Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan Rosalina.
Sampai pada malam harinya, Rosalina sama sekali tidak keluar dari kamar tamu. Membuat Handrian merasa geram dan mengetuk pintu kamar itu dari luar.
Setelah beberapa kali ketukan, barulah Rosalina memperlihatkan wajahnya, namun bukan untuk menemui atau pun menegur suaminya.
Tapi ia langsung melangkah keluar melewati Handrian yang berdiri terpaku menatap kearahnya.
Melihat hal itu, hati Handrian merasa semakin kesal, sehingga ia mencengkeram pergelangan tangan Rosalina dengan cengkeraman yang lebih kuat dari sebelumnya. Membuat Rosalina meringis.
Rosalina mencoba melepaskan tangan suaminya itu, namun dirinya begitu kesulitan.
"Apa sih, Mas? Lepasin tanganku, sakit tahu nggak?" Suaranya terlihat sedikit berteriak diwajah Handrian. Sehingga Handrian pun semakin naik pitam.
"Apa maumu, Lina? Kenapa kamu sudah tidak perduli lagi padaku?"
Rosalina yang terus berusaha melepaskan tangannya, Akhirnya berhasil melakukan hal itu, lalu kemudian ia menatap Handrian dengan sorot mata tajam.
"Untuk apa aku memperdulikanmu, Mas? Sedangkan rasa perdulimu hanya kamu tujukan pada orang lain, sementara aku hanya kamu anggap seperti barang pajangan dirumah ini."
Setelah berkata demikian, ia memilih kembali masuk kekamar tamu. Sedangkan wajah Handrian sendiri, dibuat merah padam oleh perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya.
Hingga tiba-tiba saja Handrian pun langsung berjalan cepat untuk mengikuti Rosalina, yang kini melangkah masuk kedalam kamar, dan dengan gerakan cepat ia kembali mencengkeram pergelangan tangan wanita yang telah sah menjadi istrinya tersebut.
"Tunggu Lina! Aku tahu kamu berbicara seperti itu karena aku tidak pernah memberimu nafkah batin kan? Sehingga kamu memikirkan hal yang macam-macam terhadap suamimu ini. Kalau memang itu yang kamu mau, dan jika semua itu bisa membuatmu tidak mencurigaiku lagi, maka saat ini juga aku telah siap untuk melakukannya, Lina."
Bola mata Rosalina terbelalak dan hatinya terkejut bukan main mendengar perkataan lelaki yang saat itu berdiri dihadapannya. Namun belum sempat ia mengeluarkan sebuah perkataan, Handrian sudah lebih dulu menarik tangannya dan membawanya masuk kedalam kamar. Membuat Rosalina meronta untuk melepaskan diri.
"Mas, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila? Lepaskan aku, Mas! Lepaskan!!" Teriak Rosalina. Kini wanita itu sudah mulai menangis karena ketakutan pada suaminya sendiri.
Tapi Handrian sama sekali tidak perduli dengan jerit dan tangis wanita itu, ia tetap menarik tangan Rosalina meskipun wanita cantik itu berusaha mengeraskan badannya, agar tidak mudah untuk dibawa kekamar.
Malahan, karena Rosalina bersikeras untuk menolak, Handrian sampai menggendong istrinya itu, kemudian langsung menjatuhkan tubuh Rosalina diatas tempat tidur.
Rosalina memekik menahan tangis, dan ia berusaha mendorong dada Handrian, saat lelaki itu sudah naik keatas ranjang dan berusaha menindih tubuhnya.
"Mas, tolong lepaskan aku. Aku tidak mau kamu perlakukan seperti ini."
Namun perkataan Rosalina itu hanya disambut dengan senyum sinis oleh Handrian.
"Kenapa sekarang kamu malah menolakku, Rosalina? Bukankah selama ini kamu selalu mempermasalahkan tentang tanggung jawab yang tidak pernah aku berikan padamu. Sekarang aku ingin memberinya, tapi kenapa kamu malah tidak mau?" tanya Handrian dengan bola mata yang kian berkilat marah.
Rosalina hanya bisa menangis menanggapi perkataan lelaki yang kini dalam posisi menghimpit tubuhnya.
Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan saat itu selain menjerit keras, dan jeritannya itu pun menggema di dalam kamar, seolah dinding yang membatasi ruang itu turut bergetar bersama tangisannya.
Kedua tangannya terus berusaha mendorong dada Handrian yang kian menindih, namun tubuhnya terasa begitu kecil dibandingkan kekuatan sang suami.
Air matanya kini benar-benar mengalir deras dan menetes membasahi bantal, sementara hatinya terasa tercekik oleh rasa takut yang begitu dalam.
"Mas, berhenti! Aku benci ini! Aku benci diperlakukan seperti barang yang tidak punya hati, aku juga tidak mau menerima hak darimu jika dihatimu tidak pernah ada rasa cinta untukku!" ucap Rosalina, suaranya terdengar pecah seakan mengguncang ruangan.
Handrian yang awalnya dikuasai amarah dan dorongan emosinya, justru semakin mengeraskan rahang. Tatapannya liar dan penuh dengan kemarahan, seolah-olah ia ingin menyalurkan dendamnya pada sesuatu yang belum pernah ia inginkan.
