NovelToon NovelToon
Menikahi Cucu Diktator

Menikahi Cucu Diktator

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Percintaan Konglomerat / Trauma masa lalu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.

Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.

Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.

Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.

Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.

Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Matahari Bali menembus celah tirai linen dengan lembut, membawa serta hawa lembap dan bau asin dari laut. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 07.11 pagi. Suasana kamar sunyi. Tidak ada suara selain deru AC pelan dan napas yang tertahan-tahan.

Lily perlahan membuka mata.

Kepalanya terasa sedikit berat. Tubuhnya masih berbaring setengah menyamping di atas ranjang king-size yang kini acak-acakan. Selimut bergulung di bawah kakinya, rambutnya kusut, dan kulitnya—lekat dengan bekas semalam.

Ia menoleh ke sisi lain tempat tidur.

Kosong.

Andre tidak ada.

Sepi itu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang, menarik seprai untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang. Pundaknya terasa berat, perutnya sedikit kram. Tapi lebih dari itu, ada rasa asing yang menjalari dadanya.

Apa yang terjadi semalam… nyata?

Ia meraba dadanya, lalu melihat ke arah lantai—pakaian mereka berceceran. Bekas ciuman masih tersisa di kulitnya. Goresan-goresan kecil di leher, tanda-tanda bercinta yang terlalu liar dan emosional.

Lily menarik napas dalam.

Lalu berdiri, memungut bajunya satu per satu, dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Di bawah shower hangat, ingatannya berputar cepat. Sentuhan tangan Andre. Cara pria itu memanggil namanya dengan parau. Suara kasur, napas, desahan, dan tatapan mata yang seolah menelanjanginya jauh lebih dalam dari sekadar fisik.

Dan… perasaan yang muncul setelah itu.

Bukan sekadar puas.

Bukan sekadar gairah.

Tapi rasa takut.

Lily tahu dirinya tidak sedang mabuk.

Ia sadar benar. Ia tahu apa yang ia lakukan.

Dan ia memilih itu. Memilih Andre. Bukan karena ia suaminya, tapi karena ia ingin merasa… diinginkan. Dicintai.

Namun di balik semua itu, ada bayang-bayang yang terus membuntuti pikirannya:

Bagaimana jika Andre tidak merasakan hal yang sama?

Bagaimana jika semua yang terjadi hanyalah pelampiasan dari luka dan tekanan mereka selama ini?

...****************...

Sementara itu: Andre

Andre duduk di balkon kamar, hanya mengenakan celana panjang santai dan kemeja tipis yang dibiarkan terbuka. Cangkir kopi di tangan, masih penuh. Ia belum menyesapnya. Matanya menatap kosong ke laut lepas di kejauhan.

Hatinya masih gaduh.

Semalam terasa seperti mimpi. Tapi tubuhnya—penuh dengan bekas Lily—tidak bisa bohong. Setiap sentuhan, ciuman, dan erangan masih membekas dalam daging dan darahnya.

Namun pagi ini… ia justru merasa asing pada dirinya sendiri.

Kenapa ia membiarkan semua terjadi?

Apakah karena cinta? Atau sekadar pelarian?

Andre menyesap kopinya perlahan, lalu memejamkan mata.

Wajah Lily kembali terbayang. Saat menangis di depan rumah. Saat berkata, “Aku takut kehilangan kamu.”

Itu bukan sekadar kata. Itu adalah permohonan. Dan ia… menjawabnya.

Tapi tetap saja, keraguan dalam dirinya belum sepenuhnya pergi. Ia tidak pernah punya pengalaman dicintai dengan tulus. Bahkan dari ibu kandungnya, yang telah meninggal sejak ia kecil. Dari ayahnya, ia hanya mendapat tekanan dan penghinaan. Dari keluarga tirinya, ia hanya mendapat cemoohan.

Apakah Lily benar-benar mencintainya?

Atau hanya bingung karena semua orang tak pernah peduli padanya?

Ponselnya bergetar.

Satu notifikasi rapat dari tim acara HPMKI siang nanti. Ia harus bersiap. Presentasi penting. Salah satu momen penentu kariernya.

Tapi sekarang? Ia bahkan tidak yakin ingin meninggalkan hotel.

...****************...

Kembali ke Lily

Setelah selesai mandi dan mengenakan gaun putih santai dari koper, Lily keluar dari kamarnya dan melangkah menuju balkon kamar Andre. Ia tahu mereka butuh bicara. Setidaknya, untuk tidak membiarkan keheningan ini menyiksa lebih lama.

Pintu kamar Andre tidak dikunci.

Saat masuk, ia melihat Andre duduk di balkon.

Membelakanginya.

Lily berdiri di ambang pintu balkon kamar Andre, menatap pria itu yang duduk dengan pandangan kosong ke laut. Cahaya pagi menyorot lembut ke tubuhnya yang hanya berbalut kemeja tipis. Dadanya naik-turun pelan, seperti sedang menimbang ribuan beban yang belum sempat dituliskan.

“Pagi,” ucap Lily akhirnya.

Andre menoleh cepat. Wajahnya sedikit kaget, tapi tidak kaku. Justru, ada sesuatu yang melunak di sana. Ia menatap Lily seperti menatap seseorang yang baru saja ia lepas semalam, dan pagi ini kembali dengan bentuk yang sedikit berbeda.

