Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Malam Penyambutan: Perang Dengan Sentuhan Rasa Manis
Ucapan sederhana itu membuat pipi Shuelan kembali memerah, dan Wu Ruoxi segera mencubit lengan anaknya pelan.
“Jangan genit di depan calon istrimu,” gumamnya, disambut tawa ringan dari Wu Guan.
Shuelan tersipu, lalu berdehem kecil seolah ingin memulai pembicaraan yang lebih serius. “Sebenarnya, kami datang untuk membicarakan urusan yang belum selesai sebelumnya, Paman. Soal Rumput Api.”
Wu Guan langsung mengangguk, nada suaranya berubah tenang dan profesional. “Aku mengerti. Bagaimana keputusan Patriak kalian?”
Shuelan menunduk sedikit, lalu memberi isyarat ke sisi keretanya. Seorang pria dengan pakaian kultivator berwarna abu-abu elegan melangkah maju.
Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan setiap langkahnya terukur—tenang namun penuh tekanan. Rambut hitamnya diikat ke belakang, dan di pinggangnya tergantung lencana perak berbentuk mawar putih dengan pola ukiran awan yang melambangkan otoritas dalam diplomasi.
“Dia adalah Jing Hun,” kata Shuelan. "Dia ada disini sebagai pengawal sekaligus yang akan membantuku mengurus negosiasi kali ini. Patriak kami ingin memastikan semuanya berjalan seadil mungkin.”
Jing Hun menatap Wu Guan dengan penghormatan singkat, lalu menoleh kearah Wu Shen yang lebih pendek darinya.
Tatapannya menusuk, seperti hendak menembus lapisan luar dari pria muda di depannya.
“Aku mendengar banyak tentangmu, Wu Shen,” katanya datar. “Kau seniman bela diri yang menarik… dan tampaknya, cukup berbakat.”
Wu Shen mengangguk sopan. “Terima kasih. Anda terlalu memuji.”
Jing Hun mengulurkan tangannya, masih dengan ekspresi kaku. “Kuharap kita bisa berkerja sama dengan baik.”
Wu Shen menerima uluran tangan itu. Tapi seketika ia merasa sesuatu yang aneh: tekanan pada telapak tangannya makin kuat… terlalu kuat untuk sekadar jabat tangan biasa.
Dia menoleh, menatap Jing Hun dengan tenang. Pria itu masih tersenyum tipis, seolah menantang.
'Ingin mengujiku?'
Alih-alih melepaskan, Wu Shen justru mengeratkan genggamannya. Urat-urat halus di lengannya muncul, dan suara samar retakan kecil terdengar dari tangan Jing Hun.
Wajah pria itu sedikit berubah, meski ia berusaha menyembunyikannya sebaik mungkin.
"Seperti katamu... semoga kita bisa bekerjasama dengan baik, Tuan Jing," komentar Wu Shen tanpa emosi, nadanya datar namun jelas.
Jing Hun menarik tangannya perlahan, menyembunyikan ketegangan yang mulai muncul di pelipis dan tangannya yang memerah.
Namun, ketenangan belum sirna dari wajahnya. "Ya, aku yakin kita bisa cepat akrab."
Wu Ruoxi yang memperhatikan dari belakang hanya menyipitkan mata. Sementara itu, Wu Guan menepuk tangan dengan lembut, memecah ketegangan kecil itu.
“Baiklah! Kurasa tamu kita lelah karena perjalanan jauh, ada baiknya kalian beristirahat terlebih dahulu di tempat yang sudah kami persiapkan sebelum rapat dengan para petinggi sekte,” ucapnya dengan nada bersahabat.
Lin Shuelan akhirnya berpamitan pada keluarga Wu Shen dengan penuh kehangatan. Ia membungkuk sopan, lalu memberi senyum tipis pada Wu Ruoxi dan Wu Guan.
“Terima kasih atas sambutannya. Kami akan beristirahat sebentar sebelum pertemuan resmi dimulai.”
Wu Shen hanya membalas dengan anggukan, matanya mengikuti langkah Shuelan dan Jing Hun hingga mereka menghilang di balik lorong penginapan yang mengarah ke paviliun tamu.
Dalam keheningan yang tersisa, Wu Shen berdiri diam, pikirannya berkelana jauh.
'Kenapa orang itu menantangku?' pikirnya. 'Apakah dia salah paham soal hubungan antara aku dan Shuelan? Atau... apakah dia menyukai Shuelan diam-diam?'
