NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:561
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 - Dia Bukan Manusia

Langit mulai berwarna tembaga ketika rombongan kerajaan Noctis mendekati benteng perbatasan. Matahari condong rendah, memantulkan cahaya merah di dinding batu hitam menjulang, seolah membakar garis pertahanan itu dengan api ilahi.

Zevh memimpin dari depan, duduk tegak di atas kuda hitamnya. Jubah merahnya terayun, bendera kerajaan Noctis berkibar gagah di belakangnya. Setiap prajurit menunduk saat rombongan melintasi gerbang besi raksasa yang perlahan terbuka.

Dari balik tirai kereta, Liora melirik keluar. Matanya menyapu setiap sudut, bibirnya menahan senyum kecil. “Inikah benteng perbatasanmu, suamiku?” batinnya berbisik. Ia ingin melihatnya, berdiri di sisinya, tetapi Zevh tetap menjaga jarak dingin—seakan benteng lebih berhak menerima sapaannya dibanding istrinya sendiri.

Saat roda kereta melewati jalan berbatu dalam benteng, gemuruh sorak prajurit terdengar. Mereka menyambut panglima mereka dengan hormat, pedang terhunus ke udara. Namun tidak ada sorakan untuk Liora, meski ia adalah putri mahkota. Semua mata terpaku pada Zevh, seolah dunia berputar hanya di sekelilingnya.

Liora menghela napas. Jemarinya meremas gaun, menahan rasa yang bercampur: kagum, bangga, tapi juga perih karena ia hanya bayangan di balik tirai.

“Jika kau tak menoleh padaku, Zevh… aku akan membuatmu menoleh.” gumamnya dalam hati, mata hijau zamrudnya menyala dengan tekad.

Di sisi lain, Zevh menatap dinding benteng. Dari sorot matanya, seakan ia tidak melihat kejayaan, melainkan bayangan rapuh—seperti mimpi buruk yang terus menghantui. Penglihatannya tentang air Oxair yang menelan empat wilayah masih segar, dan kini setiap tetes keringat prajurit, setiap sorakan, seolah hanya tirai tipis yang menutupi bencana yang akan datang.

Ia menoleh ke arah kereta, tatapan dinginnya singkat, lalu kembali lurus. Seolah enggan membiarkan siapa pun, bahkan istrinya, masuk ke dalam pikirannya yang resah.

Benteng berdiri gagah. Sorak kemenangan menggema.

Tapi jauh di bawah tanah, di sisi lain dari kerajaan ini—seorang gadis bernama Elara sedang berlari menembus terowongan gelap, menuju cahaya sungai yang berbisik.

Dua dunia itu berjalan sejajar, tanpa sadar, keduanya menapaki jalan menuju takdir yang sama: Oxair.

Saat ini langkah kaki Zevh dan Liora berhenti di Aula Benteng Perbatasan

Lampu-lampu obor menyala terang, bayangan para bangsawan, menteri, dan penasihat kerajaan Noctis terpantul di dinding batu hitam. Aula megah itu penuh, namun udara di dalamnya terasa berat.

Di atas kursi utama, Zevh duduk tegak dengan jubah merahnya yang menjuntai, mata Elysight yang berkilat bagai bara. Di sampingnya, Liora Endless duduk anggun, wajahnya tersenyum ramah namun hatinya bergejolak.

Tiba-tiba Jenderal Ozh maju selangkah, suaranya lantang tapi terukur, seakan ingin menguji batas.

“Yang Mulia, kabar beredar—tawanan Panglima Zevh adalah Elara Elowen, calon istri Pangeran Arons dari Utara. Bagaimana mungkin kerajaan Noctis menahan istri seorang calon musuh? Tidakkah ini akan menjadi pemicu perang lebih cepat dari yang kita perkirakan?”

Gumaman lirih bergema di antara para bangsawan. Beberapa saling menatap, wajah-wajah mereka tegang. Ozh berhasil menanamkan benih ketakutan.

Seorang Menteri dari wilayah barat berdiri, wajahnya pucat.

“Pangeran Zevh… kami harus tahu alasan anda. Apakah ini strategi? Ataukah sebuah risiko? Bagaimana dengan rakyat kami di barat, timur, dan selatan? Apakah mereka tidak akan terseret dalam api balas dendam Pangeran Arons?”

Ruangan makin hening. Semua mata tertuju pada Zevh, menanti jawabannya. Bahkan Liora menahan napas, jemarinya meremas gaun tanpa sadar.

Zevh bangkit perlahan dari kursinya. Suara jubahnya menyapu lantai seakan membawa aura keagungan sekaligus ancaman.

Ia menatap sekeliling, menembus satu persatu wajah para bangsawan yang mulai menunduk.

“Tenanglah, rakyatku.” Suaranya dalam, dingin, namun mengandung kekuatan yang membuat dada setiap orang bergetar.

“Jika ada yang menagih darah… maka aku yang akan maju paling depan. Jika ada yang merampas kekuasaan… aku yang akan lebih dulu melenyapkannya.”

Zevh berhenti sejenak, lalu matanya menajam, kilatan merah Elysight menembus ruangan.

“Aku penguasa di sini. Kalian hanya perlu fokus pada strategi yang telah disusun Zark dan Veron. Jangan terpengaruh ucapan lain. Fokus pada tugasku untuk menjaga rakyat, dan tugaskan diri kalian untuk taat.”

Tatapannya melirik tajam ke arah Jenderal Ozh.

Ozh segera menunduk, namun bibirnya menahan senyum samar—senyum pengkhianat yang yakin rencananya sudah berjalan.

