Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Adzan Isya baru saja berlalu—suara merdu muadzin masih terpantul samar di langit Wonosari yang mulai menutup wajahnya dengan kelam. Awan menggantung, tenang dan tak bersuara, seperti menyimpan rahasia ribuan doa yang terbang bersama angin. Bulan belum menampakkan diri, barangkali masih bersolek di balik gumpalan awan tipis. Sementara bintang-bintang menyalakan satu per satu harapan yang tersembunyi.
Dedaunan berbisik, pelan dan pasrah dibelai angin yang turun dari lereng Gunung Kelud.
Desa Wonosari memeluk sunyi, seolah seluruh makhluk telah pulang ke dalam dirinya masing-masing—menyatu dengan malam dan segala kenangannya.
Di saat-saat seperti ini, Asmarawati melamun di teras rumah. Angin malam menyusup pelan, membelai rambutnya yang terurai. Awan tipis tergantung murung di atas Desa Wonosari, dan matanya yang bening menatap jauh—seakan ingin menyusul angan yang belum sempat pulang.
Ia duduk berselimut sunyi, ditemani aroma tanah basah dan gemetar dedaunan. Di dadanya, cinta yang belum sempat bernama bergetar perlahan, seperti suara suluk di tengah gamelan—yang hanya bisa dirasa, bukan dijelaskan.
Asmarawati tahu, malam tak pernah bicara. Tapi di balik diamnya, ia menyimpan banyak jawab. Dan pada malam yang begini lengang, ia biarkan hatinya terbuka—untuk seseorang yang mungkin sedang memikirkan hal yang sama.
“Nduk… ngapain malam-malam kok duduk sendirian di sini? Ndak dingin to?”
Suara lembut ibunya tiba-tiba muncul dari balik pintu, memecah sunyi malam yang mulai menebal.
Asmarawati menoleh pelan, senyumnya tipis namun sarat makna. “mBoten, Bu… Asmara lagi pengen menyendiri.”
Nada suaranya lirih, seperti angin yang lewat di antara daun sawo. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi kasih ibu terlalu tajam untuk tidak mencium kegundahan itu.
“Kamu sedang memikirkan apa, Nduk?” tanya Sundari pelan, suaranya seperti desir daun jambu yang disentuh angin malam.
Asmarawati diam sejenak, lalu menggeleng perlahan.
“Ndak ada, Bu… Asmara cuma ingin menyendiri saja,” jawabnya lirih, menunduk menatap telapak tangannya yang saling menggenggam.
Sundari menghela napas, menatap wajah anak gadisnya yang mulai asing baginya—bukan karena berubah, tapi karena kini banyak hal yang disembunyikan. “Sendiri itu kadang perlu, Nduk. Tapi jangan sampai kamu tenggelam di dalamnya. Ibu ini, meskipun tak selalu bertanya, selalu ingin tahu kalau hatimu sedang tidak baik-baik saja.”
Asmarawati tersenyum kecil, tipis dan nyaris tak terlihat. “Ibu tenang saja… Asmara cuma sedang ingin diam. Biar angin saja yang diajak bicara malam ini.”
Sundari menepuk punggungnya pelan, lembut seperti nyanyian nina bobo masa kecil. “Kalau begitu… biarlah Ibu duduk menemani diammu. Kadang, diam yang ditemani bisa lebih hangat daripada kata-kata yang panjang tapi kosong.”
Dan mereka pun kembali diam. Tapi di antara diam itu, cinta seorang ibu dan rahasia seorang anak berbicara dalam cara yang hanya bisa dimengerti hati yang saling mengenal.
Tak lama kemudian, terdengar suara knalpot lirih dari arah jalan kecil di depan rumah. Deru mesin tua yang khas, berpadu gemerincing rantai besi, membelah keheningan malam dengan tenang namun pasti. Motor CB oranye itu muncul perlahan dari balik gelap, lampunya menembus kabut tipis yang menggantung rendah di udara Desa Wonosari.
