"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Cahaya yang Direnggut
Malam itu sunyi. Langit bertabur bintang namun tidak menenangkan. Di balik keheningan, ada getar yang tidak bisa dijelaskan. Pondok asrama tahfidz Ummu Nafizah tampak seperti biasa dari luar—tenang, damai, penuh aktivitas ruhani. Tapi di dalam hati para penghuninya, ada gelombang yang belum dinamai.
Aisyah baru saja menidurkan bayinya yang semakin hari semakin mirip dengan Khaerul. Pipinya merah muda, matanya jenaka, dan suaranya menjadi musik penyejuk setiap malam. Namun malam ini, Aisyah merasa dadanya sesak tanpa sebab. Seperti ada yang mengintai dari balik dinding sunyi.
Khaerul sedang memeriksa laporan kegiatan santri bersama para ustadz lain di ruang musyawarah pondok. Lampu neon berpendar redup, menyisakan suasana khusyuk. Tak ada yang menduga malam itu akan menjadi malam yang mencabik-cabik kedamaian.
Tepat pukul dua dini hari, suara ketukan tergesa memecah keheningan. Ustadzah Salma, yang bertugas di asrama putri, datang dengan wajah pucat pasi.
"Santri kita... dua orang hilang. Tidak ada di ranjangnya sejak tadi. Kami sudah cari ke seluruh area putri. Tidak ada... tidak ada!"
Aisyah yang mendengar itu sontak menggigil. “Siapa?”
“Rania dan Halimah. Mereka terakhir terlihat habis isya, ikut halaqah Qur’an...”
Khaerul langsung memanggil para pengurus pondok. Sekejap, suasana berubah kacau. Santri lainnya menangis. Sebagian berdzikir, sebagian ikut mencari ke pekarangan belakang dan sekeliling pondok. Hingga pagi menjelang, hasilnya nihil. Rania dan Halimah seolah ditelan bumi.
Polisi datang. Masyarakat berkumpul. Desas-desus bermunculan. Ada yang bilang mereka diculik. Ada yang bilang mereka kabur. Bahkan, ada yang menuduh pondok menyembunyikan sesuatu.
Pak Samad muncul di tengah kerumunan dengan senyum dingin. “Bukankah sudah kubilang dari dulu, tempat ini penuh misteri... bahkan bisa jadi sarang pencucian otak,” ujarnya lantang.
Khaerul maju, wajahnya tenang namun tajam. “Hati-hati dengan ucapanmu. Ini bukan waktunya menyulut api saat semua sedang mencari cahaya.”
Namun ucapan itu tak bisa menghentikan bara yang mulai menyebar. Malam-malam berikutnya penuh tangis. Ibu-ibu santri datang menuntut kepastian. Kabar mulai menyebar luas. Media lokal mulai menyoroti. Di antara tekanan, Aisyah mencoba tegar. Ia memimpin majelis dzikir setiap malam, memohon agar Allah membuka jalan, agar para santri yang hilang kembali.
Hingga suatu malam, seorang santri menemukan secarik kertas tertempel di balik pintu mushalla lama. Kertas itu hanya bertuliskan satu kalimat:
"Kami di tempat yang dulu ditinggalkan, karena kejujuran harus dibayar mahal."
Dan tanda itu membawa mereka pada misteri lama—gua di Pantai Lasonrai.
Dengan nekat, Khaerul dan beberapa warga menyusuri pantai dan menemukan pintu gua tertutup rimbun. Mereka masuk dengan hati-hati, dan di dalamnya, mereka menemukan Rania dan Halimah dalam keadaan lelah dan ketakutan, namun selamat.
Dan di balik bayangan gua itu, berdirilah sosok yang selama ini dicurigai, namun tak pernah dituduh secara langsung: Pak Samad.
“Aku hanya ingin membuktikan bahwa kalian tidak sekuat yang kalian kira. Kalian merusak tatanan. Mengajarkan anak-anak kami hal yang tak kami pahami,” ujarnya tanpa rasa bersalah.
