Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Pemancing Ulung
Hari sudah gelap ketika Dion dan Wina tiba di rumah Oppung. Lalu lintas yang padat dari arah Medan membuat perjalanan mereka lebih lambat dari perkiraan semula. Maklum hari itu adalah Sabtu, banyak warga Medan yang menghabiskan akhir pekannya di Berastagi.
Setibanya di Medan, Dion dan Wina memisahkan diri dari dua pasang sahabatnya yang berencana menikmati malam minggu di rumah Atik.
“Nanti Oppung khawatir,” kata Dion pada Wina yang sempat protes.
Oppung langsung saja menyuruh mereka makan mengingat waktu sudah melewati jam makan malam ketika keduanya tiba.
Setelah menyiapkan meja makan, Mbak Sari dan Mbak Ria yang berada di dapur kemudian memilih untuk duduk di teras belakang. Mereka tak mau mengganggu pasangan itu, apalagi ketika keduanya memilih duduk berdampingan bukan berhadapan.
“Akan ada adegan mesra, kita menyingkir saja,” bisik Mbak Sari pada Mbak Ria yang sebenarnya ingin mengobrol dengan Dion.
Tebakan Mbak Sari tidak meleset. Dion yang baru menghabiskan setengah makanan di piringnya memutuskan makan dari piring Wina membuat keduanya duduk sangat berdekatan.
"Apa sih, Dion? Makananmu masih ada, tinggal ambil kalau kurang. Mau Wina ambilkan?" protes Wina setengah kesal, meskipun nadanya lebih terdengar manja.
Dion mengerutkan alis dan menatap sendu pada Wina sambil mengunyah makanan yang baru ia ambil dari piring di hadapan gadisnya.
Ditatap seperti itu, Wina akhirnya mengalah. Ia membiarkan saja pemuda itu makan dari piringnya. Ia kini malah memisahkan daging dari tulang ikan mempermudah Dion mengambilnya.
“Sepertinya usahamu mendekatkan Andi dengan Nita berhasil.” ujar Wina setelah beberapa saat.
“Mudah-mudahan, noh,” tukas Dion yang masih tetap mengambil makanan dari piring Wina.
“Dion berbakat jadi Mak Comblang,” puji Wina.
“Mungkin aku akan mempertimbangkan untuk ganti profesi,” kata Dion berbangga hati.
“Rupa betul-betul jo!” sindir Wina menggunakan dialek Manado.
“Iyo noh! Buktinya, Dion berhasil dapat maitua tercantik se-Kota Medan,” gombal Dion.
“Jangan-jangan, Dion tadi yang menyampaikan kata-kata cinta mewakili Andi,” sindir Wina curiga.
“Huss! Nggak mungkin lah. Tapi sebagai sesama pria aku bersimpati padanya. Aku tahu menyampaikan perasaan itu hal yang sangat berat bagi kaumku. Setidaknya menurut pengalamanku. Menyimpan perasaan selama dua bulan saja rasanya seperti mau meledak, bagaimana Andi bisa menyimpannya selama lima tahun yah?” kata Dion menaik-naikkan alisnya nakal pada Wina.
Wina tertawa mendengar kata-kata Dion lalu menangkap tangan Dion yang baru menyendoki makanan dari piring. Wina mengarahkan sendok itu pada mulutnya sendiri dan memakannya sambil bertatapan dan saling senyum.
Keduanya senang karena menemukan kemesraan baru; makan sepiring berdua.
Oppung yang tiba-tiba melewati meja makan tampak kesal mendapati tingkah keduanya. Bagaimana tidak, keduanya saat itu saling menyuapi. Oppung hanya bisa geleng-geleng kepala dan menghembuskan napas panjang lalu membalikkan badan memeriksa sesuatu di atas lemari pendingin.
Wina yang menyadari kehadiran Oppung tak kehilangan akal.
“Lihat Oppung, si Dion lagi coba makan pedas. Sok berani dia,” ujar Wina mencoba logat Medan sementara Dion pura-pura sedang menahan rasa pedas sambil minum air. Di rumah itu, Wina memang satu-satunya yang paling tahan dengan rasa pedas.
Oppung membalik badan dan menatap keduanya sekilas tapi kemudian berlalu.
