Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Minggu kedua setelah pengiriman terasa aneh bagi Kael. Biasanya ia bangun subuh dengan pikiran langsung tertuju pada checklist produksi, tapi sekarang ia terbangun tanpa ada yang mendesak. Kontrakannya yang biasa penuh dengan sketsa dan note kini terlihat kosong, hanya ada beberapa buku dan pakaian yang berserakan.
Ia duduk di teras kecil sambil minum kopi sachet yang diseduh dengan air panas dari termos, menatap jalanan yang mulai ramai dengan pedagang keliling. Suara tukang sayur yang berteriak menawarkan dagangannya terdengar familiar dan menenangkan.
"Mas Kael! Udah lama gak keliatan!" sapa Ibu Tini, pemilik warung nasi di ujung gang sambil menjemur pakaian di halaman rumahnya yang sempit.
"Iya, Bu. Kemarin sibuk banget. Baru sempet napas sekarang," jawab Kael sambil menyeruput kopi panasnya, matanya melirik ke Ibu Tini dengan senyum ramah.
"Sibuk bikin film katanya? Anak-anak sekampung pada ngomongin. Bangga loh, anak muda kayak Mas Kael bisa bikin sesuatu yang besar gitu. Kapan tayang filmnya? Ibu mau nonton," tanya Ibu Tini dengan antusias yang tulus, matanya berbinar penuh rasa bangga seolah Kael adalah anaknya sendiri.
Kael tertawa kecil, merasa hangat di dada mendengar dukungan dari tetangga yang bahkan tidak sepenuhnya paham apa yang ia kerjakan. "Belum tau, Bu. Masih nunggu hasil festival dulu. Kalau jadi tayang, pasti Ibu yang pertama gue kasih tau."
"Ibu tunggu ya! Pokoknya Ibu yakin pasti bagus. Mas Kael kan orangnya tekun, gak kayak anak-anak jaman sekarang yang males-malesan doang," ucap Ibu Tini sambil melanjutkan jemurannya, sesekali menoleh ke arah Kael dengan senyum yang membuat Kael merasa dihargai dengan cara yang sederhana tapi sangat bermakna.
Siang itu, Kael memutuskan untuk jalan-jalan ke daerah Kota Tua, tempat yang sudah lama ingin ia kunjungi tapi tidak pernah sempat karena terlalu sibuk dengan produksi. Ia naik bus kota yang penuh sesak dengan penumpang, berdiri sambil berpegangan pada tiang besi yang sudah karatan, terhuyung-huyung setiap kali bus berhenti mendadak atau belok tajam tanpa peringatan.
Sampai di Kota Tua, ia berjalan pelan menyusuri trotoar yang rusak, melewati bangunan-bangunan tua dengan arsitektur kolonial yang masih kokoh meskipun catnya sudah mengelupas dan beberapa jendela sudah pecah. Ada sesuatu yang nostalgia tentang tempat ini, seolah waktu berjalan lebih lambat, seolah masa lalu dan masa kini bercampur dalam harmoni yang aneh tapi indah.
Ia duduk di bangku taman sambil membeli es kopi susu dari pedagang keliling, menonton turis-turis yang sibuk foto-foto dengan kamera analog mereka, dan anak-anak lokal yang bermain sepak bola dengan bola yang sudah kempes setengahnya tapi tetap dipakai dengan semangat yang tinggi.
Pikirannya melayang ke Rani, gadis yang selama lima bulan terakhir selalu ada di sisinya, selalu mendukung dengan cara yang tenang tapi kuat. Ada sesuatu tentang Rani yang membuat Kael merasa nyaman dan aman seolah dengan dia, Kael tidak perlu berpura-pura atau memakai topeng. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, dengan semua kekurangan dan ketidakpastian yang ia punya.
"Gue harus ngomong sama dia. Tapi ngomong apa? Hey Ran, gue suka sama lu? Kedengeran kayak anak SMP yang baru jatuh cinta pertama kali," gumamnya sambil tertawa sendiri, merasa konyol dengan monolog internal yang murahan ini.
Handphone-nya berbunyi, SMS masuk dari Dimas.
"Kael, besok sore kita berkumpul di studio. Gue sama Budi mau masak buat semua orang. Makan malam perayaan yang beneran. Lu harus dateng. Gak ada alasan buat gak dateng."
