NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:250
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22: KESALAHAN PADA DENAH TANGGA DARURAT

Jalanan itu adalah kuburan mobil.

Rania bergerak seperti hantu di antara mereka, bayangan di dalam bayangan. Gang di belakang restoran Padang itu membawanya ke serangkaian jalan tikus yang dia hafal di luar kepala. Rute-rute ini tidak ada di GPS. Rute-rute ini terukir di ingatannya dari ribuan pengiriman yang membosankan.

Malam itu, rute-rute itu adalah satu-satunya sekutunya.

Udara terasa tebal dan salah. Bau ozon dan debu kuno—bau "Koreksi" yang terjadi lima kilometer jauhnya—terbawa oleh angin malam, menutupi bau sampah dan got yang biasa. Di atas, langit oranye yang sakit-sakitan berdenyut pelan, seperti bara api di bawah abu. Itu adalah satu-satunya sumber cahaya.

Sirene-sirene itu telah menjadi kebisingan latar yang konstan, seperti jangkrik elektronik yang gelisah.

Dia sampai di blok apartemennya.

*Apartemen Taman Pinus.* Nama yang konyol untuk sebuah kotak beton brutalis tahun 80-an yang terjepit di antara toko fotokopi dan bengkel motor.

Dari seberang jalan, bangunan itu tampak normal. Gelap. Hening.

Tapi Rania tahu itu bohong. Dia bisa merasakannya, bahkan melalui kebisuan yang dipaksakan oleh amulet obsidian. Ada *kekosongan* di sekitarnya. Seolah-olah bangunan itu berada di dalam gelembung kedap suara. Tidak ada anjing yang menggonggong. Tidak ada suara TV yang samar-samar dari jendela.

Itu adalah tempat yang *sakit*.

Dia mengamati.

Jalan utama di depan bersih. Terlalu bersih. Tidak ada mobil yang ditinggalkan. Sebuah barikade militer—yang dia dan Reza lihat dari kejauhan—pasti telah memblokir akses ke jalan ini.

Ini adalah zona karantina yang sunyi.

Reza berada dua blok di belakang, di dalam truk, mengamati perimeter luar. Rania sendirian.

Dia tidak membuang waktu. Dia menyelinap ke gang samping yang sempit, tempat sampah-sampah besar milik apartemen berjejer. Di sinilah denah yang dia hafal dimulai.

Tangga darurat eksterior. Pilihan yang jelas, tapi terlalu terbuka.

Pipa pembuangan air hujan. Pilihan yang lebih sulit. Terbuat dari besi tuang, dibaut langsung ke dinding bata. Jaraknya satu setengah meter dari balkon unit 107. Berisiko, tapi tersembunyi.

Dia memilih pipa pembuangan.

Dia melompat, meraih tempat sampah, dan menggunakannya sebagai pijakan untuk meraih sambungan pipa pertama. Kakinya yang bersepatu kebesaran mencari pijakan di braket logam yang menahan pipa itu ke dinding.

Dan dia mulai memanjat.

Dingin. Logam berkarat itu terasa dingin dan basah oleh embun malam, menggigit menembus sarung tangan tanpa jari yang dia temukan di truk.

Setiap gerakan diperhitungkan. Ini adalah masalah arsitektural. Berat. Tegangan. Titik tumpu.

Dia memanjat melewati jendela unit 107. Dapurnya gelap.

Dia naik lebih tinggi. Unit 207. Kamar tidur. Tirainya terbuka. Kosong. Tempat tidurnya masih rapi. Penghuninya lari terburu-buru.

Dia berhenti di lantai tiga untuk mengatur napas. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena pengerahan tenaga. Dia menekan dirinya ke dinding bata yang dingin.

Dari sini, dia bisa melihat ke atas atap-atap ruko.

Dia bisa melihat *Luka* itu.

Cahaya oranye yang berdenyut di kejauhan. Itu bukan api. Api berkelip-kelip. Cahaya ini *stabil*. Itu adalah cahaya dari *geometri* yang salah. Cahaya dari "Denah" yang dipaksakan ke dunia fisik. Dia bisa melihat asap hitam tipis membubung darinya—asap yang bukan berasal dari pembakaran, tapi dari *penghapusan* materi.

Dia merasakan sesuatu. Sebuah kekaguman yang dingin dan analitis terhadap kekuatan yang begitu murni. Begitu absolut.

*...Kamu seperti... Pria Payung itu...*

Suara Reza. Sebuah data yang tidak efisien.

Rania mengabaikannya. Dia terus memanjat.

Saat dia mencapai lantai empat—lantainya—dia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti.

Jendela apartemen tetangganya, Nyonya Tjitro (unit 408), yang biasanya selalu menyala oleh cahaya sinetron... pecah.

Bukan pecah dari luar. Tapi *meledak* ke luar. Kaca-kaca bergerigi mencuat dari bingkai jendela, menunjuk ke jalanan di bawah.

