Dara, seorang detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya semua bukti dan saksi mengarah padanya. Padahal Dara tidak kenal sama sekali dengan korban maupun pelaku, begitu juga dengan anggota keluarga dan saksi-saksi yang lain.
Dalam keadaan yang terpojok dan tanpa bantuan dari siapapun, Dara harus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi pembunuhan keji tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pertiwi1208, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Telah ditemukan potongan kuku dan anting di mobil salah satu detektif. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, kuku dan anting tersebut adalah milik Dita, Putri dari mantan kepala polisi yaitu Pak Bagas yang ditemukan terbunuh di taman. Keberadaan detektif tersebut belum diketahui, bahkan dia juga sudah tidak masuk kerja beberapa hari tanpa pemberitahuan. Maka dari itu, dihimbau kepada masyarakat agar berhati-hati dan segera memberikan informasi jika melihat orang tersebut."
Seorang penyiar berita membawakan berita sembari menampilkan dengan jelas wajah Dara di layar televisi tersebut.
"Apa-apaan ini?" gumam Dara.
Ardi segera mematikan televisi. "Sekarang kamu sudah menjadi buronan," ucap Ardi dengan santai.
Mereka saat ini tengah duduk santai di ruang televisi, kebetulan Dara juga sudah berangsur pulih, dan dia bosan jika harus di kamar terus setiap hari.
"Sudah kubilang, kamu harus bekerja sama dengan kami," sahut Natasha dari ruang makan, sembari memakan salad. Dara diam saja, dia mencoba berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang.
"Apa kamu sudah menghubungi teman-temanmu?" tanya Ardi.
"Aku tidak mau mereka terlibat dalam hal apapun," jawab Dara.
"Ponselmu dimana?" tanya Devan yang juga ada di ruang televisi.
"Aku tidak tahu," jawab Dara.
"Tapi bagaimana bisa mereka menggeledah mobilku?" kesal Dara.
"Lagian ngapain kamu bunuh dia?" tanya Ardi.
"Aku tidak membunuhnya, aku sedang menangani kasusnya dan mencari pelaku," sanggah Dara.
"Lalu kenapa barang bukti yang sangat kuat itu ada di mobilmu?" tanya Maria.
Dara menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, nampak sekali wajahnya, kalau Dara saat ini sedang gelisah.
Natasha segera beranjak dari duduknya dan mendekati Dara. "Beri tahu kami dimana dia sekarang tinggal, biarkan kami juga ikut menyelidiki," ucap Natasha dengan lembut, sembari duduk di dekat Dara dan menatapnya dengan tatapan dalam.
Dara tetap diam seribu bahasa, karena dia juga sedang tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Semua orang pun juga terdiam, menunggu Dara mengambil keputusan.
***
PLAAAK.
"BAGAIMANA KAMU MENGURUSNYA!!" Sementara itu di rumah orang tua Dara. Setelah mendengar pemberitaan di televisi dan juga di internet, Amelia pun dengan segera datang ke rumah orang tuanya. Baru saja Amelia masuk, ibunya langsung melayangkan tamparan yang sangat keras padanya, sehingga membuat Amelia hanya bisa menunduk.
"Dimana dia sekarang?" tanya Ibu Hana. Amelia segera menggeleng perlahan.
"Kamu tidak tahu? Kamu tidak tahu adikmu ada dimana?" geram Ibu Hana.
"Bagaimana aku bisa mempercayakan dia padamu!" kesal Ibu Hana yang segera berbalik badan dan berjalan ke arah sofa, beliau segera duduk sembari menggigit kecil kuku-kukunya dengan cemas.
"Kamu tahu kan bahwa Ibu saat ini sedang mencalonkan diri sebagai salah satu anggota legislatif? Kenapa dia harus membuat kerusuhan disaat seperti ini."
"Ibu sudah sangat bekerja keras dan mengumpulkan banyak poin, sebentar lagi sudah waktunya pemilihan, sudah tidak ada waktu lagi," cecar Ibu Hana.
"Sudahlah jangan terus marah padanya, dia kan tidak bersalah," ucap Ayah Roy yang sedari tadi masih diam saja.
"Memang seharusnya aku tidak mempercayakan Dara padanya," ucap Ibu Hana yang seketika mencubit hati Amelia. Terasa sakit, tapi tidak ada seorangpun yang bisa ikut merasakannya.