“Pagi juga,” balasnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.

Lily melangkah masuk ke balkon, menarik kursi di seberang meja kecil tempat Andre duduk, lalu duduk di sana. Jari-jarinya menyentuh tepian gelas kopi yang belum sempat disentuh Andre.

Mereka diam cukup lama. Hanya suara debur ombak dan desir angin laut yang mengisi ruang di antara mereka.

“Aku…” Lily membuka suara, tapi tak langsung melanjutkan. Ia menarik napas, lalu berkata, “Aku gak tahu harus bersikap seperti apa pagi ini.”

Andre menunduk sedikit, mengangguk kecil. “Aku juga. Aku… gak nyangka semuanya bakal… sejauh itu.”

Lily tersenyum tipis. “Kita udah terlalu banyak menyimpan. Terlalu banyak pura-pura.”

Andre menatapnya. “Dan terlalu banyak takut.”

Lily menoleh. Tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, tanpa rasa canggung. Hanya ada kejujuran yang mulai tumbuh di dalam ketakutan mereka.

“Aku takut kehilangan kamu,” ucap Lily pelan. “Tapi lebih dari itu, aku takut kalau semuanya ini cuma… salah langkah.”

Andre bersandar ke kursi. Matanya lelah tapi jujur. “Aku takut kalau aku bukan laki-laki yang bisa kamu banggakan.”

Lily tertawa kecil. “Kamu mikirnya terlalu rumit. Kamu nggak perlu sempurna, Andre.”

“Dan kamu juga gak harus selalu kuat, Lil.”

Panggilan itu—“Lil”—membuat Lily menunduk dan tersenyum. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dada mereka. Tidak besar. Tapi cukup untuk mengisi ruang kosong yang sempat dingin selama berbulan-bulan.

Andre menatapnya lebih dalam. “Kita mau gimana sekarang?”

Lily diam sebentar. Lalu berdiri. Ia menatap Andre dengan tatapan serius tapi hangat.

“Berikan aku kunci kamarmu.”

Andre mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Aku akan minta resepsionis menyatukan dua kamar kita jadi satu suite. Aku capek tidur sendiri.”

Andre mengangkat alis. “Yakin? Setelah semalam?”

Lily mengangguk, menyodorkan tangan. “Yakin. Tapi jangan salah paham. Ini bukan soal semalam.”

Andre menatap tangan itu beberapa detik, lalu mengambil kunci dari saku celananya dan meletakkannya di telapak Lily.

Lily tersenyum. “Ini tentang… akhirnya mau mencoba. Bukan karena terpaksa. Tapi karena memang mau.”

Andre tersenyum kecil. “Kamar kita nomor 304 dan 305. Mungkin takdir sudah mengisyaratkan.”

Lily membalik badan dan berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar dan berkata lembut,

“Aku akan balik lagi… ke kamar kita.”

Untuk pertama kalinya, kata kita terdengar begitu… benar.

Andre bersandar ke kursinya, memejamkan mata sejenak. Mungkin, ini bukan sekadar liburan atau pelarian.

Cliffhanger: Sebuah Ketukan

Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, suara ketukan di pintu terdengar dari arah depan kamar.

Andre berdiri, berjalan ke dalam dan membukakan pintu.

Seorang bellboy berdiri di sana, menyerahkan sebuah map cokelat tebal bertuliskan:

“URGENT: LAPORAN INVESTIGASI KEUANGAN PROYEK CILEDUG CITY”

Andre mengernyit, membukanya di tempat. Lembar pertama langsung membuat napasnya tercekat.

“Pak Andre, kami menemukan indikasi penipuan pajak dan pengalihan dana besar-besaran dari rekening perusahaan proyek,” ujar bellboy yang ternyata adalah utusan tim audit.

Andre hanya menatap kertas itu. Satu nama terpampang di bagian bawah.

“Irwan Santosa.”

Partner bisnisnya sendiri.

Lily muncul di belakang Andre, membaca sepintas dokumen itu. Ia menatap Andre dengan khawatir.

“Kamu butuh aku bantu baca laporan ini?”

Andre menoleh. Mata mereka bertemu.

Untuk pertama kalinya, Andre mengangguk tanpa ragu. “Iya… aku butuh kamu.”

1
Yulia Dhanty
menarik
Wirda Wati
👏👏👏
Wirda Wati
ceritamu sebenarnya kereeen thor.penuh bahasa majas...
Wirda Wati
👍👍👍💪
Wirda Wati
Rumit
Wirda Wati
😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😇😇😇😇👏
Wirda Wati
Jangan bego Lo Andre...
Wirda Wati
tentu Andre bertanggung jawab.karena ia pria yg baik.
Ari Arie
kata2nya puitis banget./CoolGuy/
Wirda Wati
kapan dekatnya
Wirda Wati
makin lama makin asyik bacanya
Wirda Wati
kereeen
Wirda Wati
semoga mrk bahagia.
Wirda Wati
👍👍👍
Wirda Wati
mampir
Ana Rusliana
Luar biasa
Tictac stick
baru nemu thor bagus ceritanya g menye2
R Melda
menyimak,aku suka
Suci Dava
nyimak dulu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!