Dion dan Wina masih duduk di meja makan ketika akhirnya menghabiskan piring kedua, piring Dion tentunya.
“Win, seharian bersamamu tapi kok masih rindu?” bisik Dion memulai kata-kata romantis.
“Dion mau apa? Langsung katakan saja,” sahut Wina dengan nada rendah sambil memberesi piring-piring kotor di hadapan mereka.
“Mau cium sebelum pulang,” bisik Dion lagi.
“Dion pulangnya setelah Wina mandi yah. Kalau kamu bersikap seperti anak baik, mungkin kamu akan mendapatkannya. Mungkin lho,” cetus Wina masih berberes.
“Selalu ada hari di mana pemancing ulung pun harus pulang dengan tangan hampa. Iya kan Oppung?” kata Wina membelokkan kalimatnya ketika menyadari Oppung sudah kembali berada di ruangan itu.
“Itu namanya hari kurang beruntung,” sahut Oppung meletakkan nampan di meja makan. Ia akan memakan obatnya sebelum tidur.
Wina memohon diri untuk mandi, Dion pun menemani oppung ngobrol di meja makan.
“Oppung rutin minum madu hutan?” tanya Dion melihat sebuah botol madu yang tampak familiar baginya.
“Iya. Ini bagus untuk menambah tenaga orang-orang tua seperti aku ini. Tapi sudah mau habis, agak susah cari madu asli seperti ini. Dion minum madu juga?”
“Tidak oppung. Tapi kawan-kawan berumur di kantor. Adik yang memproduksi madu ini teman sekantorku, jadi dia selalu bawakan ke kantor. Nanti kuminta dari dia kalau Oppung mau.”
“Minta lah Amang! Susah cari madu ini selalu kehabisan.”
“Iya memang agak susah karena mereka juga kirim ke luar pulau walaupun produksinya terbatas. Katanya tak mau mengecewakan pelanggan lama di luar kota,” ujar Dion.
“Pantas lah. Kau bawakan untuk oppung yah. Beberapa hari lagi sudah habis ini,” pinta Oppung mengulangi.
“Iya Oppung nanti Dion bawakan,” sahut Dion.
Oppung dan Dion masih asyik ngobrol ketika Wina turun dari kamarnya. Wina sudah mengenakan set piyama polos cokelat muda berbahan katun. Rambutnya diikat ke atas memberi kesan santai. Seperti biasa kecantikan gadis itu tak pernah berhenti membuat Dion kagum, sesaat ia melirik ke gadisnya itu.
Bahkan ketika Wina akhirnya nimbrung dalam obrolan, Dion masih saja curi-curi pandang. Sikap Dion itu pun mendapat perhatian dari Oppung.
“Oppung tidur lah dulu yah, sudah ngantuk aku,” pungkas Oppung lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju kamarnya.
Selain sudah mengantuk, Oppung sebenarnya juga ingin memberi waktu bagi Wina dan Dion menghabiskan sedikit sisa malam itu. Ia tentu lebih menyukai cucunya berada di rumah daripada keluyuran di malam hari meskipun ditemani Dion.
“Kita duduk di teras, yuk!” ajak Dion yang dibalas oleh anggukan Wina.
“Tapi Adik bikinin Abang kopi dong,” pinta Dion yang dibalas oleh senyuman penuh arti oleh Wina.
Mbak Sari dan Mbak Ria yang sedang asyik menonton televisi tersenyum-senyum geli mendengar kalimat itu. Sadar kalimatnya di dengar oleh kedua mbak, Dion jadi malu sendiri melanjutkan langkahnya ke teras rumah.
...***...
Setelah beberapa saat duduk sendirian di teras, Dion kaget ketika lampu di atasnya padam hingga keadaan itu jadi temaram karena hanya mendapat cahaya dari lampu taman di depannya.
Tak lama kemudian Wina datang membawa kopi dan meletakkannya di meja teras.
“Kok, lampunya padam?” tanya Dion.
“Kok, masih tetap terang, ya?” keluh Wina malah mengabaikan pertanyaan membuat Dion bingung.
“Lampunya sengaja aku matiin biar gelap,” aku Wina menggeser kursi merapat ke Dion. Dia duduk dan menyandarkan kepalanya pada Dion.