Khaerul menatapnya tajam. “Bukan kami yang merusak. Tapi kebencian yang kau biarkan hidup di dadamu.”
Pak Samad pun akhirnya ditangkap. Dan malam itu, Pondok Tahfidz Ummu Nafizah menangis dalam sujud syukur. Tapi bekas luka di hati para santri dan keluarga mereka tak akan mudah hilang.
Tangis santri memecah malam yang masih basah oleh embun. Di bawah cahaya remang lampu pondok Tahfidz Ummu Nafizah, Aisyah memeluk Halimah salah satu santri yang baru diselamatkan. Tubuh kecil itu gemetar hebat, wajahnya pucat dan penuh goresan ketakutan yang belum sempat hilang.
“Apa mereka menyakitimu, nak?” suara Aisyah tercekat.
Halimah menggeleng lemah. “Tidak, Ummi... tapi aku dengar... Pak Samad bilang... kami harus ditiadakan. Agar pondok ini tak bisa lagi berdiri.”
Ucapan itu menghantam hati semua yang mendengar. Para wali santri yang hadir malam itu menahan tangis dan amarah. Beberapa bahkan mencoba menerobos penjagaan demi mendatangi rumah Pak Samad yang kini telah dijaga aparat.
Khaerul berdiri tegak, sorot matanya menusuk malam. “Inilah wajah lain dari kebatilan. Ketika ilmu dan agama mulai tumbuh, akan selalu ada yang ingin mencabutnya dari akar.”
Suasana tegang memuncak. Meski santri berhasil diselamatkan, trauma dan luka batin membekas dalam. Para santri kini harus menghadapi bayang-bayang ketakutan, terutama karena pelaku adalah sosok yang mereka kenal sebagai tokoh adat.
Di antara kerumunan, datang seorang lelaki tua berjubah putih, berjanggut panjang dan wajah yang bersih bercahaya. Ia adalah Guru Tua dari Gowa, seorang ulama kharismatik yang dikenal luas hingga ke pelosok.
“Jika kejahatan mulai terang-terangan, maka cahaya kebenaran tak boleh lagi bersembunyi,” ucapnya lantang. “Aisyah, Khaerul... kalian diuji bukan hanya oleh manusia, tapi juga oleh waktu dan keteguhan.”
Aisyah mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Kami akan tetap bertahan, Guru.”
Guru Tua itu tersenyum. “Dan aku akan tinggal sementara di pondok ini, untuk membimbing mereka yang mulai goyah. Kita akan perkuat barisan. Tak ada yang bisa memadamkan cahaya yang lahir dari ikhlas dan doa.”
Namun tak semua mereda.
Di balik jeruji tahanan, Pak Samad tak bersuara. Tapi matanya menyimpan rencana. Ia tak sendiri. Ada kekuatan lain yang sejak awal berdiri di belakangnya—tokoh-tokoh kuat yang merasa terganggu oleh geliat perubahan spiritual di Batupute.
Dan Aisyah tahu, perjuangannya belum usai. Ia duduk di kamar kecilnya malam itu, menulis di buku harian tua milik ibunya:
> “Hari ini, aku kehilangan sebagian nafas karena dikhianati oleh mereka yang kusebut tetangga. Tapi aku juga menemukan keberanian yang tidak kupunya sebelumnya. Ini bukan hanya tentang dakwah, ini tentang bertahan untuk kebaikan. Tentang cinta yang dibuktikan dalam darah dan doa.”
Saat adzan subuh menggema, pondok Ummu Nafizah kembali hidup. Suara-suara kecil mulai melantunkan ayat-ayat suci, seolah tak pernah terjadi apapun semalam. Tapi jiwa mereka telah berubah. Lebih kuat. Lebih berani.
