"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Keributan Kecil Di Pagi Hari
Udara pagi di perkemahan pegunungan menggigit seperti pisau tipis yang mengiris pelan kulit. Kabut masih menggantung rendah, menyelimuti tenda-tenda dan pohon pinus di sekeliling pos. Cakra membuka matanya perlahan, meraih jam di pergelangan tangannya—masih pukul lima lebih sedikit. Sunyi. Hanya suara serangga dan dentingan embun yang jatuh dari atap tenda ke tanah lembap.
Dengan gerakan malas, ia duduk, lalu melepas jaket lapisan luarnya. Ia hanya mengenakan kaos dalam berwarna hitam dan celana tempur lusuh. Udara dingin langsung menyergap kulitnya, membuatnya menggigil sebentar. Sambil membawa handuk dan kantong perlengkapan mandi, ia melangkah menuju kamar mandi umum di sisi timur pos. Jalannya malas dan pelan, sesekali menguap lebar.
Sesampainya di depan pancuran, ia membuka tas kecilnya dan mulai mengeluarkan perlengkapan. Handuk? Ada. Sikat gigi? Ada. Pasta? Ada juga. “Waduh… sabunnya ketinggalan di rumah…” gumamnya pelan. Ia menatap kosong ke dalam tas, seolah berharap sabun cairnya tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia menarik napas panjang. “Ya udah, nggak ada pilihan,” ujarnya lagi, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan langkah berat dan kepala sedikit tertunduk, ia kembali menuju tenda medis tempat satu-satunya orang yang bisa ia harapkan dalam urusan ini.
Dengan rambut masih acak-acakan dan wajah sedikit canggung, Cakra melangkah ke arah tenda medis. Handuk tersampir di lehernya, dan udara dingin membuat lengannya yang hanya tertutup kaos tipis merinding. Langkahnya pelan, ragu-ragu, seperti anak kecil yang lupa bawa PR dan harus minta bantuan. Ia berhenti di depan tenda yang nyaris sunyi. Ketukannya pelan. “Dek,” panggilnya nyaris berbisik, “ada sabun mandi nggak? Abang lupa…” Beberapa detik kemudian, kain tenda tersingkap sedikit. Muncullah wajah Shifa, setengah bangun, rambutnya dikuncir seadanya. Matanya masih sembab karena bangun tidur, tapi begitu melihat Cakra berdiri di luar dengan tampang pasrah dan hanya mengenakan kaos dalam tipis, ia langsung menghela napas panjang.
“Bang…” ucapnya sambil memijat pelipis, “kok bisa lupa sih? Harusnya dicek dulu sebelum ke sini. Masa hal sepele kayak gini aja kelupaan?” Cakra hanya menyengir, ekspresinya seperti bocah yang ketahuan mencuri kue. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe… iya… lupa.” Shifa mendesah, masuk sebentar ke dalam, lalu keluar kembali dengan sabun cair kecil di tangannya. “Tuh, pake. Sama sabun muka kalau perlu.”
Ia menyerahkan perlengkapan itu dengan wajah separuh cemberut. Cakra menerimanya sambil nyengir lebih lebar. “Tau gini Shifa bawa lebih. Abang hal sekecil ini aja bisa lupa,” gumam Shifa sambil menutup tenda perlahan. Cakra cepat-cepat mencolek dagunya dengan gemas. “Iyaa maaff yaa... jangan cemberut gitu dong. Nanti cantiknya hilang.” Wajah Shifa langsung memerah. Dengan cepat ia menarik kembali tenda dan menutupnya rapat, tak ingin Cakra melihat pipinya yang bersemu. Dari dalam terdengar suara lirihnya, “Cepet mandi, bang... dingin tau...” Cakra tertawa pelan dan segera berbalik menuju kamar mandi, semangatnya entah kenapa mendadak pulih kembali.
Usai mandi, Cakra kembali ke tenda dengan langkah cepat. Tubuhnya kini terbalut seragam lengkap, sepatu sudah terikat rapi, dan senjata tergantung di sisi pinggang. Raut wajahnya sudah lebih segar, meski ada satu tugas kecil yang belum ia tuntaskan: mengembalikan sabun Shifa.