"Ibu tenang saja, aku tidak akan membiarkan situasi terus seperti ini. Aku yakin dia tidak bersalah," ucap Amelia.
Ibu Hana beranjak dari duduknya dan menghampiri Amelia kembali, lalu memegang kedua tangannya. "Benarkah kamu bisa menyelesaikan masalah ini?" tanya Ibu Hana.
"Hmb, aku pasti akan membereskan masalahnya, seperti yang sudah-sudah," jawab Amelia.
Ibu Hana menarik nafas dalam. "Baiklah, aku akan percaya padamu sekali lagi," ucap Ibu Hana.
"Lalu Ibu bagaimana? Apa Ibu harus mengundurkan diri?" tanya Ibu Hana dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak perlu, Ibu sudah bekerja dengan sangat keras untuk bisa mendapatkan apa yang ibu inginkan. Ibu terus berjalan saja sesuai dengan rencana Ibu, aku yang akan mengurus sisanya, jadi Ibu tidak usah memikirkan apapun," jelas Amelia.
"Benarkah?"
"Hmb," jawab Amelia dengan wajah yang tulus.
"Oke, baiklah," ucap Ibu Hana, kemudian beliau kembali ke kursi sembari memijat pelipisnya.
"Ayah, tolong jaga Ibu, aku harus segera bergerak," ucap Amelia.
"Hmb, pergilah, hati-hati," ucap Ayah Roy.
Amelia pun segera keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya. "Kenapa harus aku yang terus menyelesaikan masalahnya!" gerutu Amelia sembari menatap tajam ke arah rumah orang tuanya. Setelahnya, barulah Amelia meninggalkan halaman rumah yang cukup luas itu.
***
"Kamu harus segera meminta bantuan," ucap Arum pada Dara.
Saat ini mereka berdua sedang berada di ruang kerja Natasha. Terlihat Dara yang terus mondar-mandir dengan gelisah.
"Jika kamu tidak percaya pada tanteku dan juga teman-temannya, cobalah minta bantuan ke teman-temanmu," ucap Arum.
"Mereka sekarang pasti sudah diperintahkan untuk mencariku," ucap Dara sembari menyibakkan rambutnya dari atas kepala hingga ke belakang.
"Lalu bagaimana? Apa kamu akan diam saja?" tanya Arum. Dara diam lagi, dia benar-benar sedang berperang dengan otaknya sendiri saat ini.
***
Saat malam malam.
Mereka semua makan malam di rumah utama dengan tenang, tidak pembicaraan apapun, baik dari pihak Natasha dan teman-temannya, maupun dari pihak Dara.
"Kemana anak-anak?" tanya Dara mencoba membuka pembicaraan.
"Kami harus menyembunyikannya, karena musuh lama kami muncul lagi," jawab Natasha.
"Aku juga tidak lihat para pembantu," ucap Dara lagi.
"Saat dia muncul, semua harus dalam keadaan bersih, hanya orang-orang terlatih dan juga bisa menggunakan senjata saja yang boleh tinggal disini," sahut Devan. Dara mengangguk pelan, lalu melanjutkan makan malam kembali.
"Lalu siapa yang menyiapkan semua makan malam ini?" tanya Dara.
"Bos besar," ucap Maria sembari menatap ke arah Natasha.
"Sendirian?" tanya Dara dengan terkejut, karena dia melihat begitu banyak hidangan malam itu.
"Kenapa? Aku sudah terbiasa," ucap Natasha.
"Apa kamu akan terus hidup bersembunyi seperti itu?" tanya Ardi.
"Seharusnya tidak," jawab Dara.
"Kalau begitu muncullah," ucap Ardi.
"Tidak bisa sekarang, aku harus membuktikan kalau aku tidak bersalah," ucap Dara.
"Bagaimana caranya? Apa kamu bisa melakukannya sendiri?" tanya Ardi. Hal itu membuat Dara seketika berhenti mengunyah.
***
Beberapa saat kemudian, Arum datang. "Dari Mana kamu?" tanya Maria.
"Bekerja," jawab Arum sembari menghampiri mereka ke meja makan.
"Kenapa sampai malam begini? Bukankah jam 4 sore seharusnya kamu sudah pulang?" cecar Maria.
"Apa benar kamu dari bekerja? Seingatku kamu tadi siang masih mengobrol dengan Dara di ruang kerjaku," sahut Natasha.
