Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
“Tadi itu … hampir aja ketahuan. Untung aja miss Bonita percaya kalau aku lagi masuk angin … kalau misalnya nggak … aku udah nggak tahu lagi mau berbuat apa, karena pasti bakalan bikin bingung sama pusing banget ….”
Aira menghela napas panjang beberapa kali saat mengingat kembali kejadian waktu dirinya sedang berada di dalam salah satu toilet gedung universitas. Ia menundukkan kepala, memberikan elusan lembut pada perut rampingnya—seolah sedang mencoba untuk berinteraksi dengan kehidupan baru yang sedang berkembang di dalam sana—selagi menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Detik demi detik berlalu, tatapan Aira tanpa sadar mulai berubah menjadi sangat sayu serta sendu, kala berbagai macam delusi negatif tentang masa depan dirinya bersama sang calon buah hati mulai masuk dan berputar-putar di dalam benaknya. Bahkan, hingga membuat dirinya menggigit bibir bawah cukup kencang—membiarkan darah segar mulai keluar dan menyebar ke dalam mulutnya.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena Aira spontan tersadar kembali ke dunia nyata saat tiba-tiba saja mendengar suara klakson sangat kencang dari arah belakang.
Aira segera mengalihkan pandangan ke arah depan, lalu bergegas menjalankan kendaraan roda empat miliknya itu saat menyadari bahwa lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau pada saat ini. Ia menggeleng-gelengkan kepala pelan, berusaha menghilangkan semua delusi negatif yang masihlah terus berputar-putar di dalam benaknya, sembari mengeratkan genggaman pada setir mobil.
“Stop … jangan mikirin hal itu lagi. Ingat kata dokter, ingat … aku boleh stres dan mikirin hal yang nggak-nggak … karena itu bisa ngebuat calon anakku jadi drop. Jadi, please … stop … mikirin hal-hal yang nggak penting … Aku bisa berdiri sendiri. Aku bisa besarin anak ini tanpa sosok suami. Aku bisa … aku pasti bisa,” gumam Aira, berusaha memberikan afirmasi positif kepada dirinya sendiri sambil menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa.
Saat sedang sibuk memberikan afirmasi, Aira refleks mengalihkan pandangan ke arah kiri kala tiba-tiba saja mendengar suara dering dari handphone miliknya berbunyi. Ia segera mengambil benda pipih itu dari belakang persneling, menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan ke belakang telinga, sebelum membuka layar untuk melihat sosok seseorang yang telah berusaha untuk menghubunginya.
Di dalam layar handphone, Aira dapat melihat nama ‘Madam Cassandra', membuatnya sedikit mengerutkan kening, sebelum pada akhirnya mengangkat panggilan telepon itu dan segera menempelkan handphone ke telinga kanan—agar dapat mendengar suara sang mantan atasan dari dalam sana.
“Halo, ada apa, Mi?” sapa dan tanya Aira saat panggilan telepon baru saja terhubung, dengan suara begitu sangat pelan dan terdengar cukup lemas.
“Halo juga, Sayangnya Mami,” sapa balik Cassandra dari seberang telepon sana dengan suara terdengar begitu sangat lembut dan penuh kebahagiaan, “Kamu sekarang lagi ada di mana dan lagi ngapain?”
Aira tidak langsung menjawab, justru memilih menurunkan kecepatan mobil dan membelokkan kendaraan roda empat miliknya itu ke arah kanan. “Aku lagi ada di jalan, Mi. Baru aja selesai ngajar … ada apa, ya? Tumben banget Mami nelepon jam segini.”
Cassandra terkekeh pelan saat mendengar pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Aira, sebelum kembali membuka suara untuk memberikan jawaban. “Mami kangen banget sama kamu, Sayang … hampir setengah bulan nggak lihat kamu … rasanya ada yang kurang. Oh, iya, ketemuan sekarang, yuk? Mumpung Mami sekarang ada di cafe jalak ke arah apartemen kamu, nih.”
Aira menggigit bibir bawahnya pelan saat mendengar hal itu, berusaha menahan campuran rasa lega dan gugup yang secara tiba-tiba saja menyelinap masuk begitu Cassandra mengajak dirinya untuk bertemu. “Sekarang, Mi?”