Sehingga ia pun terus mendekatkan wajahnya pada wajah Rosalina, yang terus berusaha menggeleng dan juga menangis keras.
Namun, di tengah segala keterdesakan itu, Rosalina akhirnya menemukan sedikit celah untuk melawan. Dan dengan sisa tenaga yang terkumpul, ia pun mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu…
Plaaakk!
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Handrian, bahkan tamparan itu menimbulkan suara yang begitu lantang dan juga menusuk gendang telinga. Dan tamparan itu seakan-akan merupakan sebuah peringatan keras dari Rosalina, yang saat itu juga membuat hati Handrian menjadi bergetar.
Handrian terdiam dengan nafasnya terhenti sesaat, tubuhnya menegang kaku, dan wajahnya kini berbalik menatap istrinya dengan sorot mata yang tidak lagi sama seperti tadi.
Sementara itu, Rosalina dengan wajah yang basah dengan air mata pun, menatap suaminya dengan sorot mata ketakutan sekaligus luka yang terdalam.
"Kalau kamu masih menganggapku istrimu, seharusnya kamu melindungiku Mas… bukan memperlakukan aku seperti ini." suara Rosalina terdengar bergetar, namun ketegasannya menusuk, membuat udara didalam kamar itu terasa menyesakkan.
Handrian memundurkan tubuhnya dengan perlahan, sambil melepaskan himpitan tubuhnya dari tubuh Rosalina. Tangannya berusaha menyentuh pipinya yang memerah akibat tamparan istrinya barusan. Dadanya terlihat naik turun dengan cepat. Nafasnya terasa berat, tapi tapi kali ini bukan lagi karena amarah semata, melainkan karena rasa tersadar dengan apa yang barusan ia lakukan.
Rosalina segera bergeser seraya menyandarkan tubuhnya di ujung ranjang dan memeluk lututnya erat-erat. Tubuhnya bergetar, tangisannya pecah, dan jeritannya sudah tidak lagi keluar. Kini ia hanya bisa merunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Suasana kamar pun mendadak menjadi hening.
Handrian yang menundukkan kepalanya, tiba-tiba saja langsung terbayang-bayang dengan tangisan, dan sorot mata penuh luka dari istrinya. Dan tamparan yang diberikan oleh Rosalina tadi seakan bukan hanya mengenai pipinya, melainkan juga menyadarkannya akan batas yang hampir saja ia langgar.
"Lina…" suaranya lirih, dan terdengar seperti berbisik.
"Aku… aku…"
Namun Rosalina sama sekali tidak menjawab panggilan dari suaminya itu. saat ini ia hanya semakin mempererat pelukannya pada dirinya sendiri, seperti berusaha membentengi diri dari orang yang seharusnya paling bisa ia percayai.
Handrian menatap Rosalina sekali lagi, lalu menunduk semakin dalam. Ada perasaan bersalah yang menusuk, tapi juga rasa bingung yang mencekik perasaannya sendiri.
Hingga akhirnya, dengan perlahan ia bangkit berdiri, dan melangkah mundur untuk meninggalkan ranjang.
Langkahnya terasa begitu berat saat ia mulai berjalan kearah pintu kamar, seakan setiap pijakannya terasa seperti beban yang menambah rasa sesak didalam dadanya.
Dan pada saat ia membuka pintu, tangis Rosalina kembali terdengar di belakangnya.
Tangis itu begitu memilukan, membuat hatinya terasa hancur.
Tapi, suara tangis itu juga mengingatkannya pada kenyataan. Bahwa ia baru saja menjadi orang yang paling ditakuti oleh wanita yang seharusnya ia cintai.
Dan kini, Handrian melangkah gontai meninggalkan kamar tamu dengan pintu yang ditutup dengan perlahan, seolah takut jika pintu itu akan menambah luka pada Rosalina dengan bunyi kerasnya.
Nafasnya terasa semakin berat dan dadanya kian bergemuruh, namun langkahnya terus menuntunnya untuk keluar dari rumah, lalu ia berhenti di teras dengan suasana yang terlihat lenggang.
Udara malam terasa dingin dan menusuk, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dinginnya hati yang kini menghimpit batinnya.
Pria itu mendongak dan menatap kearah langit. Sebuah bulan sabit terlihat menggantung anggun di antara gelapnya awan. Cahayanya yang redup, seakan ikut menyaksikan kekeliruan besar yang baru saja ia lakukan pada wanita yang ia panggil istri.
Handrian menghela nafas panjang, dengan bola matanya yang kini terlihat menerawang.
"Apakah aku sudah menjadi monster baginya?" batinnya, dengan perasaan yang semakin tidak menentu.
Namun di tengah heningnya malam itu, ponsel di saku celananya tiba-tiba bergetar. Nada notifikasi WhatsApp berbunyi singkat dan memecah kesunyian.
Handrian tertegun sejenak, lalu dengan tangan bergetar ia pun merogoh ponselnya itu, dan mengeluarkannya dari dalam kantong celana.
Dan begitu ponsel itu menyala, maka layarnya pun segera menampilkan sebuah nama yang langsung membuat dadanya berdesir aneh.
Bersambung...