“Oh, disengaja, toh?” ledek Dion tapi Wina hanya tertawa.
Obrolan mereka berlanjut sampai cangkir kopi kosong. Dion menghentikan kalimatnya ketika ia merasakan kecupan di pipi. Ia lalu memandangi wajah kekasihnya yang begitu cantik disinari cahaya temaram lampu taman.
“Kamu sudah jadi anak baik jadi dapat satu kecupan,” ujar Wina. Dion yang kasmaran ditambah wajah Wina di depan hidungnya membuat ia tak bisa menahan diri. Dion mengecup lembut bibir kekasihnya itu.
Dion sedang mengatur napasnya ketika ciuman itu berakhir. Masih dengan bergenggaman tangan, Wina menyandarkan kepalanya di bahu Dion. Tapi itu hanya sesaat, Wina kembali menyerang Dion dengan menciumi leher pemuda itu.
“Wina, nanti ada yang lihat dari depan jalan!” protes Dion yang ingat sesekali petugas keamanan memang berpatroli dengan berjalan kaki.
Wina pun menghentikan serangannya. “Aku suka baumu,” ujar Wina membuat Dion heran.
“Ih. Aku belum mandi lho. Nih, bau keringat,” sanggah Dion membaui bajunya sendiri.
Tiba-tiba Wina menarik tangan Dion dan mengajaknya ke samping kiri rumah. Dion yang tak pernah berada di sisi pekarangan itu sedikit kaget. Ternyata halaman samping sangat luas. Terdapat carport besar, dan taman bunga yang terawat apik.
Wina mengajaknya duduk di salah satu bangku panjang yang rapat ke dinding rumah menghadap carport.
“Walau terang, tapi gak ada yang lihat, toh?” Wina tersenyum nakal.
“Kalau Oppung tiba-tiba keluar bagaimana? Pasti Oppung jadi curiga.” Dion khawatir karena tahu maksud kekasihnya mengajak ia ke tempat itu.
Wina tak menghiraukan kekhawatiran Dion. Ia kembali menyerang dengan menciumi leher pemuda itu. Dion mencoba menguasai dirinya dengan memejamkan mata tapi justru hanyut dalam kemesraan yang diberikan Wina.
Dion lalu mulai mengambil inisiatif. Ia menggunakan kedua tangannya memegangi kepala Wina agar menghentikan ciuman di leher. Ketika ia berhasil membawa wajah Wina ke depannya, ia kembali menciumi bibir kekasihnya itu dengan sangat bernafsu.
Dion kembali memejamkan mata, ingin mereguk semua cinta dan membawa Wina merasuki dirinya. Dion yang mabuk oleh cinta tak sadar kalau Wina sudah membuka kancing kemejanya. Bahkan dengan sedikit paksa hingga kedua kancing teratas baju Dion copot.
Ketika melepas ciuman panjang dan membuka mata, Dion melihat tatapan Wina yang sendu dan senyum tipis seakan meminta sesuatu.
Dion luruh pada permintaan itu dan membiarkan saja ketika sang gadis kembali menciumi leher dan dadanya. Tangan Wina bahkan sudah menyusup ke balik kemeja dan mengusap kulit punggung Dion.
Sesekali ia merasa Wina menghirup napas di dadanya. Gadis itu sepertinya ingin meraup semua aroma tubuh Dion yang berbau keringat bercampur aroma deodoran.
Dion tak bisa menahan rasa gelinya ketika Wina berusaha menciumi bagian bawah ketiaknya.
“Sudah, Win! Geli, aku tak kuat!” keluh Dion setengah memohon.
Wina pun menghentikan ciumannya tapi kembali memberi Dion tatapan seperti semula. Sendu dan mengharapkan sesuatu. Dion membalas tatapan itu seolah-olah ingin mencari tahu apa yang bisa ia berikan pada Wina.
Pemuda itu kembali kaget ketika tiba-tiba Wina menaiki dirinya dan duduk di pangkuan dengan tangan merangkul lehernya. Keduanya saling bertatapan pada waktu yang cukup lama. Seolah saling mengucapkan kata-kata cinta tanpa suara.
Dion yang memeluk pinggang Wina hanya diam saja ketika Wina mulai mencium bibirnya dengan lembut. Dion menutup matanya karena kembali menginginkan sensasi cinta yang tadi ia rasakan.