Kael tersenyum sambil membalas dengan cepat. "Siap, Mas. Gue bawa dessert. Ada request?"
"Apapun yang lu bawa pasti enak. Sampai ketemu besok!"
Sore itu, Kael pergi ke toko kue langganannya yang sudah puluhan tahun berdiri di daerah Menteng, toko kecil dengan etalase kaca yang berisi berbagai macam kue tradisional yang dibuat dengan resep turun-temurun. Ia membeli dua loyang besar lapis legit yang masih hangat dan wangi sekali sampai membuat mulutnya ngiler.
"Mas Kael jarang mampir. Ada acara spesial?" tanya Bu Sinta, pemilik toko yang sudah kenal dengan Kael sejak ia masih kuliah dan sering beli kue murah untuk teman-teman kostnya.
"Ada, Bu. Mau rayain project besar yang baru selesai sama tim. Pesen lapis legit dua loyang yang kualitas terbaik ya, Bu. Ini acara spesial," jawab Kael sambil mengeluarkan uang dari dompet yang sudah mulai menipis tapi untuk acara ini ia rela keluar uang lebih.
"Wah, bagus dong! Selamat ya, Mas. Bu Sinta bangga lihat Mas Kael sukses kayak gini. Dulu masih anak kuliahan yang sering utang kue, sekarang udah bisa bayar tunai dengan muka yang pede gitu. Pertumbuhan yang indah," ucap Bu Sinta sambil tersenyum tulus, matanya berkaca-kaca dengan emosi yang keibuan dan bangga.
Kael merasa dadanya hangat. "Makasih, Bu. Doanya selalu gue inget. Tanpa dukungan dari orang-orang kayak Ibu, gue gak akan sampai sejauh ini."
Malam itu, Kael tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar tentang acara kumpul besok, tentang apa yang mau ia katakan ke tim, tentang bagaimana ia mau mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan benar, dan terutama tentang bagaimana ia harus bersikap di sekitar Rani tanpa membuat situasi jadi canggung kalau ternyata perasaannya tidak timbal balik.
"Udah dewasa kok masih gugup kayak anak kecil. Menyedihkan," gerutunya pada diri sendiri sambil memukul bantal yang sudah kempes, frustrasi dengan kegalauan emosional yang seharusnya tidak perlu ia rasakan di usia segini.
Besok sore akhirnya tiba. Kael sampai di studio dengan dua loyang lapis legit yang ia pegang dengan hati-hati sekali seolah itu adalah harta karun yang tak ternilai. Studio sudah ramai dengan suara dan tawa, Dimas dan Budi sibuk di dapur kecil yang ada di lantai satu, memasak dengan semangat yang tinggi meskipun jelas mereka tidak terlalu ahli di bidang kuliner.
"Kael! Lu dateng! Taruh kuenya di meja sana. Kita lagi masak soto ayam sama nasi goreng. Sederhana tapi enak, dijamin," teriak Dimas dari dapur dengan wajah yang penuh keringat dan celemek yang penuh noda minyak dan bumbu.
Rani sudah ada di sana, duduk di sofa sambil ngobrol dengan Sari dan Agus tentang rencana mereka selama cuti. Ketika melihat Kael masuk, ia tersenyum, senyum yang membuat jantung Kael berdegup sedikit lebih cepat dari kecepatan normal.
"Lu bawa apa itu? Wangi banget!" tanya Rani sambil menghampiri, matanya melirik ke kotak kue yang Kael taruh di meja dengan hati-hati.
"Lapis legit dari toko Bu Sinta. Lu inget kan? Yang dulu kita pernah lewatin pas riset ke Museum Nasional?" jawab Kael sambil membuka kotak, menunjukkan lapis demi lapis kue yang sempurna dengan warna yang gradasi cantik dari coklat tua ke coklat muda.
"Inget! Waktu itu kita pengen beli tapi gak jadi karena lagi hemat budget buat produksi. Sekarang akhirnya bisa makan!" ucap Rani dengan antusias yang seperti anak kecil, matanya berbinar melihat kue yang sudah lama ia idamkan tapi selalu ditunda karena prioritas produksi.
