NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MEMELUK KEGAGALAN

Pesan anonim itu melingkari pikiran Kinara seperti jerat. Bukan isi pesannya yang menakutkan—fakta bahwa Rendra akan menggunakan upaya peretasan dataku—tetapi kenyataan bahwa informasi itu bocor. Itu berarti sistem pengawasan Rendra bekerja dengan baik, atau, yang lebih menarik, ada lubang di dalam sistemnya yang dimanfaatkan oleh sekutu tak terduga.

Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia adalah pahlawan anonim yang mencegahku melangkah ke dalam jebakan yang mematikan. Rendra akan menghancurkanku di panggung debat dengan tuduhan ‘peretasan dan sabotase data BEM’, mengubah kritik validku menjadi tindakan kriminal. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Aku kembali ke ruang studi Pak Arka keesokan paginya, sebelum kelas dimulai. Ruangan itu terasa seperti benteng terakhir pemikiran kritis di tengah samudra kepatuhan.

“Pak, kita harus mengubah strategi. Saya tahu Rendra akan menggunakan lebih dari sekadar utang lama Amara,” kataku, langsung ke inti permasalahan.

Pak Arka, yang sedang membaca Nietzsche, mengangkat alisnya. “Serangan baru? Dia pasti sudah melihat betapa efektifnya responsmu terhadap isu karakter.”

“Ya. Dia akan menggunakan klausa anggaran baru BEM, yang sangat teknis, untuk menjebak saya dalam detail birokrasi. Dan yang lebih buruk, dia tahu saya berusaha mengakses data internal BEM. Dia akan menuduh saya mencoba mencuri data untuk memfitnah BEM.”

Pak Arka meletakkan bukunya. Gerakannya lambat, tetapi matanya memancarkan perhitungan yang intens. “Itu pukulan cerdas. Ini bukan lagi tentang apakah kau benar, Amara. Ini tentang apakah kau ‘melanggar aturan’ dalam proses mencari kebenaran. Dalam sistem ini, melanggar aturan, bahkan demi kebaikan, adalah dosa yang tak termaafkan.”

“Saya tahu. Jadi, bagaimana saya bisa membalikkan narasi ini? Bagaimana saya membuat upaya peretasan—yang memang saya lakukan—terlihat seperti tindakan moral, bukan kriminal?” tanyaku.

Pak Arka menyandarkan punggungnya, asap kopi mengepul di antara kami. “Kita kembali ke akar masalah: Integritas versus Transparansi. Rendra akan berteriak tentang integritas formal—integritas hukum dan aturan. Kau harus menuntut integritas moral—integritas kejujuran mutlak.”

“Tapi bagaimana, Pak? Saya tidak bisa berbohong dan mengatakan saya tidak meretas,” ujarku.

“Tentu saja tidak. Kau harus memeluk kegagalan itu, Amara. Seperti yang kita diskusikan kemarin. Kau harus mengubah rasa malu menjadi otoritas moral,” jelas Pak Arka. “Jika Rendra menyerangmu dengan tuduhan peretasan data, kau harus merespons dengan: ‘Ya, saya melakukan apa pun yang diperlukan untuk mendapatkan data yang BEM sembunyikan dari publik. Karena pintu transparansi yang Bapak Rendra banggakan, ternyata dikunci rapat. Bukankah upaya saya untuk membuka kunci itu, justru membuktikan bahwa kritik saya valid? Jika BEM tidak menyembunyikan apa pun, mengapa mereka perlu mengunci data itu sedemikian rupa, sampai saya harus melanggar aturan demi kebenaran?’”

Aku merasakan adrenalin mengalir. Itu bukan hanya respons, itu adalah serangan balik yang mendefinisikan ulang siapa korban dan siapa penjahat sebenarnya.

“Itu berarti saya harus bersiap untuk mengakui semuanya. Utang, kegagalan akademis, hingga upaya peretasan data,” kataku, merenungkan konsekuensi strategisnya.