Namun, pemikiran itu hanya sebentar, sebelum kembali beralih ke sesuatu yang lebih penting—negosiasi.
'Bisakah Shuelan benar-benar memenangkan negosiasi ini? Patriak Sekte terlalu keras kepala... bahkan ibuku saja sering berselisih dengannya.'
...
Malam harinya.
Aula utama Sekte Phoenix bermandikan cahaya lentera. Warna oranye keemasan menari-nari di atas ukiran kayu megah, sementara aroma dupa lembut bercampur dengan wangi hidangan daging panggang, rempah-rempah, dan minuman hangat khas timur.
Lantunan alat musik petik dan seruling memenuhi udara, menciptakan suasana elegan nan meriah. Para murid elit duduk bersila di sekeliling meja pendek berlapis kain sutra merah, masing-masing mengenakan pakaian upacara terbaik mereka.
Cangkir demi cangkir arak bunga persik mengalir, dan gelak tawa sesekali pecah ketika para tetua berbincang santai.
Beberapa murid menampilkan bakat seni beladiri dan pertunjukan pedang dalam irama yang indah dan harmonis, seolah malam ini bukan untuk perang atau perundingan, tapi untuk perayaan.
Di meja tamu, Lin Shuelan duduk anggun, mengenakan jubah biru langit yang dilapisi bordiran burung camar terbang. Matanya menyapu aula, memperhatikan para tamu dan penghuni sekte yang larut dalam pesta.
Tapi dalam hatinya, ada rasa bingung yang tak bisa ditepis.
'Suasana ini terlalu meriah… bahkan terlalu mewah… hanya untuk menyambut kami yang jelas-jelas dibenci oleh Patriak Phoenix.'
Ia menoleh ke kiri, melihat tiga pengawalnya yang duduk tegang, masih waspada. Bahkan salah satu dari mereka secara halus menyingkirkan cangkir araknya, khawatir akan racun.
Kemudian ia menoleh ke kanan, memandang Jing Hun yang masih duduk tegak dengan mata tajam menyapu ruangan.
Sebelum Shuelan sempat bertanya, pria itu bicara pelan tanpa menoleh. “Jangan terlalu nyaman. Ada maksud lain di balik ini semua.”
“Apa maksudmu?”
Jing Hun mengangkat cangkirnya dan memutarnya perlahan, sebelum berkata, “Jika kau tahu seseorang membencimu, tapi dia menyambutmu dengan pesta seperti ini… berarti kau sedang diukur. Diuji. Entah untuk kelemahan... atau untuk niat sesungguhnya.”
Ia menoleh perlahan dan menatap mata Shuelan. “Sebagai negosiator, ini bukan perjamuan... ini adalah medan perang yang manis.”
Shuelan mencengkram tepi jubahnya pelan. Ia mengerti maksudnya. Dan itu membuat malam ini terasa semakin dingin.
Tak lama kemudian, seorang pria yang berdiri di samping pintu utama, menyuarakan dengan suara lantang namun hormat, “Keluarga Patriak telah tiba!”
Semua suara perlahan meredup. Musik berhenti. Lentera bergoyang pelan dalam angin yang entah darimana datangnya.
Wu Shen melangkah masuk bersama Wu Ruoxi dan Wu Guan, berjalan dalam formasi tenang namun mencolok. Pakaian mereka tidak semewah para tamu lain, tapi aura yang terpancar jelas membuat semua orang terdiam.
Bahkan para murid yang sebelumnya bercanda langsung menegakkan duduk mereka. Bisik-bisik mulai terdengar, ada yang mengejek Wu Guan, ada pula yang mengolok-olok Wu Shen. Namun, tak bisa dipungkiri jika banyak juga yang mengagumi Wu Ruoxi atas prestasi yang sebelumnya dia bangun.
Mereka duduk bersebrangan langsung dengan Lin Shuelan dan Jing Hun. Tatapan Shuelan sempat berubah lembut sejenak saat melihat Wu Shen. Senyuman samar nyaris menghiasi bibirnya, meski ia buru-buru menyembunyikannya di balik gelas arak.
Wu Shen, tanpa basa-basi, menyapu seluruh aula dengan tatapan tajamnya, seolah menandai satu per satu wajah yang hadir malam ini.
Tak ada senyum. Tak ada basa-basi.
Dan saat tatapannya bertemu dengan beberapa wajah yang familiar, waktu seakan berhenti.
Mu Xie.