Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Dari Kian
Bukan sembarang emblem, tetapi lambang Silent Veil, Guild Assassin terbesar yang keberadaannya sulit dilacak.
Emblem itu menampilkan topeng putih yang tersenyum, lambang khas Guild yang terkenal karena membunuh tanpa suara.
Rai menatap emblem itu beberapa detik lebih lama dari seharusnya.
Silent Veil… Juno…
Salah satu pembunuh keluargaku…
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, tapi wajahnya tetap tenang.
Ia menoleh ke arah Rivia yang masih bersandar di bahunya, tampak tidak menyadari bahwa emblemnya baru saja mengungkapkan rahasia besar.
"Rivia…" Rai menekan suaranya agar terdengar biasa saja.
"Hmm?"
"Kau pernah menjadi bagian dari Silent Veil?"
Rivia mengangkat kepala, lalu mengikuti arah pandangan Rai ke emblem yang tergeletak di meja.
"Oh… itu."
Ia mengambil emblem itu dengan santai, lalu memainkannya di jemarinya.
"Aku dulu memang bagian dari mereka," katanya ringan.
"Tapi aku keluar, Silent Veil terlalu… membosankan untukku."
Rai menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Mereka hidup dalam bayangan, tidak ada kebebasan, tidak ada kesenangan. Aku ingin sesuatu yang lebih nyata… lebih kuat, itulah kenapa aku memilih Iron Fang," lanjutnya.
Rai mengangguk pelan.
Dari luar, ekspresinya tampak seperti pria yang tidak terlalu peduli dengan masa lalu kekasihnya.
Namun, di dalam pikirannya, informasi ini terlalu berharga untuk diabaikan.
Juno, targetnya, adalah ketua Silent Veil.
Dan kini ia mengetahui bahwa Rivia pernah menjadi bagian dari mereka.
Mungkin dia tahu lebih banyak tentang Juno…
Namun, untuk saat ini, Rai menyimpannya dalam pikirannya.
"Jadi, kau lebih menyukai Iron Fang daripada dunia assassin?" tanyanya, sekadar menggali lebih jauh.
Rivia tersenyum, meletakkan emblem itu kembali di meja.
"Tentu saja, di sini aku punya segalanya, kekuasaan, kebebasan… dan kau."
Ia meraih wajah Rai dan menciumnya lembut.
"Jangan terlalu memikirkannya, sayang, aku hanya seorang wanita yang mencari kesenangan di dunia ini."
Rai tersenyum tipis, membalas ciumannya.
Namun, jauh di dalam benaknya…
Aku akan mencari tahu lebih banyak tentang ini.
***********************************
Hari itu, Rai baru saja kembali dari misi kecil bersama salah satu anggota Bloodhound Kian ketika seseorang datang menemuinya.
"Kau dipanggil oleh Damar," kata pria itu dengan nada datar.
Rai, yang sedang membersihkan Nightshade-nya, berhenti sejenak.
Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat, Damar akan tertarik padanya.
"Apa alasannya?" tanyanya sambil tetap terlihat santai.
"Dia penasaran," jawab pria itu.
"Bagaimana mungkin seorang Rank E bisa membantai begitu banyak musuh di misi terakhir?"
Rai tersenyum tipis, tepat seperti yang aku harapkan.
Tanpa banyak bicara, ia memasukkan Nightshade ke sarungnya dan mengikuti pria itu menuju ruangan pribadi Damar.
Saat Rai memasuki ruangan, matanya langsung menangkap Rivia, yang duduk di samping Damar dengan ekspresi tenang.
Ia mengenakan pakaian yang lebih formal dari biasanya, tetapi tatapan tajamnya tetap sama.
Damar duduk di singgasana besinya, dengan Great Sword raksasa bersandar di sisinya.
Ketika Rai masuk, Damar tak langsung berbicara.
Sebaliknya, ia menatapnya seolah sedang menilai mangsanya.
Sementara itu, Rivia tetap diam di tempatnya, tetapi matanya tak lepas dari Rai.
Setelah beberapa saat hening, Damar tertawa keras.
"Hahaha! Jadi ini dia bocah yang membuat Bloodhound meliriknya!"
Rivia menghela napas pendek.
"Ya, dia dulu anak buahku."
Rai tetap berdiri tegak, tak menunjukkan perubahan ekspresi.
Damar menaikkan alisnya.
"Oh?"Ia melirik Rivia sejenak, lalu kembali menatap Rai.
"Jadi, kau memungut anak ini sebelum dia dikenal?"
Rivia menyilangkan tangan, suaranya terdengar sedikit lebih tajam.
"Aku melihat potensinya… dan kupikir, dia bisa berguna."
