Bagi orang lain, aku adalah Prayasti Mandagiri Bhirawa.
Tapi bagimu, aku tetaplah Karmala Bening Kalbu.
Aku akan selalu menjadi karma dari perbuatanmu di masa lalu.
Darah yang mengalir di nadi ini, tidak akan mencemari bening kalbuku untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Kesalahan tetaplah kesalahan ... bagaimanapun kau memohon padaku, bersiaplah hadapi hukumanmu!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ➖ D H❗V ➖, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. NEGOSIASI
Brown langsung mengetuk pintu, setelah sekretaris Prado memberi info pada tuannya tentang kedatangan Brown.
"Masuk!" sahut Prado dari ruang kerjanya.
"Tuan, saya sudah menemui kandidat yang akan memerankan sebagai figuran Nyonya Prada," Brown masih berdiri di seberang meja kerja Prado.
"Duduklah, apa yang kau bawa? A good news?" Prado balas bertanya tanpa menoleh, masih focus dengan berkas-berkas di atas mejanya.
Brown melangkah maju, menarik kursi lalu meletakkan sebuah map di atas meja.
"Saya sudah membuat kesepakatan dengan seseorang. Silakan Tuan baca isinya, saya harap Tuan menyetujuinya."
Prado melirik sejenak map itu, lalu kembali menandatangani beberapa berkas. Manyusun map di sisi kiri meja, lalu meregangkan badan sambil merentangkan tangan ke kanan dan ke kiri. Hari sudah menjelang sore, wajar bila Prado merasakan tubuhnya yang pegal setelah seharian memeriksa berkas yang menumpuk di meja kerjanya. Prado menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Krek ... krek ...
"Sepertinya Anda butuh olah raga, Tuan. Sudah lama Anda tidak mengajak saya adu ketangkasan dan baku tembak," Brown meledek tuannya.
"Hmmm ... kau ingin menambah rekor kekalahanmu?"
Memang sejak kasus Sabda bergulir, Prado tidak sempat mengurus dirinya sendiri. Hanya focus menjalankan rencana yang sudah disusunnya bersama Mr. Anthony. Juga sibuk menjaga Prada dan anak-anaknya dari segala kemungkinan buruk. Jangankan untuk berlatih dan olah raga, cari teman kencan saja belum ada waktu baginya.
"Aku harus membacanya?" dagu Prado menunjuk ke arah map.
"Kalau Tuan tidak mau tahu tentang siapa gadis itu, tidak jadi masalah. Tapi Tuan harus tahu tentang syarat yang diminta gadis itu."
"Gadis katamu?"
"Iya, mungkin Tuan juga mengenalnya."
Prado yang penasaran segera menyambar map itu dan membuka isinya.
"Kenapa harus dokter itu?" Prado melotot ke arah Brown.
"Bukankah saya harus memastikan sandiwara ini aman, Tuan? Dokter Rossy termasuk orang dalam dan sudah terbiasa bekerja di bawah klan Garcia. Pasti sudah memahami aturan mainnya," Brown menjelaskan secara terperinci.
Prado teringat, bagaimana dokter Rossy selalu bersikap baik padanya. Malah cenderung berusaha menarik perhatiannya, meskipun tidak secara terang-terangan. Tapi Prado selalu menutup mata dan tidak merespon sama sekali.
"Bagaimana aku harus berakting dengan dokter itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya bahkan selalu cuek padanya," pikir Prado gamang.
Prado kembali membaca berkas itu, dia manggut-manggut memuji kecerdasan Brown tentang syarat dan ketentuan yang berlaku bila dokter Rossy bersedia menjalankan peran itu.
Tapi matanya langsung melotot tajam saat membaca syarat yang diajukan oleh dokter Rossy. "Dasar gila!" gerutunya.
"Tidak ada kandidat lain?" Prado menoleh pada Brown.
"Sebenarnya saya sudah meminta Mildrett salah satu anak buah Sing... ehm ... Nona Joanna, Tuan. Tapi dia sedang cuti," Brown hampir keceplosan menyebut Joanna dengan sebutan singa betina. Beruntung Prado tidak begitu notice dengan hal itu, karena pikirannya sedang focus pada sosok dokter Rossy.
"Hmmmm ... bagaimana kalau peran itu diambil kakakku saja?" Prado tersenyum senang, karena merasa mendapatkan solusi lainnya.
"Sebaiknya Tuan yang menanyakan langsung pada Nona Joanna."