Asmarawati spontan menoleh. Sorot matanya menangkap cahaya lampu motor itu seperti danau kecil yang tersentuh angin. Di sampingnya, Sundari juga ikut menatap—dahinya sedikit berkerut, namun mulutnya tetap terkatup, membiarkan waktu menjelaskan maksud kedatangan tamu itu.
Motor berhenti tepat di depan pagar tanaman. Pengendaranya turun pelan, menurunkan standar samping. Di bawah temaram cahaya kuning, tampaklah sosok Wiji —seseorang yang telah menetap di hati Asmarawati.
Angin seolah berhenti sejenak. Malam mendadak menjadi saksi, antara dua jiwa yang saling mengenal. Asmarawati mengatupkan bibirnya, menahan segala yang ingin mengalir. Sementara ibunya, meski belum tahu banyak, mulai dapat membaca gelombang rasa yang belum sempat diucapkan.
“Assalamualaikum,” suara Wiji terdengar lantang namun bergetar halus, memecah jarak antara pagar dan teras.
“Waalaikumsalam,” jawab Asmarawati dan Sundari hampir bersamaan.
“Eh, ada tamu,” sambut Sundari dengan hangat.
Ia berdiri perlahan dari duduknya, lalu memberi isyarat halus agar Wiji mendekat. “Silakan masuk, Le…?”
Wiji mengangguk pelan, lalu melangkah dengan penuh hormat. “Ngapunten, Bu… ganggu malam-malam begini. Kulo cuma… pengin ngobrol sebentar.”
Sundari tersenyum, matanya lembut menatap pemuda itu. “Tidak ganggu sama sekali, Le. Wong rumah ini selalu terbuka untuk siapa saja yang datang dengan niat baik.”
Asmarawati hanya menunduk, menyembunyikan senyum gugup yang menggantung di bibirnya. Hatinya berdebar pelan—antara senang, cemas, dan tak tahu harus berkata apa.
“Duduk, Mas…” ucap Asmarawati pelan, disertai isyarat halus tangan kanannya.
Suara itu lirih namun cukup jelas untuk mengusir ragu.
Wiji mengangguk, lalu duduk perlahan di sisi yang ditunjukkan. Gerak-geriknya sopan, penuh kehati-hatian, seakan tak ingin mengusik malam yang terlalu hening untuk sekadar basa-basi.
Sundari memperhatikan mereka sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ibu bikinkan teh dulu, ya,” katanya, sebelum bangkit menuju dapur.
“Beberapa hari ini aku ndak lihat sampean…”
Asmarawati akhirnya membuka suara, pelan namun penuh makna.
“Sampean ke mana saja, Mas?” tanyanya, menatap ujung teras, tak berani langsung menatap wajah Wiji.
Wiji tersenyum tipis, menyandarkan punggungnya pada bangku rotan di hadapannya.
“Aku sibuk, Dek,” jawabnya singkat, namun nada suaranya mengandung sesuatu yang tak selesai—seperti ada kata-kata yang tertinggal di tenggorokan.
Asmarawati mengangguk pelan, walau hati kecilnya berharap jawaban lebih dari sekadar itu. Kesunyian pun kembali mengambil tempat, membentang di antara mereka seperti jalan yang belum jelas ujungnya.
Namun, meski tak banyak kata, kehadiran itu sendiri sudah cukup menjelaskan: ada yang dirindukan, ada yang akhirnya kembali.
“Ini tehnya diminum, Le… keburu dingin.”
Sundari kembali dari dapur dengan nampan kecil di tangannya. Ia meletakkan teh itu di hadapan Wiji.
Wiji menerima cangkir itu dengan kedua tangan. “Matur nuwun, Bu…” katanya lirih.
Setelah meletakkan teh dan menyapa dengan senyum yang hangat, Sundari berdiri perlahan. Lalu tanpa banyak kata, ia berkata pelan, “Ibu ke dapur dulu, ya…”
Langkahnya ringan, suaranya hampir tak terdengar saat menjauh. Tinggal bayangannya yang perlahan menghilang di balik tirai,.meninggalkan Wiji dan Asmarawati berdua dalam diam yang lebih dalam dari kata-kata.