Dan Aisyah berdiri di tengah halaman pondok, memandang langit yang mulai memerah.
“Perang belum berakhir,” bisiknya, “tapi kami tak akan lari.”
Pagi itu, langit Batupute seolah lebih kelabu dari biasanya. Meskipun santri-santri mulai kembali ke rutinitas mereka di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah, namun rasa trauma dan luka belum benar-benar sembuh. Di balik tawa kecil dan lantunan ayat-ayat suci, terselip ketakutan yang belum reda. Aisyah tahu, penyembuhan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Khaerul baru saja kembali dari kantor kepolisian setempat. Ia membawa kabar bahwa penyelidikan terhadap Pak Samad mengarah pada jaringan lebih luas. Beberapa tokoh masyarakat diduga turut terlibat dalam upaya sabotase pondok. Dan di antara nama-nama itu, terdapat satu nama yang mengguncang Aisyah: Haji Malik, donatur lama pondok yang selama ini dikenal murah hati.
“Dia ikut membiayai penculikan itu, Khaerul?” tanya Aisyah dengan napas tertahan.
“Ya. Motifnya... kekuasaan. Ia merasa pondok ini telah menggerus pengaruh adat lama yang sudah turun-temurun dijaga oleh kelompok mereka.”
Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. Dunia seakan terbalik. Sosok-sosok yang dulu berdiri di samping mereka, kini menjadi bayangan yang hendak menghancurkan.
Namun tak ada waktu untuk meratap. Aisyah dan Khaerul mulai menyusun kembali kekuatan pondok. Mereka menggelar musyawarah terbuka dengan masyarakat Batupute. Sebagian warga datang dengan hati yang masih ragu, tapi ada pula yang menangis memeluk Aisyah, menyesali keterlibatan mereka dalam menyebarkan fitnah.
“Maafkan saya, Bu Aisyah. Saya ikut menyebarkan kabar buruk itu... Saya kira benar bahwa ibu membawa ilmu aneh dari luar,” kata seorang ibu paruh baya.
Aisyah memegang tangannya erat. “Yang penting sekarang, kita semua belajar dari kesalahan. Mari perkuat ukhuwah dan bangun kembali kepercayaan.”
Malam itu, setelah pengajian bulanan, seorang santri bernama Sabil berdiri dan menangis tersedu-sedu di depan seluruh hadirin.
“Saya... saya pernah ingin keluar dari pondok karena takut. Tapi saya bermimpi semalam, ada cahaya turun dari langit dan memeluk Ummi Aisyah. Saya percaya ini bukan pondok biasa. Ini rumah cahaya.”
Sontak, suasana menjadi haru. Tangis tak bisa dibendung. Bahkan Guru Tua dari Gowa pun mengusap matanya.
Namun, ketenangan itu lagi-lagi hanya sejenak. Keesokan harinya, mereka menemukan selembar surat di bawah pintu masjid pondok. Tulisan tangan kasar dan penuh ancaman:
> "Cahaya kalian tak akan lama. Pantai Lasonrai belum selesai bicara. Kami belum kalah."
Aisyah menggenggam surat itu dengan tangan gemetar. Pantai Lasonrai... tempat ditemukannya kitab misterius beberapa bulan lalu. Tempat di mana kisah gelap leluhur Mahfudz terungkap. Tempat yang kini kembali disebut.
“Kitab itu... kita belum buka semua halamannya,” gumam Khaerul.
Mereka kembali ke kamar penyimpanan di bawah perpustakaan pondok. Kitab tua itu masih ada, dibungkus kain putih dan wangi cendana. Mereka membukanya perlahan. Dan di antara halaman-halaman terakhir, mereka menemukan peta tua. Jejak yang mengarah ke sebuah gua kecil di tebing Pantai Lasonrai.
“Sepertinya... inilah kunci dari semua misteri,” ujar Aisyah. “Dan mungkin... inilah awal dari babak baru perjuangan kita.”