Berniat berlari dari penagih utang, Kinan tak sengaja bertabrakan dengan Reyhan, laki-laki yang berlari dari kejaran warga karena berbuat mesum dengan seorang wanita di wilayah mereka.
Keduanya bersembunyi di rumah kosong, sialnya persembunyian mereka diketahui oleh warga. Tanpa berpikir lama, warga menikahkan paksa mereka.
Keinginan menikah dengan pangeran yang mampu mengentaskan dari jerat utangnya pupus sudah bagi Kinan. Karena Reyhan mengaku tak punya kerjaan dan memilih hanya menumpang hidup di rumahnya.
READER JULID DILARANG MASUK!
Ini hanya cerita ringan, tak mengandung ilmu pelajaran, semoga bisa menjadi hiburan!
Tik tok : oktadiana13
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Okta Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Payung Udara
"Sok tau!" tuduhku. Wajahnya terlihat sangat geram. Matanya melotot tajam. "Lihat depan dong!" Ah, dia masih dengan ekspresi wajah yang sama tak menghiraukan seruanku. Aku memalingkan muka tak sanggup melihat tatapan mautnya.
"Bilang sama aku kapan selesainya! Aku bakal bikin kamu lemes sampai minta ampun!" Perutku tergelitik rasanya. Aku tertawa lebar mendengar ancaman Rey seraya memegangi dahi. "Awas aja!" ancamnya lagi. Semakin tak terkendali saja tawa ini. Perut serasa mengeras. Aku mengelap sudut yang mengeluarkan sedikit air mata karena tertawa.
"Berhenti! Aku mau makan disitu aja!" Aku menunjuk penjual pinggir jalan.
"Makan di pinggir jalan lagi?" tanyanya dengan mengerutkan dahi. Aku mengangguk dan membuka pintu mobil. Rey membanting pintu mobilnya dan mengikutiku. "Kalau ketiduran lagi, aku gak bakal gendong pulang! Biar dimakan garangan!"
Aku menoleh ke arahnya. "Berisik!" Rey mencebikkan bibir dan berjalan meninggalkanku yang memesan kwetiau. Setelah selesai memesan aku duduk mendekatinya.
"Lama gak?" Aku menggelengkan kepala. "Aku ngerokok di depan dulu ya!"
"Gak boleh!" Ku pegang erat tangannya dengan wajah berkerut. "Jangan cium aku, kalau kamu bau asap rokok!"
"Ck," Dia melirikku dengan bibir sempurna mengerucut. Sumpah gemas sekali. Aku tarik itu bibir. " Auh ... sakit!" gertaknya dengan melepas paksa tanganku, ditambah tatapan mata yang seperti ingin keluar dari cangkangnya.
Tangan ini masih terus memegangi tangannya. Rasanya nyaman sekali di dalam dada. Ah, apa aku benar-benar sudah mencintai reptilia ini? Namun, aku takut jika dia meninggalkanku seenak jidat lagi. Rasanya sakit itu masih bersarang.
Aku melepas tangannya mengusir rasa yang tumbuh ini agar tak terlalu besar. Bahkan dia tak menatapku kembali. Aku melihat pandangan matanya mengarah ke wanita yang berdiri di ujung sana.
Wanita yang berpakaian minim itu mengalihkan pandangan Rey dariku. Aku mendengus kesal. Tau sendiri 'kan rasanya seperti apa, melihat suami yang matanya jelalatan kemana-mana.
"Lihatin terus! Kenapa lebih besar ya?" sindirku dengan meremas tangan. Sungguh menjengkelkan melihat ini semua. Ingin aku menyentil ginjal reptilia yang duduk di sampingku.
"Ya di depan mata habisnya." Aku mengernyit seraya menompang dagu. "Cemburu? Tenang aja hatiku cuma buat kamu! I love you ...." Dia mencubit dagu ini dan aku menepisnya.
"Heleh." Dasarnya saja buaya. Baru buka hati sudah sakit seperti ini rasanya. "Punyaku kecil 'kan? Sana lihatin aja terus, mumpung di depan mata! Ngapain lihat aku?" sindirku tajam dalam hati berharap dia merayu dan meminta maaf.
"Mending kecil tapi ciptaan Tuhan, daripada besar ciptaan mantan! Lagian payung udaramu pas kok di tangan." Dia menunjukan ukuran dengan menggerakan telapak tangannya.
"Dasar gila!" Aku merinding mengingatnya tapi, bahagia mendengar pengakuannya. Setidaknya dia mensyukuri semua yang aku punya.