“Aku dengar-dengar… selama lebih dari seminggu ini, katanya sampean ndak pulang,” ucap Asmarawati pelan, tapi jelas.
Suaranya seperti hujan pertama setelah kemarau—tak deras, tapi menyentuh hati yang kering terlalu lama.
Wiji terdiam sejenak, menunduk. Cangkir tehnya masih utuh, belum disentuh. Angin malam berembus pelan, seperti memberi ruang bagi kata-kata yang terselip di tenggorokan.
“Iya, Dek…” jawabnya akhirnya, pelan.
“Kenapa ndak pulang…?”
Suara Asmarawati lirih, hampir seperti bisikan yang takut menggugurkan keberanian.
“Apa sampean ada masalah…?” Ia masih menunduk, berusaha menahan segala kemungkinan jawaban yang bisa datang: pahit, manis, atau bahkan tak jelas arahnya.
Wiji menghela napas pelan. Langit malam di atas mereka begitu tenang, tapi isi dadanya sebaliknya.
“Masalah… ya, bisa dibilang begitu,” kata Wiji akhirnya, suaranya tenang tapi ada getaran yang tak bisa disembunyikan.
Asmarawati mengangguk pelan, seolah menebak arah pikirannya sendiri. “Masalah keluarga… seperti yang sampean bilang kemarin?”
“Iya, Dek,” jawabnya singkat.
“Tapi… kenapa sampai tidak pulang?” Nada suara Asmarawati sedikit meninggi, bukan karena marah—tapi karena peduli yang mulai tak bisa disembunyikan.
“Bukankah itu justru akan membuat masalah tak segera terselesaikan?” Ia menatap Wiji.
Wiji menghela napas panjang. Ia tahu, pertanyaan itu bukan sekadar keluhan. Tapi juga ungkapan dari hati yang sudah terlalu lama menunggu tanpa kepastian.
“Aku bingung, Dek… jujur.” Suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang berbicara dengan bayangannya sendiri.
“Semakin aku berusaha menjelaskan ke mereka, semakin mereka menolak. Dan aku takut… kalau aku terlalu memaksa, semuanya justru akan berantakan.”
Ia menunduk. “Aku butuh waktu buat mikir, bukan buat lari....”
Asmarawati terdiam. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang menghangat sekaligus menyakitkan—sebuah rasa sayang yang yang bercampur dengan rasa kekhawatiran.
“Kamu tak perlu khawatir, Dek…” Wiji berkata pelan, suaranya mengalun lembut. “Doakan saja… semoga aku baik-baik saja.”
Asmarawati menatapnya—dalam, jujur, tanpa ragu.
“Aku selalu mendoakan yang terbaik buat panjenengan,” jawabnya lirih. Kata-kata itu sederhana, tapi di baliknya tersimpan rindu, kesetiaan, dan cinta yang tak pernah meminta jawaban.
Wiji tersenyum, senyum kecil yang lebih terasa seperti permohonan maaf yang belum sempat terucap.
“Terimakasih, Dek…” ucapnya pelan.
Dan untuk sesaat, malam menjadi ruang yang cukup bagi dua hati yang belum bisa bersatu, tapi tak pernah berhenti saling menjaga perasaan masing-masing.
Dalam obrolan yang diselingi tawa lirih yang terdengar seperti nada angin menyusup lewat celah dinding. Dari balik jendela kaca yang separuh tertutup tirai, Ratmoyo berdiri kaku. Bayang tubuhnya menyatu dengan malam, tetapi matanya terjaga, mengawasinya.
Ada yang bergolak dalam dadanya. Kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan—seperti firasat yang datang diam-diam, menghimpitnya tanpa suara. Wiji tampak sopan, tenang, bahkan lemah lembut. Tapi Ratmoyo masih saja tak bisa tenang.
Dan tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara motor meraung pelan, menembus keheningan malam. Lampunya menyapu halaman, bayangannya menggoyang dinding rumah seperti hantu masa lalu yang datang tanpa diundang.