Mereka duduk melingkar di lantai dengan piring-piring plastik dan gelas-gelas yang campur aduk dari berbagai set, ada yang dari rumah Dimas, ada yang dari kontrakan Kael, ada yang beli di pasar loak. Tapi tidak ada yang peduli dengan penampilan, yang penting adalah kehangatan dan kebersamaan yang terasa sangat kuat di momen ini.
Soto ayam yang Dimas masak ternyata mengejutkan enak meskipun kuahnya sedikit terlalu asin, dan nasi goreng buatan Budi punya rasa pedas yang bikin hidung meler tapi nagih sekali. Mereka makan dengan lahap sambil tertawa dan bercerita tentang hal-hal acak, dari kenangan masa kecil sampai momen memalukan selama produksi yang sekarang bisa mereka tertawakan dengan ringan.
"Gue mau ngomong sesuatu," ucap Kael tiba-tiba sambil mengangkat gelas es teh manisnya, membuat semua orang diam dan menatapnya dengan penuh perhatian.
"Untuk lima bulan terakhir yang luar biasa gila tapi juga luar biasa berharga. Untuk kalian semua yang udah ngorbanin waktu, tenaga, dan bahkan kesehatan untuk bikin 'Sang Penjaga' jadi kenyataan. Gue gak punya kata-kata yang cukup untuk ngejelasin betapa bersyukurnya gue punya kalian sebagai tim, bukan, sebagai keluarga. Apapun yang terjadi sama festival nanti, gue mau kalian tau bahwa kalian udah mencapai sesuatu yang luar biasa. Kalian udah membuktikan bahwa dengan semangat dan dedikasi, gak ada yang mustahil. Terima kasih. Terima kasih untuk semuanya," ucap Kael dengan suara yang bergetar.
Matanya berkaca-kaca tapi ia memaksa dirinya untuk tidak menangis di depan semua orang meskipun emosinya hampir meluap.
Mereka semua mengangkat gelas mereka, saling beradu dengan bunyi klink yang lembut tapi bermakna. "Untuk Studio Garasi! Untuk mimpi-mimpi gila! Untuk keluarga!" teriak mereka bersamaan dengan suara yang kompak dan penuh dengan kegembiraan.
Setelah makan, mereka main permainan sederhana, tebak kata, truth or dare versi yang polos, dan karaoke dengan tape recorder yang suaranya pecah-pecah tapi tetap seru karena yang penting adalah keikutsertaan dan tawa, bukan kesempurnaan.
Rani nyanyi lagu Bento dari Iwan Fals dengan suara yang ternyata bagus dan penuh emosi, membuat semua orang terdiam dan mendengarkan dengan khusyuk. Ketika lagu selesai, tepuk tangan meriah menggema di studio kecil itu.
"Ran, lu harus nyanyi lebih sering! Suara lu bagus banget!" puji Agus dengan kekaguman yang tulus, membuat Rani tersenyum malu sambil menutupi wajahnya dengan tangan.
Malam semakin larut tapi tidak ada yang mau pulang. Mereka semua duduk di lantai yang dingin, bersandar pada dinding atau pada satu sama lain dengan keheningan yang nyaman yang sesekali diisi dengan obrolan acak atau lelucon yang membuat semua orang tertawa.
Kael menatap mereka semua dengan perasaan yang membludak, ini adalah momen yang akan ia simpan selamanya. Momen di mana kesuksesan tidak diukur dengan uang atau ketenaran, tapi dengan kualitas hubungan dan kedalaman ikatan yang terbentuk melalui perjuangan dan kemenangan bersama.
"Gue sayang kalian semua. Dan gue serius ngomong ini, bukan dalam arti yang aneh ya," ucap Kael sambil tertawa, mencoba meringankan pernyataan emosionalnya tapi semua orang tahu dia serius.
"Kami juga sayang sama lu, Kael. Lu adalah pemimpin terbaik yang bisa kita minta," jawab Dimas sambil memeluk Kael dari samping dengan pelukan persaudaraan yang erat dan bermakna.
Dan di studio kecil itu, dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar peduli padanya, Kael merasa seperti ia akhirnya menemukan tempatnya dalam dunia ini, bukan hanya sebagai animator atau pengusaha, tapi sebagai manusia yang dihargai dan dicintai untuk siapa dirinya, bukan hanya untuk apa yang bisa ia capai.