“Iya, Sayang … sekarang. Mami tunggu di tempat biasa, ya?” balas Cassandra, terdengar manja, tetapi tetap penuh wibawa seperti biasanya.
Aira mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa mulai berdetak lebih cepat daripada biasanya. “Oke, Mi … aku belok arah dulu, ya. Sepuluh menit lagi sampai.”
“Good girl,” bisik Cassandra lembut, membuat ujung jari Aira refleks menegang di atas setir, “Mami siapin minuman favorit kamu. Hati-hati di jalan, Sayangnya Mami … jangan ngebut.”
“Siap, Mi,” balas Aira dengan begitu sangat pelan, kemudian menurunkan handphone dari telinganya begitu panggilan telepon pada akhirnya terputus.
Setelah panggilan itu selesai, rasa sunyi kembali mengisi bagian dalam mobil, membuat Aira spontan mengusap pelan wajah cantiknya yang terlihat sedikit pucat di pantulan kaca spion tengah.
Aira menoleh ke arah perutnya yang masih terasa sedikit aneh sejak pagi—rasa mual itu datang dan pergi sesuka hati. Ia mengelusnya pelan dengan tatapan sendu.
“Anak mama … tolong kuat sebentar, ya. Kita ketemu Mami Cassandra dulu … setelah itu mama janji kita pulang dan istirahat.
Perempuan berparas cantik itu kemudian membelokkan mobil dan mulai melajukan kendaraannya ke arah tempat cafe yang menyimpan terlalu banyak kenangan—dan mungkin, terlalu banyak rahasia hingga bisa membuatnya terjun ke dunia malam sebelumnya.
•••
Pintu utama sebuah ruangan apartemen mewah nan megah secara perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan sosok Azka sedang melangkahkan kaki masuk ke dalam dengan memasang ekspresi sangat sulit untuk diartikan.
Azka berjalan menuju ruangan tengah, sembari terus-menerus memikirkan tentang keanehan yang telah ditunjukkan oleh Aira pada hari ini. Ia refleks menggigit bibir bawahnya sangat kencang, kala berbagai macam pikiran random tentang sang dosen serta mimpi yang tadi pagi telah dirinya alami mulai masuk dan berputar-putar di dalam benaknya.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena Azka sesegera mungkin tersadar kembali ke dunia nyata saat tiba-tiba saja mendengar suara Pixel sedang mengeong sangat kencang.
Azka spontan mengalikan pandangan ke arah tempat rumah Pixel berada setelah tiba di ruangan tengah, lantas sedikit mengukir senyuman samar ketika melihat kucing peliharaannya itu sedang berlari sekuat tenaga mendekati tempat dirinya berada.
Pixel melompat ringan ke kaki Azka, mengeong berkali-kali sama mengusap-usap kepala mungilnya ke tulang kering sang majikan—seolah sedang menyadarkan bahwa dunia nyata masihlah ada, dan Azka tidak perlu terus tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Hai … sini, come here,” gumam Azka, segera berjongkok dan mengangkat Pixel ke dalam gendongannya, lalu memberikan usapan pelan di punggung lembut kucing itu, “Lu juga ngerasa, ya? Hari ini aneh banget … Ibu Aira kenapa, sih? Kok, gue jadi kepikiran segini parahnya.
Pixel mengeong sekali lagi—pendek, seperti sebuah jawaban.
Azka tersenyum tipis saat melihat hal itu, tetapi sesegera mungkin menghilangkannya saat pikirannya mendapatkan sesuatu atas semua hal yang telah dirintis alami hari ini—pada Aira, pada anak kecil yang memanggilnya papa, pada tatapan sang dosen saat menahan sesuatu di dalam kelas, dan pada cara perempuan berparas cantik itu secara tergesa-gesa pergi seolah sedang menyembunyikan dunia lain di balik punggung rampingnya.
“Kenapa semuanya terasa kayak … nyambung?” bisik Azka, jantungnya tanpa aba-aba berdegup lebih kencang daripada biasanya, “Besok … Besok gue harus cari tahu … semuanya … Gue yakin ini bukan kebetulan semata.”
Sore itu, untuk pertama kalinya, Azka merasakan sebuah firasat yang begitu sangat kuat—bahwa hidupnya tidak akan sama lagi setelah semua ini terbuka.