Ratmoyo mendongak. Napasnya tertahan. Itu motor Supra—hitam kusam, suaranya khas. Tak mungkin salah. itu Kaji Mispan.
Mesin motor dimatikan sebelum benar-benar masuk pekarangan, seolah si pengendara tak ingin keberadaannya terlalu mencolok. Tapi bagi Ratmoyo, suara itu sudah cukup untuk membuat darahnya berdesir.
Di teras rumah, Asmarawati dan Wiji belum menyadari. Mereka masih bercakap, suara mereka mengambang lembut di udara. Tapi Ratmoyo tahu, malam ini tidak akan biasa. Ada sesuatu yang akan pecah.
Ratmoyo berdiri di balik pintu, belum membuka, namun telinganya tajam menangkap suara langkah mendekat di atas tanah berkerikil. Pintu ia buka perlahan. Sosok itu sudah berdiri di depan—Mispan, wajahnya gelap, napasnya berat, matanya menyala.
Di teras, Wiji dan Asmarawati yang tadi tengah bercakap langsung menoleh.
“Heh, wedhus!” bentak Mispan begitu matanya menangkap Wiji. “Kamu ke mana saja?! Sudah berhari-hari ndak pulang!”
Suara Mispan membelah malam. Kelelawar yang bergelantungan di pohon mangga berkesiur. Asmarawati mematung, sementara Wiji perlahan berdiri, wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdegup keras.
“Aku cuma—”
“Cuma apa?! Cuma minggat?! Cuma numpang hidup di rumah orang?!” potong Mispan, melangkah ke teras, berdiri tak jauh dari putranya.
Ratmoyo melangkah maju, berdiri di antara keduanya. “Pak Mispan, jaga ucapan sampean. Ini rumahku. Kalau mau bicara, bicara baik-baik.”
Mispan menatap Ratmoyo dengan sorot lama yang penuh sejarah. Tapi mulutnya masih menyala.
“Heh Mo, Paimo? Aku ke sini bukan mau apa-apa. Aku cuma mau mencari anakku—yang sudah beberapa hari ndak pulang, sekarang malah duduk manis sama anakmu.”
Wiji mengangkat wajahnya, menatap ayahnya lurus-lurus. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh luka yang tak lagi bisa ia simpan. “Sudah, Pak. Jangan bikin ribut di sini. Ini rumah orang.”
Mispan mendengus keras. Matanya membelalak, dadanya naik turun menahan gejolak. “Jangan ngajari orang tua!” bentaknya.
Wiji masih berdiri tegak. Tak mundur, tak membalas. Tapi pandangannya tak bergeming. “Bapak boleh marah… tapi jangan bawa amarah itu ke tempat orang lain. Jangan buat malu.”
Mispan melangkah maju, nadanya makin meledak. “Kamu itu anak durhaka! Lupa diri! Lupa rumah!”
Asmarawati bergidik. Ia menggenggam ujung bajunya erat-erat, tak berani bergerak.
“Sudah, Pak.” Suara Ratmoyo terdengar dalam dan menahan amarah. “Kalau mau bicara, bicara yang layak. Ini bukan pasar.”
Mispan menoleh cepat. Matanya menyala, dadanya naik turun. Wiji dan Asmarawati hanya bisa diam membeku.
“Aku datang bukan untuk cari ribut,” seru Mispan lantang. “Aku cuma mau menjemput anakku pulang!”
Tegang. Udara di teras itu menebal, seolah malam sendiri enggan menyentuhnya.
Namun tiba-tiba—
“Pan...” Suara itu muncul dari balik tirai ruang dalam.
Lembut, namun berwibawa. Dan dari balik pintu, muncullah sosok sepuh—Ki Sanusi.
Langkahnya pelan, tapi mantap. Rambutnya putih bersih, tubuhnya renta namun masih menyimpan aura yang membuat siapa pun menunduk.
“Ojo ngujo hardaning kanepson, Pan.”
Suara Ki Sanusi lirih namun menggema. “Ngadepi anak kuwi iyo ono toto kramane. Ojo mung di deleng bocahe, ning ugo delengen kahanane lan papane.”