Tapi Dion tersentak ketika Wina menghentikan ciuman. Ia melihat gadis itu sudah melepas kancing-kancing atas piyama hingga buah dada indah terbungkus bra hitam berkerawang terpampang di hadapannya. Sepertinya Wina melepas kancing piyamanya ketika Dion memejamkan mata sambil berciuman tadi.
Gemetar dan takut. Seumur-umur Dion belum pernah mendapat perlakuan seperti itu. Ia ingin menutup kembali piyama Wina tapi lagi-lagi tak kuasa melawan tatapan yang sangat memohon padanya.
Dion yang masih memikirkan cara untuk menghentikan ‘kegilaan cinta’ itu kembali terkesiap ketika Wina menarik wajahnya ke dada gadis itu.
Ia tak tahu berapa lama ia mencumbui payudara Wina. Ia juga tak tahu kapan dan siapa yang menurunkan bra hitam itu. Dion benar-benar sudah mabuk!
Pemuda itu baru tersadar ketika tubuh Wina tiba-tiba menggelinjang kaku di pangkuannya disertai lenguhan panjang dan cakaran yang melukai punggung dan diakhiri dengan gigitan di leher Dion.
Dion tak menghiraukan rasa sakit di punggung dan lehernya. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan kekasihnya. “Wina tidak apa-apa?” tanyanya.
Wina yang masih duduk di pangkuannya memandangi Dion dan menggelengkan kepala. “Aku milikmu. Lakukanlah!” ucap Wina lirih.
Sejenak Dion harus bertempur melawan gejolak nafsunya. Ia ingin memasuki tubuh kekasih yang sangat ia cintai itu. Tapi cinta jugalah yang membuatnya tersadar.
“Kita telah berdosa Win. Kita tak boleh terseret lebih jauh,” bisik Dion sambil berusaha memperbaiki posisi bra Wina. Dia menutup kancing-kancing piyama gadis itu kemudian memegangi kedua pipi Wina.
“Suatu saat aku akan menikahimu dan memiliki banyak anak darimu. Kita harus bersabar,” kata Dion sambil menatap gadisnya dalam-dalam meminta pengertian.
Wina memeluk Dion dan membenamkan wajahnya di dada pemuda itu. Dion yang masih bertelanjang dada bisa merasakan air mata Wina menetes menyentuh kulitnya.
“Jangan menangis Wina. Kita belum terlalu jauh bukan?” hibur Dion.
“Bukan itu. Aku bahagia karena Dion sangat mencintaiku,” ujar Wina lirih. Mereka masih berpelukan pada posisi itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Wina turun dan mengajak Dion kembali ke teras depan rumah.
“Aku jadi anak baik untuk mendapat imbalan satu ciuman di pipi. Tapi yang kudapatkan?” ledek Dion menggoda Wina ketika sudah kembali duduk di teras rumah.
“Tapi apa?” tukas Wina yang masih merasa malu. Wina berpikir kalau Dion akan menggodanya dengan kejadian di mana ia menyodorkan dada pada kekasihnya itu.
“Kudapatkan banyak ciuman, cakaran di punggung dan satu gigitan di leher,” jelas Dion tertawa membuat Wina tersipu.
“Belum lagi aku harus mengorbankan dua kancing bajuku, padahal masih baru,” sambungnya. Justru kini Wina yang tertawa.
“Maaf, aku tadi konyol sekali,” Wina merasa bersalah.
“Kita berdua sama konyolnya,” timpal Dion yang tak ingin membuat Wina merasa bersalah sendiri.
“Dion punya sewing kit di rumah?”
“Nggak. Nanti aku beli, nggak apa-apa, kok.”
“Aku ambil baju ganti yah. Yuk!” ajak Wina.
“Gak mau! Tak mungkin aku bisa menahan diri untuk kedua kalinya malam ini,” sanggah Dion membuat Wina kembali tertawa.
Akhirnya Wina pergi sendirian ke kamar dan mengambil salah satu t-shirt longgarnya. “Kamu pakai ini saja,” Wina menyodorkan t-shirt pink kepada Dion.
“Ah, lagi-lagi Wina kasih pink t-shirt,” protes Dion.
