersihkan dagunya.
"Kau sengaja memberiku teh pahit begini?" balas Darren tak kalah keras.
What? Jen langsung merebut cangkir itu dan mencicipinya. Ia langsung melebarkan matanya, bersiap menyemburkan teh yang sangat pahit itu. Tetapi tangan Darren membekapnya hingga ia memukuli tangan kokoh Darren.
"Telan! Awas sampai kau semburkan! Atau aku akan memaksamu mengulanginya hingga habis!" Erangan dalam dari tenggorokan Jen membuat Darren tersenyum puas. Terlebih gerakan di leher Jen yang menandakan kalau cairan itu telah ditelannya.
"Bagus! Enak? Mau lagi? Nih ... habiskan! Ayo, buka mulutmu!" Darren berpura-pura dengan menekan kedua rahang Jen dengan tangannya, seperti memaksa Jen membuka mulut dan mendekatkan ujung cangkir itu ke bibir Jen.
Jen menjerit keras, rasa pahit teh itu masih tertinggal di pangkal lidahnya, dan masih mau di paksa minum lagi? Tidak! Darren terkekeh melihat tingkah Jen, lalu melepaskannya setelah puas memberi gadis itu sebuah pelajaran.
Di luar, Rendi dan Desy saling pandang.
"Pa ...." Desy seperti kehilangan kemampuan berbicara. Ia sampai menutup bibirnya dengan tangannya.
"Kita harus bersujud di kaki Kira, Ma ... anak kita sudah merusak anaknya!" Bibir Rendi bergetar saat mengatakan itu. Meski bersahabat, tapi tindakan ini tentu tak bisa dibiarkan dan dimaafkan.
Terbayang oleh mereka berdua ketika Harris tanpa belas kasihan menghukum siapa saja yang pernah menyalahi ketentuan mereka.
"Darren! Ya Tuhan!" lirih Desy dalam isakan yang dalam. Rendi kini tak bisa berkata-kata selain merengkuh istrinya. Tentu tidak akan ada yang menyangka semua ini terjadi.
"Aku ngga tahan berjauhan dari Jen, Ma!" Begitu ucapan Darren ketika ia mengundurkan diri dari perusahaan pertambangan yang menggajinya dengan jumlah yang fantastis di Pulau K. Desy hanya menganggap ucapan Darren tak lebih dari seorang pria dimabuk cinta. Hanya itu. Tak pernah sejauh ini.