Prado meraih ponselnya dan segera menghubungi Joanna, "Hallo ... I need to talk."
"Ada perlu apa lagi? Pasti bawahan jelekmu itu sudah melapor yang bukan-bukan padamu," tebak Joanna.
"Apakah dia sudah meminta bantuanmu untuk melakukan peran itu?"
"Cih ... apa katanya?"
"Brown menyarankan agar aku sendiri yang memintamu melakukan peran itu, kau bisa membantuku?"
"Dasar sutradara sableng, padahal aku sudah memberinya jawaban. Apa dia tuli?" suara kesal Joanna terdengar dari seberang sana.
Prado langsung memelototi Brown. Tapi Brown dengan raut wajah serius pura-pura sibuk membalas pesan di ponselnya.
Prado melempar pena yang ada di tangannya ke arah Brown. Beruntung Brown sempat menggeser kursi itu menjauh, sehingga pena itu hanya mengenai lengannya dan terjatuh di lantai. Biasanya pena itu akan tepat mengenai keningnya, bila Prado dalam kondisi focus. Sudah bisa dipastikan kening itu akan lecet atau benjol setelahnya. Brown meraih pena itu dan meletakkannya di atas meja. Lalu kembali menjauh mengambil jarak aman.
"Baiklah, maafkan dia. Lain kali aku akan servis telinganya ke klinik uncle Brian. Jadi bagaimana?"
"Aku tidak bisa beracting. Lagi pula kau lihat tubuhku lebih berotot daripada Prada. Bisa-bisa aku malah mengacaukan sandiwara itu," Joanna memberikan alasannya.
"Hmmmm ... baiklah," sahut Prado pasrah. Prado tahu, bagi Joanna tidak ada negosiasi. Sekali menolak akan tetap menolak.
Sekarang Prado harus memutar otaknya kembali, untuk bernegosiasi dengan dokter Rossy. Prado kembali membaca berkas itu dan mencoret beberapa kalimat yang tidak dia setujui. Dan menambahkan beberapa poin lainnya.
"Aku menyetujui syarat pertamanya, tapi dengan pengurangan waktu sebanyak tiga puluh persen. Untuk syarat ke dua, aku menolaknya. Kau sudah tahu, bahwa aku tidak bisa bersikap seperti itu pada wanita lain, apalagi dengan dokter itu."
Lalu Prado menandatangani berkas itu dan memberikannya kembali pada Brown.
Sekarang bola ada di tangan Brown, dia harus kembali meyakinkan dokter Rossy sesuai permintaan tuannya.
"Sial, aku ini sutradara atau makelar cinta?" umpatnya dalam hati.
Brown bertekad akan menemui dokter Rossy esok hari dan berharap keberuntungan ada di pihaknya. Karena waktu terus berjalan dan weekend yang semakin dekat.
*
Esok harinya, pagi-pagi sekali Brown sudah memberhentikan mobilnya di area parkir apartment dokter Rossy. Sambil berdoa dalam hati, semoga waria itu tidak tinggal di apartment yang sama.
"Selamat pagi Nona," sapanya saat dokter Rossy muncul di balik pintu lift basement itu.
"Bagus, anda sudah mengagetkan saya!" teriak dokter Rossy karena terkejut, bahunya sampai menbentur dinding di lorong lift.
"Maaf Nona, saya sengaja pagi-pagi ke sini. Sebelum anda sibuk dengan jam praktek Anda," Brown meminta maaf demi mendapatkan kesempatan dari dokter Rossy.
"Apa yang anda inginkan? Apakah tuanmu sudah menandatangani kesepakatan itu?" tanya dokter Rossy dengan tatapan sinis.
"Sudah Nona, tentu saja dengan beberapa adjusment hehe," Brown menjawab sambil meringis.
"Baiklah, kita ke lobby sebentar. Saya harus membaca berkas itu lebih detail." Dokter Rossy kembali memasuki lift, diikuti oleh Brown.
Dokter Rossy memilih duduk di single sofa di sudut lobby, lalu mulai membuka map dan membaca berkas itu. Senyum kecil tersungging di bibirnya melihat tanda tangan Prado tersemat di sana. Lalu kepalanya menggeleng kecil saat membaca beberapa kalimat yang dicoret oleh Prado dan tambahan tulisan tangan Prado di lembar berkas itu.
"Dasar mafia pebisnis, selalu saja ada negosiasi," cibirnya dalam hati.
Brown yang melihat gelengan kepala dokter Rossy jadi panik, "Jangan-jangan dokter itu menolaknya."