“Itu kaus favoritku lho. Aku sering pakai. Lagipula kan nanti Dion pakai sweater. Dingin toh?” bujuk Wina.
“Oh! Kalau begitu aku suka juga,” ujar Dion lalu membuka kancing baju yang masih tersisa.
“Dion ganti bajunya di kamar mandi dekat dapur saja,” usul Wina yang disetujui oleh Dion.
Dion pun berjalan membawa t-shirt itu sementara Wina mengikutinya dari belakang sambil membawa cangkir kopi yang sudah kosong.
Mbak Sari dan Mbak Ria yang tengah asyik menonton televisi, memandangi Dion dengan heran.
“Kancing bajunya copot jadi mau pinjem t-shirt Wina,” jelas Wina yang tak ingin kedua pekerjanya keheranan. Tapi tanpa sadar justru membuat kedua Mbak itu curiga. Apalagi mereka melihat tanda kemerahan di leher sebelah kanan Dion.
Wina sempat melihat kedua pekerjanya bisik-bisik. Ia segera menghabiskan air minum di gelas dan mengisinya kembali untuk dibawa ke teras.
Ketika Dion membuka pintu kamar mandi dengan mengenakan t-shirt pengganti, Wina sempat tertawa. Bukan karena warna t-shirt itu tapi tanda merah yang sangat jelas di leher Dion.
Dion dan Wina yang malu-malu akhirnya berjalan melewati Mbak Sari dan Mbak Ria menuju teras.
“Wah, Mbak Wina ganas banget!” bisik Mbak Sari pada Mbak Ria lalu keduanya tertawa cekikikan.
“Berikan kemejanya, nanti Wina perbaiki!” seru Wina pada Dion yang akan memasukkan kemejanya ke tas sandangnya.
Dion ragu sejenak tapi Wina sudah merebut kemeja biru gelap itu dari tangannya. Wina lalu meletakkan kemeja Dion di pangkuannya dan menyodorkan air minum pada Dion.
Mereka saling diam untuk sejenak. Mungkin masih merasa malu atas kejadian beberapa saat lalu. Wina meraih tangan Dion dan kembali menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda itu.
“Aku mencintaimu!” Wina memecah keheningan.
“Aku juga mencintaimu!” balas Dion lalu mencium kening gadis itu.
“Wina tadi kenapa? Aku jadi takut,” tanya Dion berbisik membuat Wina merasa malu.
“Dion sungguh-sungguh tidak tahu?” Wina balik bertanya.
“Aku punya dugaan tapi masih tak mengerti,” kata Dion membuat Wina mengangkat kepala dan menoleh ke arah Dion.
“Orgasme,” jelas Wina pendek dan malu lalu kembali meletakkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Oh!” gumam Dion. “Aku baru tahu kalau itu bisa tanpa…”
Kalimat Dion terputus karena bingung memilih kata yang tepat.
“Bisa noh. Kalau stimulasinya cukup,” tukas Wina.
“Apa itu tadi bisa dikatakan hubungan badan?”
“Aku nggak yakin. Tapi kupikir tidak.”
“Tapi badan kita terhubung, toh?” Dion berargumen membuat Wina tak bisa menahan tawanya.
“Iah, tapi kan tidak menggunakan alat reproduksi,” kilah Wina.
“Aku takut,” kata Dion singkat setelah beberapa saat.
“Takut apa, Dion? Takut aku hamil?” goda Wina yang geli merasa Dion sama sekali tak memahami sistem reproduksi.
“Takut akan Tuhan! Aku takut Ia akan berpaling kalau kita berbuat dosa,” kata Dion serius membuat Wina terdiam sesaat.
“Maafkan aku tidak bisa menahan diri,” ucap Wina lirih merasa bersalah.
“Kita! Bukan cuma Wina. Dion juga. Kita berdua,” hibur Dion sambil mengusap lengan Wina.
“Aku ingin selamanya bersamamu, dan hanya Tuhan yang bisa membantu kita mewujudkannya,” ujar Dion lagi membuat Wina terharu.
Ia tahu, Dion adalah orang yang dekat dengan Tuhan atau setidaknya selalu mendekatkan diri denganNya.
“Kita akan selalu bersama.”
Wina lalu mencium dan membawa tangan Dion ke pipinya.