“Itu adalah harga dari reformasi sejati, Amara. Kau harus membuktikan bahwa kau tidak takut kehilangan apa-apa lagi, karena kau sudah pernah kehilangan segalanya,” kata Pak Arka, suaranya pelan namun penuh makna. “Orang-orang akan melihat Amara yang lama sebagai seseorang yang hancur oleh sistem, dan Amara yang baru sebagai seseorang yang menggunakan puing-puing kehancurannya untuk membangun kebenaran.”

“Tapi bagaimana jika Rendra menuding saya dibayar oleh pihak luar? Dia akan mengaitkan utang saya dengan agenda tersembunyi. Dia akan bilang saya pion Bapak Surya,” aku menanggapi, mencoba mengantisipasi langkah Rendra.

Pak Arka tersenyum tipis. “Kau harus kembali ke fakta. Tidak ada bukti bahwa kau dibayar. Rendra hanya bermain spekulasi. Jawab dia dengan fakta terkeras: 'Jika Bapak Rendra ingin bicara tentang uang, mari kita bicara tentang klausa anggaran BEM yang baru. Klausa itu memungkinkan BEM untuk mengalokasikan dana taktis tanpa persetujuan terbuka dari Senat Mahasiswa. Pertanyaan saya sederhana, Bapak Rendra: mengapa BEM Anda membutuhkan dana taktis yang tidak diawasi? Apakah untuk reformasi, atau untuk menutupi jejak?"

“Serang balik dengan pertanyaan yang tidak bisa dia jawab tanpa membongkar dirinya sendiri,” aku menyimpulkan.

“Tepat sekali. Jadilah cermin yang sangat bersih, Amara. Biarkan Rendra melihat wajah korupnya sendiri di dalam cermin itu,” ujar Pak Arka.

Kami melanjutkan simulasi debat selama sisa hari itu. Pak Arka tidak hanya mengajarkan retorika; dia mengajarkan filosofi di baliknya. Dia membuatku memahami bahwa setiap serangan Rendra adalah manifestasi dari ketakutan sistem—ketakutan bahwa seseorang yang berada di bawah (seperti Amara) bisa mendapatkan suara dan kekuasaan.

“Rendra adalah produk sempurna dari sistem ini,” kata Pak Arka, saat kami jeda. “Dia cerdas, patuh, dan percaya bahwa hierarki adalah keadilan. Dia tidak bisa melihat bahwa kepatuhannya sendiri adalah bentuk perbudakan.”

“Dan saya, yang dulunya pecundang, kini menjadi ancaman karena saya menolak untuk tunduk pada definisi kegagalan mereka,” ujarku.

“Persis. Dan itu membawa kita pada pertanyaan paling krusial, Amara: Setelah kau menang, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak bisa hanya menghancurkan sistem Rendra; kau harus menawarkan alternatif. Apa visi reformasimu?”

Pertanyaan ini menghantamku. Selama ini, aku hanya fokus pada misi bertahan hidup, membersihkan citra, dan menyerang target.

“Visi saya… adalah sistem yang tidak takut pada mahasiswa yang kritis. Sistem yang menganggap IPK 0.9 sebagai panggilan untuk membantu, bukan alasan untuk membuang. Sistem yang mengutamakan empati sosial daripada kepatuhan birokratis,” jawabku, menyadari bahwa ini bukan hanya visi Kinara, tapi juga mimpi Pak Arka.

“Visi yang sangat Sosiologis,” Pak Arka tersenyum. “Gunakan itu di debat, Amara. Jangan hanya menyerang Rendra, tawarkan harapan. Beri tahu mahasiswa lain, terutama yang gagal dan terbuang, bahwa kegagalan mereka bukan titik akhir.”

Malam sebelum debat, aku menyusun kartu argumenku. Setiap poin didasarkan pada strategi 'memeluk kegagalan'. Aku menyertakan poin tentang utang, IPK, dan, yang paling berisiko, upaya peretasan data.

Aku mengirim pesan singkat ke Sistem:

“Sistem, apakah strategi 'Radikal Transparansi' ini akan berhasil, mengingat aku harus mengakui peretasan?”

[KINERJA SISTEM: Analisis Risiko. Risiko hukuman institusional: Tinggi. Potensi keuntungan otoritas moral (Pathos): Maksimal. Probabilitas Kemenangan Debat: Meningkat menjadi 80%. Target 2 (Rendra) tidak siap menghadapi pengakuan terbuka; strateginya bergantung pada rasa malu Anda.]