Mispan terdiam. Kepalan tangannya mengendur.
Matanya berpindah dari Wiji ke Ki Sanusi, dan perlahan… tunduk.
“Ngapunten, Ki…” ucap Mispan akhirnya, suaranya serak.
Ki Sanusi mendekat, menepuk ringan bahu Mispan. “Wong tuwa kuwi oleh ngamuk anak, Ning kudu ngerti kapan wayah lan panggone.”
Ratmoyo memalingkan wajah. Ia tak bicara, tapi jelas dalam matanya—perih itu menular. Di sampingnya, Asmarawati mulai terisak pelan.
Sementara Wiji, hanya berdiri kaku, seolah tak tahu harus marah, sedih, atau lega.
“Iya, sudah. Ayo, pulang-pulang, Pak.” Suara Wiji nyaris gemetar, tapi tegas.
“Bikin malu saja, sampean!” Ucapannya seperti cambuk.
Asmarawati menutup mulutnya dengan tangan. Ratmoyo menunduk sesaat, namun tetap berjaga.
Mispan terdiam sepersekian detik.
“Yo wis…” ucapnya pelan, hampir seperti gumaman.
Lalu ia menatap sekilas ke arah Wiji, tak ada kata—hanya sorot mata yang menyimpan lelah.
Kemudian ia berpaling pada Ki Sanusi, membungkuk sedikit, penuh hormat. “Ngapunten, Ki. Kulo pamit mawon.”
Ki Sanusi mengangguk perlahan, tak banyak berkata.
Sorot matanya hanya menuntun: tenangkan hati, jangan terbakar lagi. Mispan melirik Ratmoyo sekilas. Tak ada sapaan. Tak ada permintaan maaf.
Hubungan mereka memang sudah lama retak, dan malam ini bukan saatnya menyambung dengan kata-kata. Cukup dengan diam yang tak menambah luka.
Ia pun melangkah turun dari teras. Langkahnya lambat, berbeda dari saat ia datang tadi.
Dan ketika motor kembali meraung, suaranya terdengar jauh lebih letih.
Asmarawati menatap ke arah jalan, menahan isak yang hampir pecah.
Tak lama setelah suara motor Mispan lenyap di tikungan, Wiji menarik napas panjang. Ia masih berdiri di ujung teras, diam membatu, seolah menahan beban yang tak kunjung turun dari pundaknya.
Ki Sanusi menatapnya lembut. Tak berkata, tapi seperti mengizinkan Wiji untuk memilih jalan pulang atau bertahan sebentar lagi.
Wiji menoleh ke arah Ratmoyo, lalu pada Asmarawati. Pandangan itu lama, dalam, dan menyesak. Tapi ia tersenyum kecil—senyum yang tipis, lebih mirip perpisahan ketimbang kelegaan.
“Di agung pangaksami, Pak…” katanya pelan, kepada Ratmoyo. “Maaf kalau kedatangan saya malah membawa keributan.”
Ratmoyo hanya mengangguk, kaku.
Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu.
Bukan karena marah, tapi karena ia belum tahu bagaimana harus memandang anak muda itu—antara harapan atau ancaman.
Wiji menunduk pada Ki Sanusi, penuh takzim.
“Maturnuwun sanget, Embah.”
Kemudian ia berbalik pada Asmarawati. Senyumnya tak sempat tumbuh sempurna. “Maaf, Dek… aku pamit dulu.”
“Assalamualaikum.” Suaranya lirih, namun menggetarkan. Seolah salam itu bukan hanya pamit, tapi juga permohonan maaf, penghormatan, dan harapan.
Ki Sanusi menjawab, “Waalaikumsalam, le...”
Suaranya hangat, seperti tangan tua yang menepuk punggung dengan penuh kasih.
Ratmoyo hanya mengangguk pelan. Tak menjawab secara lisan, tapi sorot matanya tak lagi setajam tadi. Ada sesuatu yang mulai mencair—meski belum sepenuhnya lepas.