Ruangan yang tadinya tegang kini mulai mereda. Para bangsawan dan menteri mengangguk serempak, lalu menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Tidak ada yang berani membantah Zevh, seakan suara panglimanya adalah hukum itu sendiri.

Di sampingnya, Liora menatap Zevh diam-diam.

“Jadi ini yang ingin kau tunjukkan padaku… kekuasaanmu. Begitu agung, begitu menakutkan.” Batinnya berbisik.

Bibirnya tetap tersenyum anggun, walau hatinya terasa getir.

“Tak apa, Zevh. Lambat laun kau akan terbiasa dengan kehadiranku. Aku bukan bayangan, aku ratumu.”

Jemarinya bergerak hendak menyentuh punggung tangan Zevh di atas meja—

—namun detik berikutnya, Zevh mengangkat tangannya sendiri untuk menyesap teh.

Gelas beradu pelan, dan seluruh pejabat ikut mengangkat gelas, seakan merayakan sirnanya kegelisahan mereka oleh janji sang Panglima.

Liora tersenyum tipis, menyembunyikan rasa kesalnya. Semua sorot mata di ruangan ini bukan untuknya—melainkan hanya untuk Zevh.

Di sisi lain, Ozh masih menunduk. Nafasnya mengalir pelan, menyembunyikan degup kemenangan.

“Sekarang… saat ini, tawananmu akan hilang, Zevh Obscura. Dua pengawal kepercayaanku pasti sudah membawanya. Imbalan dari Arons akan jadi milikku.” batinnya berbisik, bibirnya hampir tak terlihat bergerak.

Namun di kursinya, mata Zevh berkilat merah.

Ia tahu. Ia membaca aura Ozh, kecurangan yang bersembunyi di balik wajah tunduk itu.

Tangannya ingin meraih pedang, ingin menebas leher pengkhianat itu saat ini juga.

Tapi ia tahan.

Zevh tersenyum tipis.

Ia membiarkan permainan ini berjalan, karena ia ingin melihat… sejauh apa Jenderal Ozh berani melawan sang penguasa.

---

Langkah kaki Elara sudah hampir menyentuh mulut lorong pengap itu. Nafasnya tersengal, paru-parunya seperti diperas oleh udara basah yang bercampur bau tanah dan lumut.

"Aku tak suka ada di terowongan ini," gumamnya pelan, menggenggam obor dengan tangan kiri sementara tangan kanan menahan rasa perih di betis yang terus berdarah.

Telinganya bergetar seolah lorong gelap itu berbisik—suara samar, nyaris seperti panggilan dari masa silam. Elara menutup sebelah telinganya rapat, berusaha menepis gema yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Sepuluh langkah terakhir menuju cahaya senja.

Dan akhirnya—

Udara bebas menyambutnya.

Gaun kotornya terseret keluar lorong, ujung kain itu basah oleh tanah becek. Telapak kakinya menjejak rerumputan lembut, dan tepat di sampingnya, sungai Oxair mengalir deras dengan cahaya sore yang meredup, bagai kristal cair yang menyimpan rahasia.

“Air… aku haus sekali…”

Elara segera merunduk, tak peduli luka di kakinya. Ia menenggak air sungai dengan rakus, hingga tetesan dingin membasahi bibir dan dagunya. Tangannya yang gemetar meraup air untuk membasuh luka di telapak kaki.

Lalu—sesuatu terjadi.

Cahaya biru lembut muncul dari pusaran air di sekitarnya. Elara membelalakkan mata.

"Sembuhlah," bisiknya refleks, mengusap luka dengan air itu.

Kulitnya merapat, darah berhenti mengalir, rasa perih sirna. Luka sembuh begitu saja. Elara tertegun, bibirnya perlahan melengkung tipis dalam senyuman. Ia menepuk bahunya—tempat simbol peninggalan ibunya tersembunyi di balik kulit.

"Aku baik-baik saja, Ibu… aku masih bisa melanjutkan ini."

Namun ketenangan itu tak lama.

Dari tengah sungai, pusaran kecil terbentuk. Air berputar, membentuk spiral cahaya biru, lalu bergerak perlahan menghampiri tempat Elara duduk.

“...Apa itu?” bisiknya, menatap tak percaya.

Air itu menyentuh kakinya lembut, lalu naik ke permukaan kulit, menyelubungi tubuhnya. Elara merinding, tapi tak melawan. Tubuhnya seolah dipulihkan sepenuhnya—pegal, lelah, dan rasa sakit hukuman dari pengawal Zevh lenyap seketika.

“Terima kasih… sudah menyembuhkanku,” ucap Elara tulus.

Air itu berputar mengelilinginya, mengambang di udara, lalu meledak menjadi butiran kecil yang memercik indah. Cahaya biru menari dalam kegelapan sore, bagai bintang yang jatuh dari langit.

Namun keheningan itu pecah.

“Hei!”

Suara keras terdengar. Elara tersentak, obornya hampir jatuh.

Dua pengawal muncul dari balik pepohonan, mata mereka terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi.

“Apa-apaan ini…?” salah satu pengawal berbisik, nadanya antara terkejut dan takut. “Kau… kau ini apa sebenarnya?”

Elara berdiri kaku, tubuhnya membeku di tempat. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.

“Jangan-jangan… dia bukan manusia biasa…”

Salah seorang pengawal meraih pedangnya, bilah dingin itu segera diarahkan lurus ke tubuh Elara.

Elara dan kedua pengawal itu saling menatap—sunyi, tegang, seolah waktu berhenti di tepi sungai Oxair.

Dan di balik sorot matanya, Elara tahu—rahasianya sudah terlihat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!