Aku merasa yakin. Rendra pasti merencanakan kejutan teknis, tetapi dia tidak pernah menduga aku akan menggunakan kejahatanku sendiri sebagai senjata.

Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi. Nomor anonim yang sama.

Pesan kali ini lebih panjang, dan nadanya lebih mendesak:

"Kau benar tentang klausa anggaran BEM. Itu adalah jebakan. Tapi bukan hanya untukmu. Itu adalah cara Rendra untuk mengamankan posisinya di mata SPU dan Serena. Dia tidak tahu dia sedang digunakan. Dia telah mengirim seseorang untuk mengawasi presentasimu, memastikan tidak ada data rahasia yang bocor. Berhati-hatilah dengan perangkat yang kau gunakan di panggung. Pastikan itu bersih."***

Aku membeku. Rendra mengirim mata-mata? Mengawasi presentasiku?

Sistem Koreksi berdering, nada peringatan yang langka.

[PERINGATAN KRITIS: Target 2 (Rendra) telah memasukkan *Malware* ke dalam laptop presentasi yang disediakan panitia debat. Tujuan: Menghapus data Kinara secara real-time saat dipresentasikan, dan menuduh Kinara menggunakan 'data fiktif'.)

Ini bukan hanya serangan retorika; ini adalah sabotase digital langsung! Rendra tidak hanya ingin menang debat; dia ingin menghapus argumenku secara fisik. Dan mata-mata itu, yang memperingatkanku, pasti tahu detail teknis ini—yang semakin menguatkan dugaan bahwa dia berasal dari lingkaran dalam Rendra.

Aku menatap laptop Amara, yang penuh dengan data hasil jerih payahku dan Pak Arka. Jika aku menggunakan laptop ini, aku akan kalah. Jika aku menggunakan laptop lain, Rendra akan menuduhku melanggar aturan teknis debat.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengambil keputusan strategis yang brutal.

Aku tidak akan menggunakan presentasi digital. Aku akan memaksanya kembali ke arena yang paling mendasar: lisan, logika, dan otoritas moral.

Keesokan harinya, auditorium kampus penuh sesak. Udara terasa tebal dengan ketegangan. Rendra berdiri di belakang podiumnya, mengenakan setelan jas BEM yang rapi, tampak tenang, percaya diri, dan sombong—personifikasi sempurna dari kepatuhan yang berkuasa.

Aku, Kinara dalam tubuh Amara, berjalan ke podiumku. Aku hanya membawa satu kartu argumen, sebotol air, dan kepercayaan diri yang dipalsukan dari nol.

Di meja juri, aku melihat dua petinggi administrasi kampus yang sangat dekat dengan Mastermind, dan yang lebih penting, aku melihat Serena, duduk di barisan penonton, tersenyum manis, seperti malaikat yang menantikan kejatuhanku.

Pembawa acara membuka debat, mengumumkan tema: ‘Integritas Mahasiswa dalam Iklim Politik Kampus’.

Rendra mendapatkan giliran pertama untuk pidato pembuka. Dia mulai menyerangku dengan anggun.

“Saudara-saudara mahasiswa, kita bicara tentang integritas. Integritas adalah fondasi. Ketika fondasi itu retak, seluruh bangunan akan runtuh. Kami, di BEM, menjunjung tinggi fondasi ini, dengan bekerja keras, dengan IPK yang membanggakan, dengan catatan finansial yang transparan dan legal,” Rendra menatapku. “Bagaimana mungkin kita mendengarkan kritik dari seseorang yang fondasinya telah runtuh? Bagaimana kita bisa menerima argumen tentang transparansi dari seseorang yang justru merusak transparansi dengan utang pribadi dan tindakan di luar hukum?”

Dia menggunakan utang judi dan IPK 0.9 Amara sebagai palu. Mahasiswa mulai berbisik-bisik.

Kemudian, Rendra melanjutkan dengan pukulan teknis yang disiapkan: “Dan untuk menjawab tuduhan tak berdasar tentang anggaran BEM, kami telah merilis klausa anggaran baru—yang sangat rinci—pada pukul 10 pagi hari ini, yang membuktikan bahwa setiap rupiah dipertanggungjawabkan. Kritik Anda, Saudari Amara, adalah kritik yang tidak terinformasi. Kritik yang terlambat. Kritik yang hanya berdasarkan prasangka.”

Rendra telah menumpahkan semua serangannya, yakin bahwa aku akan terpojok oleh rasa malu dan dibingungkan oleh detail anggaran yang baru dirilis.

Tibalah giliranku.

Aku berjalan ke tengah podium, membiarkan keheningan merayap. Aku menatap mata Rendra, yang tampak puas diri. Lalu, aku menatap Serena, yang tatapannya tajam, mencari kelemahan. Terakhir, aku menatap audiens.

“Bapak Rendra yang terhormat, juri, dan rekan-rekan mahasiswa,” aku memulai, suaraku tenang, tetapi memegang otoritas yang tidak pernah dimiliki Amara.

“Anda benar. Fondasi saya telah runtuh. Amara pernah menjadi pecundang. Amara pernah berutang. Amara memiliki IPK 0.9. Saya tidak akan meminta maaf untuk masa lalu Amara, karena masa lalu itu adalah bukti nyata: bahwa sistem ini gagal,” kataku, memeluk kegagalan itu.

Aku melihat Rendra sedikit tersentak. Dia tidak menduga aku akan mengakuinya dengan bangga.

“Tapi mari kita bicara tentang klausa anggaran yang baru dirilis, Bapak Rendra. Klausa yang sangat rinci, yang tiba-tiba muncul di hadapan publik hanya beberapa jam sebelum debat ini. Ini bukan transparansi, Bapak Rendra. Ini adalah respons panik terhadap ancaman. Transparansi sejati adalah membiarkan mahasiswa mengakses data sebelum mereka harus menuntutnya di podium debat,” aku menyerang balik.

Aku mencondongkan tubuh ke depan, mengabaikan kartu argumen yang kubawa.

“Anda menuduh saya tidak memiliki integritas karena tindakan saya di luar hukum. Baik. Saya tidak akan bersembunyi. Untuk mendapatkan kebenaran tentang anggaran yang Bapak sembunyikan—ya, saya mencoba mengakses data internal BEM. Saya melanggar aturan,” aku mengakui dengan suara keras. Auditorium hening. Serena menyipitkan mata, terkejut.

“Saya melanggar aturan, karena aturan yang Anda buat, Bapak Rendra, dirancang untuk melindungi kebohongan Anda. Jadi, saya berdiri di sini, mengakui kegagalan dan pelanggaran saya, sebagai seorang korban yang bangkit. Sekarang, giliran Anda. Saya sudah membayar utang saya dan mengakui kesalahan saya. Pertanyaan saya: Kapan Anda akan membayar utang transparansi Anda kepada mahasiswa, dan mengakui bahwa sistem Anda tidak hanya gagal, tetapi juga korup?”

Wajah Rendra pucat. Dia kehilangan kendali atas narasi. Dia tidak bisa lagi menyerang karakterku karena aku telah mengubah karakterku dari aib menjadi senjata.

“Saudari Amara, Anda mengakui tindakan kriminal di depan umum! Ini adalah pengakuan bahwa Anda tidak layak berada di forum ini!” Rendra mencoba berteriak, kembali ke retorika formalnya.

“Terserah Anda dan juri untuk menilainya,” aku membalas tenang. “Saya memilih untuk jujur. Sekarang, jika Anda menuntut saya untuk transparan, saya juga menuntut BEM untuk transparan. Di mana data real-time, Bapak Rendra? Mengapa BEM Anda masih menggunakan sistem ranking yang diskriminatif, yang merayakan kepatuhan buta seperti Anda, dan membuang potensi seperti saya?”

Rendra terengah-engah. Dia melirik ke sisi panggung, di mana laptop presentasinya sudah disiapkan, menunggu dia untuk menekan tombol 'Play' dan memicu serangan malware. Dia ingin menunjukkan data yang tidak sinkron denganku, namun aku tidak memberinya data digital untuk diserang. Aku hanya memberinya kata-kata yang mematikan.

Jeda skor menunjukkan bahwa aku unggul tipis, tetapi Rendra masih memiliki satu serangan pamungkas yang harus dia mainkan untuk menghancurkan kepercayaanku. Dia harus menyerang di tempat aku paling rentan—di mata audiens.

“Amara, Anda menuduh saya korup, tetapi Anda hanya memberikan retorika emosional. Mana buktinya? Mana data yang Anda curi? Jika Anda reformator, tunjukkan buktinya sekarang!” Rendra menantang, menyadari bahwa Kinara tidak membawa presentasi digital.

Ini adalah jebakan terakhir Rendra. Dia ingin aku mencoba mempresentasikan data yang sudah dia sabotase. Jika aku mengalah, aku kalah debat. Jika aku mencoba mempresentasikannya, dataku akan terhapus, dan aku akan dituduh berbohong.

Aku tersenyum tipis. “Bapak Rendra, bukti itu tidak ada di layar digital yang bisa Anda hapus. Bukti itu ada di antara kita.”

Aku menunjuk ke arah Serena di barisan penonton. Wajah Serena yang tadinya manis, kini mengeras, menyadari bahwa aku akan mengaitkannya dengan jaringan yang lebih besar.

“Rendra, Anda hanya pion. Musuh sejati kami, musuh dari integritas sejati, adalah sistem yang menciptakan ‘mahasiswa ideal’ dan membuang yang lainnya. Sistem yang dikelola oleh seseorang yang paling diuntungkan dari kegagalan mahasiswa lain. Seseorang yang tahu persis bagaimana menghancurkan kehidupan Amara. Dan dia duduk di sana, di antara penonton.”

Aku menunjuk Serena lagi, secara terbuka. Serena tersentak, tatapannya beralih dari kaget menjadi marah total.

“Dan untuk bukti digital yang Anda tuntut, Bapak Rendra. Saya tidak perlu presentasi. Karena data itu sudah ada di tangan orang yang paling saya percayai, dan sebentar lagi, data itu akan menjangkau seluruh kampus, bahkan tanpa persetujuan BEM Anda!”

Saat aku mengatakan itu, ponsel semua mahasiswa di auditorium bergetar bersamaan. Mereka mulai mengecek layar ponsel mereka dengan kebingungan. Sistem Koreksi tersenyum dalam hatiku: Misi tersembunyi telah diaktifkan.

[KINERJA SISTEM: Misi Terselesaikan. Data BEM yang dicuri/diamankan oleh Kinara telah dikirim ke Jurnalis Mahasiswa Dimas (Target 3) dan siap dipublikasikan.]

Rendra melirik ponselnya, dan matanya melebar horor. Di layar ponselnya, terpampang judul berita kampus yang baru muncul, hasil kerja samaku dengan Dimas:

EKSKLUSIF: Anggaran Taktis BEM: Bukti Penggelapan Dana Mahasiswa Terselubung.

Rendra menoleh padaku. Bukan lagi kemarahan politisi, tapi rasa dikhianati. Dia menyadari, saat itu juga, bahwa dia telah kalah di panggungnya sendiri. Dia menyadari, dia bukan hanya kalah debat; dia baru saja dikorbankan oleh sistem yang dia bela mati-matian.

“Kau… kau menggunakan media?” bisik Rendra, suaranya hampir tidak terdengar.

“Saya menggunakan transparansi sejati, Bapak Rendra,” balasku, sambil menahan senyum kemenangan. “Debat ini berakhir, tetapi perang melawan sistem baru saja dimulai.”

Serena berdiri dari tempat duduknya. Dia tidak lagi tersenyum. Dia berjalan cepat menuju pintu keluar, tetapi sebelum mencapai pintu, dia menoleh, dan tatapannya penuh kebencian murni. Dia tahu aku sudah melangkah jauh melampaui batas yang diizinkan sistem. Rendra, kini sendirian dan hancur, menatapku, tatapannya kini berubah: dari rival menjadi potensi sekutu yang baru saja tersadarkan.

Aku telah memenangkan debat, tetapi kini, aku sendirian di panggung, menghadapi dua target: Serena yang marah, dan Rendra yang terkejut. Siapa yang akan menyerangku duluan?

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!