Ia melangkah ke tenda medis sambil membawa sabun dan sabun muka dalam satu kantong kecil. Begitu masuk, Shifa sudah menunggunya di dalam, masih sibuk membereskan perlengkapan medis. “Nih, sabunnya,” ujar Cakra pendek. Namun Shifa tak langsung mengambil. Ia malah bersedekap dan menatapnya tajam. “Makanya bang, kalau mau kemanapun itu dicek dulu barang-barangnya. Masa sabun aja bisa lupa? Kalau gini kan shifa juga ikut repot,” cerocosnya.
Cakra menunduk dalam-dalam, ekspresinya seperti anak kecil yang baru saja dimarahi gurunya. “Iya, iya… salah abang,” katanya pelan sambil menyodorkan sabun itu, tak berani menatap mata Shifa. Beberapa prajurit yang melintas di sekitar tenda medis tak sengaja melihat adegan itu. Mereka hanya bisa bertukar pandang diam-diam, menahan senyum. Salah satu dari mereka berbisik ke temannya, “Wih, komandan kita diomelin, bro. Pawangnya galak juga ya...”
Setelah misi kecil itu selesai, Cakra menuju dapur umum untuk sarapan. Tapi sebelum makan, ia sempat mengambilkan satu piring untuk Shifa—nasi, telur, dan kerupuk yang masih renyah. Ia mendekat ke Shifa yang sedang duduk di meja panjang relawan. “Ini, buat kamu,” ucapnya, meletakkan piring. Shifa menoleh dengan ekspresi datar. Tapi sebelum sempat menolak, perutnya keburu bunyi pelan. Ia terpaksa tersenyum malu-malu, “Makasih…” Mereka akhirnya duduk bersebelahan, menikmati sarapan dalam diam yang nyaman.
Beberapa relawan medis perempuan yang melihat dari jauh langsung saling senggol. “Ciee... komandan romantis,” bisik salah satu. “Duh, iri banget deh. Ada yang bawain sarapan,” timpal yang lain dengan nada menggoda. Shifa mendengar celetukan itu dan hanya bisa menunduk sambil menyuap makanannya. Di sebelahnya, Cakra menahan senyum, pura-pura tak dengar.
Setelah sarapan selesai, para personel—baik prajurit maupun relawan—mulai berkumpul di sekitar meja komando untuk briefing pagi. Peta besar terbentang di atas meja lipat, diberi tanda dengan spidol merah dan kuning, menunjukkan titik-titik terakhir patroli dan lokasi dua prajurit yang masih hilang.
Cakra berdiri di depan semua orang, ekspresinya kembali tenang dan tegas. Ia memegang pointer kayu dan menunjuk pada lereng timur. “Fokus hari ini adalah wilayah ini,” katanya, nada suaranya rendah tapi tegas. “Lereng timur, jalur C-7 hingga C-11. Terjal, banyak jalur licin, dan rawan longsor. Tapi inilah kemungkinan besar mereka terakhir terlihat.”
Semua mata menatapnya serius. “Tim A akan menyisir jalur atas. Tim B ambil jalur bawah dekat sungai kecil. Medis akan standby di pos transit titik tengah. Kalau ada kendala, kabari lewat HT, jangan sok kuat.” Shifa yang berdiri di barisan belakang menatap Cakra dengan campuran bangga dan khawatir. Di lapangan, dia bukan pacar yang suka mengeluh—dia komandan. Tegas. Fokus.
Setelah memberi arahan terakhir, Cakra menutup map dan menatap semua orang, “Ingat. Kita di sini bukan buat jadi pahlawan. Kita di sini buat bawa pulang teman kita hidup-hidup. Utamakan keselamatan. Bergerak.” Semua menjawab serempak, “Siap!” Dalam lima belas menit, semua tim sudah memeriksa perlengkapan, HT, senjata, logistik ringan, dan tali panjat. Cuaca mulai mendung, tapi belum hujan. Angin dari lereng timur berembus dingin, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak biasa—sesuatu yang membuat bulu kuduk beberapa orang berdiri tanpa alasan. Cakra menoleh sekilas ke Shifa yang sibuk menyiapkan kotak medis cadangan. Mereka saling bertatapan. Tak ada kata, hanya anggukan kecil. Waktunya bergerak.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf