Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Rumah Ryan
Sampai dilokasi yang katanya rumah Ryan, Rania tidak bisa menahan rasa terkejutnya melihat kondisi rumah dihadapannya. Entah masih pantas disebut sebagai rumah atau tidak, Rania tidak tahu.
"Santai saja lihatnya. Aku tahu kok kalau rumahku tidak layak dihuni."
Rania menoleh ke samping, kemudian mendongak guna melihat sang pemilik rumah. "Apa sesekali rumah ini masih kamu huni?"
Mengangkat bahunya acuh. "Saat akan mengambil baju ganti, maybe?"
Mulut Rania menganga mendengar hal itu. Yang benar saja! Jadi rumah ini jarang ditinggali, dong? Bisa saja berhantu, 'kan?
"Tidak ada hantu disini. Kalaupun ada, hantu itu adalah aku sendiri. Sudahlah! Aku ingin masuk ke dalam. Kau, ingin ikut atau tidak, terserah!"
Memberengut kesal mendengarnya. Pria itu juga langsung melangkah pergi tanpa memperdulikan dirinya.
"Kau sangat tidak peka!"
Ryan reflek menghentikan langkah, tak lama terdengar helaan napas sebelum akhirnya ia kembali memutar tubuh ke arah Rania. "Apa lagi?"
"Apa tidak ada inisiatif dalam dirimu untuk membawa semua tas itu? Aku sedang hamil! Tidak boleh membawa barang berat!"
"Kau ini cerewet sekali. Terus saja bayi itu dijadikan kerudung untuk kepentingan dirimu sendiri."
"Aku tidak! Kalau tidak percaya, tanya saja pada ibumu."
Wajah Ryan sedikit berubah usai mendengar kalimat terakhir Rania. Tanpa sepatah kata, ia berjalan menuju bagasi dan mengambil semua barang-barang milik Rania.
Saat akan melewati Rania, pria itu menghentikan langkah tepat disamping, lalu berkata. "Aku tidak memiliki ibu kalau kau ingin tahu. Jadi, mulai sekarang jangan mengungkitnya di depanku, atau kau akan tahu akibatnya," Kemudian melanjutkan langkah setelah kalimat itu berakhir.
Mendengar kalimat bernada peringatan, Rania terdiam dengan rasa herannya sampai dua bulu alisnya menukik tanpa sadar.
"Apa dia sudah tidak memiliki ibu? Atau mungkin sebenarnya dia yatim piatu?"
"Daripada terus menebak-nebak tentang hidupku, lebih baik kau segera masuk ke dalam rumah. Di jam-jam ini akan ada orang gila yang berkeliaran disini."
Maniknya melebar. Batinnya, kenapa pria itu terus tahu semua hal yang sedang ia pikirkan, sih? Apa mungkin diam-diam dia memiliki profesi sampingan menjadi dukun? Lihat saja rumahnya sampai seperti sarang setan.
"Jika tidak mau masuk, lebih baik aku kunci saja pintunya."
Untuk ancaman kali ini, Rania sedikit takut. Ia langsung membawa langkahnya masuk ke dalam rumah meskipun ada rasa khawatir dalam batinnya. Takut ada ular atau serangga lainnya.
...----------------...
Baru kali ini Rania merasa lelah setelah bangun tidur. Bukan masalah kasur, melainkan rasa takut dalam diri Rania sendiri. Jujur saja, ia paling takut pada serangga dan teman-teman, hal itu pula yang menyebabkan Rania tidak bisa tidur dengan nyenyak.
"Kau kenapa? Apakah tidurmu kurang nyenyak semalam?" Menyeruput kopi susu yang masih mengepul panas, dengan santai.
Rania mendengus sambil menyingkirkan selimut yang masih menutupi setengah tubuh. "Menurutmu saja."
Dahinya mengerut tipis. "Menurutku? Biasa saja. Kasurnya empuk dan nyaman. Kau saja yang berlebihan."
Setelah kalimat itu berakhir, sang empu berlalu meninggalkan tempat begitu saja bersama secangkir kopi hangat, membuat Rania menggerutu dalam keadaan membereskan tempat tidur.
Ngomong-ngomong, mereka tidur dalam satu ranjang dan satu selimut. Tidak ada perdebatan karena hal ini, mereka sama-sama bersikap santai.
Selesai membereskan tempat tidur, Rania membawa langkahnya keluar kamar dengan tangan bergerak cekatan menyanggul rambut.
Tangannya berkacak pinggang seraya memperhatikan ruangan yang sangat berantakan ini. Sampai bingung ingin mulai darimana dulu.
Melihat ada sapu lidi dipojok ruangan, ia memutuskan untuk membereskan halaman rumah terlebih dahulu. Toh, yang paling banyak terlihat oleh orang lewat itu halaman rumah, 'kan? Jadi sebaiknya mulai dari sana saja.
"Untuk apa kamu membawa sapu?" Ryan yang sedang duduk diteras rumah pun mengerutkan dahi.
"Memangnya sapu lidi fungsinya untuk apa?"
"Entah. Mungkin untuk pajangan saja."
Sudut bibir atasnya naik, memasang wajah julid. "Pantas saja rumahmu seperti sarang hantu."
"Ya, dan kau adalah salah satunya sekarang."
Rania memutar bola matanya malas dan berjalan menuju pojok halaman, lalu mulai menyapu dari sana.
Gerakannya begitu lambat Ryan lihat. Sesekali istrinya akan berhenti untuk mengusap keringat, atau mengusap perut bawahnya. Lama-lama Ryan merasa kasihan juga melihat Rania berusaha membersihkan rumah.
Ryan merogoh ponsel disaku celana. Menyalakan ponsel dengan tujuan membuka ruang pesan dengan teman-temannya.
[Ryan: Kalian semua datang ke rumahku sekarang. Bantu aku membereskan rumah, dan tolong beli sabun pel berserta alat kebersihan diwarung. Nanti aku akan mengganti uangnya.]
Tanpa menunggu balasan, ponsel langsung masuk kembali ke dalam kantong. Ryan tahu kalau tiga temannya pasti akan datang berserta barang pesanannya. Terbukti kurang dari setengah jam, teman-temannya datang bersama pesanan Ryan.
"Tolong tetap ganti uangku, bos! Ternyata sabun dan lain-lain memerlukan uang yang berwarna merah."
Ryan mendengus. "Tentu, nanti aku akan menggantinya. Lebih baik sekarang kalian membantu perempuan itu membersihkan rumah. Ku lihat sudah setengah jam dia menyapu halaman, tapi tidak selesai-selesai juga."
Sontak saja tiga pasang mata tertuju pada Rania yang sedang menyapu halaman. Tak lama, manik mereka bergulir pada Ryan lagi.
"Bos, kau gila? Dia sedang hamil muda dan kau biarkan menyapu halaman seluas ini?" Diki geleng-geleng kepala melihat sikap santai temannya.
"Aku tidak menyuruhnya, dia yang berinisiatif sendiri."
"Ya tetap saja kasihan!"
Menatap tiga temannya. "Maka dari itu aku memanggil kalian datang ke sini untuk membantu."
"Dan bos? Hanya duduk saja sambil mengatur?"
"Mulutmu ini! Aku juga akan membantu, tapi nanti setelah menghabiskan kopi."
Tiga orang didepan Ryan mengangguk-angguk. Lalu, mereka saling menatap untuk berunding.
"Baiklah. Aku akan membantu Rania membersihkan halaman rumah, kalian berdua bersihkan belakang dan bagian dalam rumah. Kalau sudah selesai, aku akan membantu kalian."
Jati dan Diki mengangguk setuju atas perintah Onad. Mereka segera berjalan menjauh dan mulai bersih-bersih. Sedangkan Jati, ia berjalan mendekati Rania.
"Berikan padaku sapunya, biar aku yang melanjutkannya. Kau duduk dan istirahat saja."
Rania mengangkat wajah dan menegakkan tubuhnya. Ia berkedip pelan saat melihat Jati berdiri dihadapannya. "Ah, tidak apa-apa, aku—,"
"Bos yang menyuruh kami datang untuk membantu kalian membersihkan rumah. Jadi, cepat berikan sapu itu padaku!"
Rania reflek melempar sapu ditangannya saat Jati berteriak, menjerit seperti perempuan secara tiba-tiba. Lantas Rania berlari ke arah Ryan dan mendudukkan dirinya disamping pria itu.
Ryan tertawa. "Kau takut pada Jati?"
"Ha? Tidak. Aku hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba saja dia berteriak."
"Kau jangan salah paham. Dia memang terkadang seperti itu, tapi dia tetap normal. Mengeluarkan suara seperti itu hanya untuk main-main saja."
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....