Dan di dinding bata di sekitar jendela... ada noda hitam. Noda seperti oli kental yang dia lihat di langit-langitnya. Cairan hitam itu telah *menyembur* keluar dari jendela Nyonya Tjitro.

Apartemennya tidak hanya "terkontaminasi". Itu adalah *titik nol* dari sebuah ledakan Gema.

Rania menelan ludah. Dia merasakan getaran samar di amuletnya. Bahkan batu obsidian itu bisa merasakan energi mentah yang begitu dekat.

Dia tidak bisa masuk lewat jendelanya. Itu terlalu berbahaya.

Rencana atap adalah satu-satunya jalan.

Dia memanjat melewati lantai empat, terus naik ke kegelapan.

Dia sampai di tepi atap. Dia mengayunkan kakinya ke atas langkan beton, berguling ke permukaan atap yang datar dan berkerikil.

*KRRSSHH...*

Suara kerikil yang bergeser di bawah sepatu botnya terdengar seperti tembakan di malam yang sunyi.

Dia membeku.

Dia berjongkok, menekan dirinya ke langkan, dan mendengarkan.

Hanya suara sirene yang jauh. Dan angin malam yang berbau ozon.

Tidak ada langkah kaki. Tidak ada teriakan.

Dia sendirian.

Dia memindai atap. Sebuah dataran beraspal tar yang menyedihkan. Ventilasi-ventilasi pipa, sebuah unit AC sentral tua yang berkarat, dan di sudut terjauh, tujuannya: pintu servis tangga darurat.

Dia bergerak, membungkuk rendah, melintasi atap.

Setiap langkah adalah penderitaan. Kerikil itu bergeser di bawah kakinya, mengumumkan kehadirannya. Dia merasa terekspos di bawah langit oranye yang sakit-sakitan itu.

Dia merasa *buta*.

Tanpa Gema-nya, dia tidak tahu apakah ada "Pengamat" yang berjongkok di balik unit AC itu. Dia tidak tahu apakah Pria Berpayung lain sedang menunggunya di pintu. Dia hanya punya mata manusiawinya. Dan mata itu tidak cukup.

Dia sampai di pintu.

Persis seperti di *blueprint*. Pintu baja berat. Berkarat. Dan tiga engsel eksternal yang besar.

Dia mengeluarkan pipa rebar-nya. Ini adalah kuncinya.

Dia menyelipkan ujung pipa yang pipih itu ke celah di antara engsel atas dan bingkai pintu. Dia menghela napas, menjejakkan kakinya.

Dia menggunakan seluruh berat badannya sebagai pengungkit.

*KRRRREEEEEEEEE....*

Suara logam berkarat yang dipaksa menyerah. Suara itu melengking, membelah keheningan malam. Rania meringis, giginya bergemeletuk.

*PANG!*

Baut pertama patah.

Dia pindah ke engsel tengah.

*KRRREEEEE.... PANG!*

Engsel kedua lepas.

Dia pindah ke engsel bawah.

*KRRREEEEE.... PANG!*

Pintu itu—sekarang hanya ditahan oleh selot di sisi lain—terkulai miring di bingkainya.

Rania menyimpan rebar-nya. Dia menarik pintu baja yang berat itu ke arahnya. Pintu itu terbuka dengan erangan terakhir, menampakkan kegelapan total dari ruang tangga darurat.

Dia melangkah masuk.

***

**(Interlude: Kepingan Puzzle)**

**Lantai 12, Menara Aeterna (Kantor Bima) - 03.11 DINI HARI**

Bima tidak tidur.

Kantornya adalah sebuah mahakarya desain minimalis yang dingin. Kaca dari lantai ke langit-langit, perabotan hitam yang kaku, dan satu meja marmer hitam raksasa yang kosong, kecuali satu laptop.

Di luar jendela, dia bisa melihat cahaya oranye dari "Koreksi" yang dilakukan Kuno.

Dia tersenyum. "Dasar fanatik yang bodoh," gumamnya.

Kekacauan itu sempurna. Seluruh Ordo Pelestari dan Pembersih kini akan fokus pada "insiden terorisme" itu, memadamkan api. Mereka akan mengabaikan operasi yang tenang dan presisi. Seperti operasinya.

Di layar laptopnya ada enam belas kotak video *live*.

Enam belas kamera tersembunyi beresolusi tinggi yang telah dipasang oleh timnya satu jam setelah "Koreksi" terjadi. Semuanya diarahkan ke satu lokasi: *Apartemen Taman Pinus. Unit 407.*

Timnya telah menyapu bersih tempat itu. Mereka telah mengambil sampel oli hitam, mengukur residu Gema, dan memindai ruangannya.

"Dia tidak di sana, Pak," suara seorang teknisi terdengar dari *speaker*. "Sensor kami di perimeter juga tidak menangkap apa-apa. Mungkin dia 'terkoreksi' bersama kafe itu."

"Tidak," kata Bima, suaranya tenang. "Rania itu... ulet. Seperti kecoak. Dia selamat."

Bima menatap salah satu layar. Kamera yang diarahkan ke meja kerja Rania.

"Perbesar," perintahnya.

Layar itu memperbesar. Meja itu berantakan. Tumpukan buku. Sketsa. Sebuah lampu *Artemide Tizio*.

"Lihat buku-buku itu," kata Bima. "*A Pattern Language*. *The Poetics of Space*. *Neufert*. Dia masih membaca sampah idealis itu."

"Pak, tim Pembersih... sensor kami mendeteksi unit Ordo di dekat sana. Dua blok ke utara. Militer ada di mana-mana. Kita harus menarik tim kita."

"Tarik mereka," kata Bima, matanya tidak pernah meninggalkan layar. "Kalian sudah mendapatkan yang kita butuhkan."

"Hanya... sampel cairan, Pak. Dan beberapa buku. *Hard drive*-nya... tidak ada di laptop. Komputernya..."

"Aku tahu," kata Bima. "Dia membawanya. Dia akan kembali untuk itu. Atau untuk yang lainnya."

Bima bersandar, menautkan jari-jarinya. Dia tidak kecewa. Dia terhibur. Ini adalah permainan catur.

Rival lamanya, Rania, si idealis yang hancur, kini menjadi pemain sungguhan. Dia telah mengaktifkan Gema-nya, membengkokkan sebuah ruangan, dan selamat dari "Koreksi".

Bima tersenyum lagi. "Dia akan datang ke apartemennya. Itu tidak efisien, tapi sangat bisa ditebak. Itu *emosional*. Dia akan kembali ke sarangnya."

"Haruskah kita meninggalkan unit penangkap?"

"Tidak," kata Bima. "Terlalu berisiko. Ordo sedang waspada. Biarkan dia. Biarkan dia mengambil mainan kecilnya. Aku sudah punya apa yang kuinginkan."

Dia melihat ke foto-foto yang telah diunggah timnya. Foto-foto dari jurnal pribadi Rania yang tergeletak di meja. Halaman-halaman yang penuh dengan coretan panik tentang "gema psikologis" dan "resonansi spasial".

"Dia telah melakukan setengah pekerjaanku untukku," gumam Bima. "Biarkan dia lari. Biarkan dia berpikir dia bersembunyi."

Bima menutup laptopnya. Permainan ini jauh lebih menarik daripada yang dia bayangkan.

***

**(Kembali ke Rania)**

**Tangga Darurat Apartemen - 03.15 DINI HARI**

Rania berdiri di kegelapan total ruang tangga darurat.

Dia menutup pintu atap yang rusak di belakangnya. Kegelapan itu kini absolut.

Dia menyalakan senter LED kecil yang dia ambil dari truk. Cahaya putihnya tampak lemah.

Dan baunya...

Bau itu menghantamnya.

Ozon. Debu kuno. Minyak terbakar.

Jauh lebih kuat daripada di luar. Seluruh gedung ini *terkontaminasi*.

Amulet di lehernya bergetar hebat, bekerja lembur untuk meredam Gema yang berteriak-teriak di sekelilingnya.

Dia menyorotkan senternya ke dinding.

Dan dia melihatnya.

Dinding tangga darurat—yang seharusnya dicat krem jelek—kini tertutup *retakan porselen* yang sama dengan yang ada di langit-langitnya. Jaring laba-laba geometris itu menyebar dari atas ke bawah.

Dan di tengah-tengah retakan itu, ada cairan hitam kental yang *mengalir* pelan menuruni dinding, seperti darah arteri yang lambat.

"Ya Tuhan," bisiknya. Suaranya terdengar mati di ruang sempit itu.

Apartemennya tidak hanya "bocor". Apartemennya telah menjadi *sumber* kebocoran. Ledakan di jendela Nyonya Tjitro... itu adalah tekanan Gema yang keluar.

Dia menyorotkan senternya ke bawah. Tangga logam itu licin oleh lapisan tipis minyak hitam.

Dia harus turun.

Lantai enam. Tangga bersih.

Lantai lima. Retakan dimulai.

Lantai empat.

Dia sampai di pintu pendaratan lantai empat. Pintu baja standar bertuliskan "4".

Pintu itu... *melengkung*.

Seolah-olah sesuatu yang sangat panas telah mendorongnya dari sisi lain. Logam itu menonjol ke luar, bingkainya bengkok.

Dan dari bawah pintu, cahaya oranye yang sakit-sakitan—cahaya *Gema*—berdenyut pelan, seperti bara api di bawah pintu.

Amuletnya kini terasa *panas* di dadanya.

Dia tidak lagi "buta". Cahaya di balik pintu itu terlalu kuat. Amulet itu tidak bisa meredamnya sepenuhnya.

Dia bisa merasakannya. Sesuatu di dalam apartemennya.

Sesuatu yang *hidup*.

Dan sesuatu yang menunggunya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!