Tak selang lama kwetiau pesanan kami datang. Aku memejamkan mata menghirup sedapnya aroma makanan ini. Perutku semakin tak sabar untuk menyantapnya. Tak menunggu waktu lama, aku melahap cepat kwetiau ini.
"Pelan-pelan makannya! Kayak gak makan tiga hari aja!" sindir Rey dengan mengaduk minuman di depannya.
Dengan mulut penuh aku menjawabnya, "Kamo gok tao ako ...."
"Dikunyah, ditelen baru ngomong!" sambarnya dengan intonasi nada tinggi.
Aku mendengus dan kesusahan menelan makanan yang penuh di mulut ini. Kemudian meminum es di depanku dan menatapnya.
"Kamu gak tau aku lapar sekali. Kerjaanku itu berat, nguras energi banyak," jawabku seraya mengambil kwetiau lagi dan memasukkan ke mulut.
"Kamu kerja di hotel itu bagian apa?"
Ups!
Aku menutup mulut dan berpikir sejenak. "Pokoknya rahasia, kamu gak perlu tau!"
"Besok berhenti kerja di hotel itu!" gertak Rey dengan wajah berapi-api. Ini pasti karena dia cemburu dengan pangeran pemilik hotel itu.
"Gak mau, aku nanti gak bisa ketemu pangeran itu." Aku memasukkan lagi kwetiau di mulut dan melempar pandangan keluar. "Kecuali ...."
"Apa?" teriaknya.
"Kamu gak pergi lagi!" ucapku lirih lalu meminum es di depanku.
Dia menggaruk kepalanya. "Aku pergi kerja."
"Aku ikut!" Rey memundurkan kepalanya.
"Ya gak bisa dong baby ...!"
Tangan ini memberi isyarat berhenti bicara. "Ya udah, aku cuma bosen di rumah. Gak pernah kamu perhatiin, ngasih kabar juga gak mau. Main tinggal aja kalau udah bosen." Kepala ini menunduk. Masih tidak bisa dilupakan begitu saja walaupun seribu alasan yang keluar dari mulutnya.
Dia memegang tanganku dan mata kami saling melepas pandang. Dekat, jarak wajah kami sangat dekat. Terlihat diriku di manik mata hitamnya. "Jangan berpikir seperti itu! Aku mencintaimu baby, mana mungkin bosan!"
"Pppfftt ... pppfffttt ... ha ha ha ha."
Beberapa pembeli yang berada tak jauh dari tempat duduk kami tertawa mendengar ucapan Rey. Aku melepas genggaman tangannya. Sungguh malu rasanya.
"Heh Mas kenapa ketawa? Memang ada yang lucu?" sunggut Rey sambil berdiri. Semua orang yang ada disitu menutup mulutnya dengan tangan seraya berbisik pelan. Entah apa aku juga tidak dengar. Pasti mereka mengira Rey berlebihan.
Rey menarik tanganku keluar dengan langkah lebar.
"Hei Mas ... belum dibayar main kabur aja!" teriak penjual dengan mengacungkan jari.
Seketika semua orang disitu menahan tawa kembali. Aku menghembuskan napas gusar. Rey mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu.
"Kebanyakan Mas!"
"Ambil aja kembaliannya!" teriaknya dengan wajah ditekuk. Dia menggandeng tanganku masuk dalam mobil dan membanting pintunya.
"Lain kali jangan makan di pinggir jalan!" gertaknya yang membuat ku telonjak.
Lalu makan dimana? Aku begini juga berhemat. Tau banget cari uang susah, hanya bisa menyalahkan. Rey begitu cepat mengendalikan mobilnya. Kami hanya terdiam tanpa suara diperjalanan pulang.
Sesampai rumah, dia langsung mengganti bajunya dan melempar tubuhnya di ranjang. Aku juga mengganti baju ini dengan baju tidur. Membaringkan tubuh pelan-pelan di sampingnya.
Entah kenapa dia melingkarkan tangannya dan memelukku erat. Rasa hangat dan aroma parfumnya begitu menenangkan. Aku tersenyum bahagia dengan sikapnya. Andai setiap malam dia seperti ini, aku pasti menjadi wanita paling beruntung walaupun dia bukan pangeran impianku.
❤
❤
❤
❤
❤
Hai readers yang ku sayang!
Lama tak jumpa, sehari serasa sebulan. Akhirnya aku baca ulang karena lupa alurnya sampai mana.😆 Maaf ya jadinya kelamaan nungguin!