Damar menyeringai, menyadari sesuatu dari nada bicara Rivia.
"Hmm… jadi kau mempercayainya, ya?"
Rivia tidak langsung menjawab sebaliknya, ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menatap Rai dengan pandangan yang sulit ditebak.
Damar mengangguk pelan, lalu kembali menatap Rai.
"Baiklah, bocah," katanya sambil bersandar di kursinya.
"Ceritakan padaku… bagaimana caramu membantai mereka?"
Ruangan menjadi sunyi, semua mata tertuju pada Rai, Ia tetap tenang, lalu menjawab,
"Aku menggunakan strategi."
Damar mengangkat alis.
"Strategi?" Ia terkekeh.
"Kau berbicara seolah perang bisa dimenangkan hanya dengan otak."
Rai menatapnya langsung.
"Jika digunakan dengan benar," suaranya terdengar tenang tetapi tajam.
"Otak bisa membuat seseorang Rank E membantai puluhan orang."
Damar terdiam sesaat.
Lalu, ia tiba-tiba berdiri dan mengangkat Great Sword-nya.
DUARRR!
Pedang besar itu dihantamkan ke lantai, membuat retakan menyebar di bawahnya.
Rivia tak bereaksi, tetapi matanya menajam.
Damar menyeringai.
"Menarik… menarik…"
Ia berjalan mendekati Rai, menepuk pundaknya cukup keras hingga terasa seperti pukulan.
"Kau membuatku tertarik, bocah, aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa berkembang."
Rivia tetap diam, tetapi Rai bisa merasakan matanya mengawasinya dengan cermat.
Damar kembali duduk dan melipat tangannya.
"Mulai sekarang, aku ingin kau bekerja lebih giat, buktikan bahwa kau layak mendapatkan lebih dari sekadar posisi anak bawang di Bloodhound."
Mata Damar bersinar dengan keganasan.
"Jika kau bisa melakukannya… aku sendiri yang akan mengangkatmu menjadi Bloodhound."
Rivia akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih lembut tetapi penuh makna.
"Aku harap kau tidak mengecewakanku, Rai."
Rai menundukkan kepalanya sedikit, memberi hormat dengan tenang.
"Aku akan membuktikannya."
Saat ia berbalik dan berjalan keluar ruangan, ia bisa merasakan tatapan Rivia yang terus mengikutinya.
Sekarang semua kepingan sudah tersusun saatnya menjalankan rencananya.
Rai mengambil Handphone dari jaketnya dan menghubungi seseorang.
"Profesor aku butuh bantuanmu."
***********************************
Malam itu, Rai duduk di tepi ranjangnya, mengasah Nightshade di tangannya.
Di pikirannya, rencananya sudah matang.
Kian akan menjadi rencananya hari ini.
Ia hanya perlu memastikan rencananya benar-benar berhasil, tidak ada kesalahan sama sekali.
Dengan begitu, tidak ada yang akan mencurigainya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintunya.
Rai menyimpan pisaunya dan berjalan ke arah pintu.
Saat dibuka, Kian berdiri di sana dengan senyum santainya.
"Siap untuk misi?" tanyanya, menyilangkan tangan.
Rai mengangguk.
"Tentu."
Mereka berjalan menyusuri koridor, menuju tempat pertemuan dengan anak buah Kian.
Di perjalanan, Kian tiba-tiba tertawa kecil.
"Kau tahu, Rai… aku terus berpikir."
Rai meliriknya sekilas.
"Pikirkan apa?"
Kian menatapnya dengan mata berbinar.
"Rivia."
Rai tetap menjaga ekspresinya tetap netral.
"Oh?"
Kian mengangguk, memasukkan tangannya ke saku.
"Aku sudah menunggu lama… Kau bilang aku bisa mendapatkannya, kan?"
Rai tersenyum kecil.
"Ya… setelah misi ini, aku akan mengadakan pesta untukmu."
Ia menepuk bahu Kian dengan nada meyakinkan.
"Dan Rivia sudah menghangatkan kasur untukmu."
"Benarkah Rai, aku sudah bosan tidur dengan para Hama itu, bahkan kadang aku memakai ibu dan anaknya bersamaan saat bosan."
Rai hanya tersenyum mendengar cerita menjijikan Kian.
Kian tertawa puas, tidak menyadari bahwa kalimat itu adalah janji palsu.
Di mata Rai, Kian bukan hanya penghalang, tetapi juga musuh yang harus disingkirkan.
Dan malam ini, dia akan memastikan Kian tidak pernah bertemu Rivia selamanya.
Mereka berdua terus berjalan ke arah titik pertemuan.