"Aku habis makan-makan di tempat temanku," jawab Arum.
"Hati-hati, jangan sering kelayapan," sahut Maria.
"Aku baru saja makan bersama para juri inti," ucap Arum sembari menatap ke arah Dara.
"Apa kalian sedekat itu?" tanya Dara.
"Hanya sekedar berkumpul dan makan bersama saja," jawab Arum sembari mengambil apel yang ada di hadapannya.
"Tadi mereka semua membicarakanmu," ucap Arum.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Dara.
Sementara Arum dan Dara terus mengobrol, yang lainnya hanya mendengarkan saja sembari terus makan.
"Ada beberapa yang tidak setuju jika kamu adalah pelakunya, tapi ada juga yang ragu," jelas Arum.
"Biarkan saja, dia lebih suka dicurigai," sahut Ardi. Lagi-lagi Dara hanya diam, karena jujur saja dia memang belum bisa menemukan solusi dari semua masalahnya ini.
***
Setelah makan malam, Dara kembali ke ruang kerja Natasha dan berdiri di dekat jendela kaca, dari sana dia bisa melihat Natasha dan teman-temannya sedang berlatih menembak.
Sudah beberapa hari setelah mengetahui bahwa Pak Krisna muncul kembali, mereka selalu berlatih menembak secara rutin.
"Siapa sebenarnya Pak Krisna? Dan siapa sebenarnya mereka? Apa aku bisa mempercayai mereka?" gumam Dara sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan terus memperhatikan latihan tembak tersebut.
***
"Ada apa? Apa kamu sedang menunggu kami?" tanya Natasha saat baru saja masuk rumah dan mendapati Dara sedang duduk di ruang makan. Natasha dan teman-temannya masuk melalui pintu belakang.
"Kalian mengatakan bahwa Pak Krisna mandul," ucap Dara.
"Iya, Aditya memang mandul," ucap Natasha. Seraya melepaskan semua perlengkapan tembaknya dan berjalan ke arah Dara.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Dara.
Natasha menatap ke arah teman-temannya sembari mengulas senyum. Maria segera berjalan ke ruang kerja Natasha, sementara yang lainnya segera duduk di meja makan. Mereka minum dan makan buah sembari menunggu Maria kembali. Dara hanya diam saja sembari mengedarkan pandangan pada semua orang yang nampak santai.
Beberapa saat kemudian. "Silahkan." Maria datang sembari meletakkan laptop di depan Natasha, dalam keadaan laptop tersebut sudah terbuka dan menyala.
"Namanya Aditya Krisna Putra, kami memanggilnya Aditya," ucap Natasha.
"Dia dulu adalah suamiku, saat pernikahan kami yang sudah berjalan 5 tahun, kami belum juga dikaruniai anak. Kami memutuskan untuk periksa ke dokter, tapi hasilnya dia yang mandul. Aku tidak pernah memberikan hasil tes itu padanya. Sehingga mereka, Aditya dan ibunya selalu mengolokku mandul."
"Akhirnya dia menikah lagi dengan Rosa atas seizinku," ucap Natasha sembari menghadapkan laptop pada Dara. Natasha menunjukkan bukti foto pernikahan, foto Aditya, dan juga Foto Rosa.
"Kenapa aku menyetujui pernikahan itu? Karena saat itu aku harus melindungi adik angkatku, Raka dan Rani, tidak ada pilihan lain lagi."
"Mereka berdua, Rosa dan Aditya berencana untuk mengambil alih perusahaanku dan menguasai semua hartaku, serta mengusirku dalam keadaan gembel. Aditya itu sangat kotor, dia suka jajan dan mempunyai bisnis lain di dunia hitam. Mereka semua yang bertato yang ada disini adalah mantan anak buahnya. Sementara Rosa sangat licik, dia melukaiku, Raka, dan Rani dengan sihir."
"Terserah kamu percaya atau tidak untuk masalah itu, yang pasti kami sudah mengalami semuanya, bahkan kami bertiga hampir mati karena sihir tersebut."
"Singkat cerita, akhirnya kami bisa membuat mereka berselisih, saat itu Rosa hamil dan aku mengeluarkan bukti bahwa Aditya mandul. Dari situ perselisihan mereka semakin memanas."