Asmarawati memalingkan wajah, menahan tangis yang nyaris pecah. Tapi sebelum Wiji turun dari teras, ia sempat berkata lirih:
“Ati-ati, Mas…” Wiji tersenyum tipis, lalu melangkah pelan menuruni anak tangga. Langkah yang tenang, namun menggema dalam dada.
Mesin motornya menyala. Tak perlu raungan. Tak perlu gas keras. Hanya suara lembut yang menyapu malam, seolah ia tak ingin mengganggu siapapun lagi. Dan saat lampu belakang motornya menjauh di antara gelapnya pekarangan, malam pun kembali hening. Tapi semua yang tinggal tahu, ada kisah cinta yang belum usai, dan luka lama yang belum sembuh.
Di teras, Asmarawati terisak pelan. Dan Ratmoyo hanya bisa menatap jalan yang kosong—jalan yang membawa dua lelaki itu menuju pertarungan yang entah akan berujung di mana.
Tak lama setelah suara motor Wiji menghilang, suasana kembali sunyi. Hanya suara daun jati yang bergesekan pelan dihembus angin malam. Sundari yang tak menyadari keributan keluar.
“Lho… temenmu sudah pulang, Nduk. Loh kok nangis?” tanya Sundari dengan nada bingung.
Matanya lalu beralih ke Ki Ratmoyo, yang masih berdiri diam di sisi tiang teras.
“Ada apa, Pak?” lanjutnya, kini lebih serius.
Ki Ratmoyo menoleh pelan, lalu menghela napas panjang. “Panjang ceritanya, Bu…” ucapnya pelan.
Lalu menoleh ke arah putrinya yang masih terisak dalam diam. “Iya sudah. Sekarang ajak anakmu masuk rumah dulu.”
Sundari memandangi wajah putrinya, lalu mendekat dan menyentuh pundaknya perlahan. “Ayo, Nduk, masuk dulu. Nanti kamu masuk angin.”
Asmarawati tak berkata apa-apa. Tapi langkahnya mengikuti sang ibu, pelan, seperti tubuh yang tak sepenuhnya bisa berdiri tegak.
Namun sebelum benar-benar masuk, ia menoleh ke bangku rotan—tempat Wiji tadi duduk. Hatinya tertinggal di sana.
Setelah itu di ruang tengah Sundari duduk di menatap Ki Ratmoyo dengan sorot mata yang tak lagi bisa menahan tanya.
“Sebenernya… ada apa to, Pak?” Suaranya pelan, tapi cukup jelas menusuk sunyi malam.
Ratmoyo menarik napas, agak berat. Lalu menatap istrinya sebentar sebelum berkata, “Tadi Kaji Mispan ke sini… nyariin Wiji. Kata dia, anak itu beberapa hari ini ndak pulang-pulang. Marah-marah dia. Suaranya tinggi. Untung tadi ada bapak yang merelai.”
Sundari diam sejenak, lalu berkata hati-hati. "Lha terus… jenengan marah juga?”
Ratmoyo tak langsung menjawab. Ia menunduk, memutar-mutar cincin di jari kelingkingnya, seperti sedang memilah-milah emosi yang masih menggumpal. “Ndak kok Bu."
Sundari menghela napas perlahan. “Eh… iya wes,”
Sesaat hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar pelan.
Ratmoyo menyambung, suaranya datar tapi tegas: “Tapi sebaiknya… Asmara jangan sampai dekat-dekat lagi sama Wiji. Dia pemuda yang terlalu liar… suka keluyuran,. Dan bapaknya galak pula. Kepala batu. Ndak bisa diajak rembug.”
Sundari mendongak perlahan. Sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak terucap—antara tak setuju, tapi juga tak ingin memperkeruh suasana. “Itu kan urusan mereka to, Pak? Asmara sudah dewasa."
Ratmoyo menggeleng pelan, nadanya tetap kukuh. “Tapi ini juga demi kebaikan Asmara, Bu.
Aku nggak pengin anakku hidup dalam bayang-bayang orang seperti Mispan.”