"Saat kami menyergap markas Aditya, aku menjebaknya untuk masuk ke mobilku, karena target utama Rosa adalah membunuhku, dia tidak tahu bahwa yang ada di dalam mobil tersebut adalah Aditya. Dia segera menabrak mobilku, hingga terjadilah kecelakaan yang sangat parah."
"Kami menemukan mereka di rumah sakit yang berbeda, setelah melakukan pencarian beberapa hari. Setelah ketemu, kami memberikan pengawasan yang ketat pada mereka berdua yang koma hingga berminggu-minggu."
"Namun, saat acara pernikahanku dan Devan berlangsung, kami menerima kabar bahwa Aditya menghilang."
"Kami melakukan pencarian terus menerus hingga saat ini, dan kami belum bisa menemukannya, ternyata dia sudah mengganti nama panggilannya menjadi Krisna. Entah identitasnya diubah juga atau tidak." Natasha menjelaskan semua secara terperinci dengan singkat.
"Lalu istrinya?" tanya Dara.
"Anak Rosa kami serahkan ke ayah kandungnya. Karena kecelakaan itu, bayi yang ada di perut Rosa harus segera dikeluarkan. Beberapa minggu setelahnya Rosa juga menghilang tanpa jejak, sama seperti Aditya," jelas Natasha.
"Tapi kami tidak terlalu mengkhawatirkan Rosa, karena dia sudah kami miskinkan, dan yang lebih penting lagi, dukunnya juga sudah kami musnahkan," sahut Devan.
"Kalian sudah membunuh?" tanya Dara dengan terkejut.
"Saat itu hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Kamu tidak akan bisa membayangkan saat berhadapan dengan dukun. Hanya dengan berkedip saja, parang sudah bisa melayang ke kepalamu," sahut Ardi.
"Lagian itu juga sudah 20 tahun yang lalu," imbuh Ardi.
"Bagaimana kamu bisa dengan enteng berkata seperti itu pada nyawa seseorang?" ucap Dara dengan penuh penekanan.
Dara kembali lagi pada laptop yang ada di hadapannya dan melihat semua foto yang ada di sana.
"Sekarang lebih baik kamu beri tahu kami, dimana tempat tinggal Aditya, agar kami juga bisa melakukan penyelidikan," ucap Firman.
"Apa hubungannya Pak Krisna dengan kastil itu?" tanya Dara.
"Dia juga ada bisnis disana, menjual obat-obatan terlarang, prostitusi, dan juga eksploitasi terhadap anak-anak," jelas Maria.
"Dia dulu adalah sekretarisnya Aditya, tapi dia juga baru tahu saat-saat terakhir, jika Aditya melakukan bisnis tersebut di kastil," sahut Natasha.
"Maria juga yang sudah menyelamatkan banyak anak kecil serta gadis-gadis remaja disana," imbuh Natasha.
"Kalau kamu pergi ke rumah ketiga, di sana banyak anak gadis yang dulu aku selamatkan dari kastil. Kamu bisa mewawancarai mereka," sahut Maria.
"Kalau anak-anak sudah tidak ada, mereka langsung kami pulangkan setelah mendapatkan perawatan," imbuh Natasha.
"Intinya semua orang yang ada disini sudah pernah dikecewakan oleh Aditya, terutama Ardi. Dia bahkan hingga kehilangan jari kelingkingnya," ucap Devan.
"Jadi apa hubungannya Pak Krisna dengan Pak Bagas? Kenapa Putri mereka juga kehilangan jari kelingking?" gumam Dara yang suaranya masih bisa didengar oleh semua orang.
"Itu pasti bukan anaknya," sahut Natasha.
"Tapi dia terlihat sangat terpukul sekali saat itu. Bahkan turun tangan sendiri untuk mencari pelakunya."
"Maka dari itu dia menganggapku sebagai pelakunya," ucap Dara.
"Kenapa dia mencurigaimu?" tanya Ardi.
"Entahlah, dia mengira bahwa aku balas dendam terhadap perlakuannya 20 tahun yang lalu," ucap Dara.
"Biarkan kami juga ikut menyelidiki, untuk saat ini bukan hanya untuk kamu saja. Kami juga harus melindungi anak-anak yang tidak tahu menahu tentang masa lalu itu," ucap Natasha.
Dara diam lagi, dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Suasana pun menjadi sedikit tegang malam itu.