“Asmara itu anak kita satu-satunya, Bu! Saya ndak mau dia kenapa-kenapa… kalau terus-terusan dekat sama anak brandalan itu!” Ratmoyo mendongak, suaranya meninggi sedikit, namun masih ditahan agar tak menggema ke seluruh rumah.
“Brandalan?” gumam Sundari.
“Mas… Wiji itu sopan, itu mungkin cuma cara sampean melihatnya yang kurang tepat.”
Ratmoyo berdiri dari duduknya, berjalan beberapa langkah ke jendela. Ia menatap keluar, ke gelap pekat malam, seolah di sana ada kenangan yang belum reda, dan wajah seseorang yang masih menghantuinya.
“Sampeyan ndak ngerti, Bu…” katanya lirih.
“Hah…” desahnya lirih, lalu melanjutkan, “Iya sudahlah…”
Nada suaranya bukan benar-benar menyerah,
tapi semacam jeda—jeda dari sedikit perdebatan yang tak ingin dibesar-besarkan.
Ia berbalik pelan, melangkah menuju kamar Asmarawati tanpa menoleh lagi. Langkahnya ringan,
namun menyisakan gemuruh yang tertinggal di ruang tengah.
Di kamar Asmarawati, lampu sudah redup. Cahaya temaram menyelimuti dinding, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan. Sundari membuka pintu perlahan.
Di atas ranjang, Asmarawati sudah berbaring, membelakangi pintu. Kain selimut ditarik hingga ke pundak, napasnya teratur… tapi terlalu teratur untuk disebut tidur.
Sundari berdiri sejenak di ambang pintu. Matanya menatap punggung anak gadisnya, yang sejak bayi selalu bisa ia baca lewat tangis dan tatap.
Kini… bahkan diamnya pun bicara.
“Asmara…” bisiknya pelan. Tapi tak ada jawaban.
Hanya keheningan yang makin terasa dalam.
Sundari tersenyum tipis. Ia tahu anaknya pura-pura tidur. Dan ia memilih membiarkannya.
Ia melangkah masuk, duduk sebentar di tepi ranjang. Tangannya mengelus rambut Asmarawati yang tergerai di bantal. Lembut. Sepenuh kasih.
Lalu dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata,
“Tidurlah, Nduk… Yang penting hatimu tetap bersih…
Ibumu selalu di sini.”
Setelah itu ia bangkit, berjalan keluar kamar. Daun pintu ditutup pelan.
Dan di balik selimut, mata Asmarawati yang basah itu… akhirnya meneteskan air mata—diam-diam. Ia pun bangkit dari posisi tidurnya, terduduk di sisi ranjang. Rambutnya tergerai, matanya bengkak.
Tangannya menggenggam saputangan kecil— benda yang malam ini menjadi tempat semua air matanya jatuh.
Ia mencoba menarik napas panjang. Tapi yang keluar hanya isakan. Lalu perlahan… ia menangis.
Bukan tangis meraung. Tapi tangis perempuan yang menahan terlalu banyak beban perasaan, terlalu dalam.
Tangis yang mengalir diam-diam, nyaris tak bersuara, tapi menggetarkan seluruh tubuh.
“Mas…” Bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
“Sampean ra salah… tapi kenapa rasanya aku yang ikut luka?”
Di luar, angin mengetuk-ngetuk jendela. Malam hanya diam, seperti tahu bahwa duka ini terlalu dalam untuk diobati oleh waktu. Di sela tangisnya, Asmarawati meraih bantal dan memeluknya erat, seolah berkhayal di situlah bahu Wiji berada. Tapi yang ia dapatkan hanya dingin… dan kosong.
Dan malam pun memeluknya dengan kelam, membiarkan gadis itu terisak sendirian… dalam kamar yang sepi, dalam cinta yang belum sempat tumbuh, tapi harus di remuk oleh luka yang belum sembuh.
Dan malam pun menutup peristiwa itu dengan tenang. Tapi di balik pintu yang tertutup, masing-masing hati membawa tanya… dan perasaan yang belum bisa diredam sepenuhnya. Malam kian dalam. Di balik dinding rumah yang telah kembali tenang, kamar Asmarawati diselimuti sunyi.