Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Mereka telah sampai di pondok pesantren dan Abimanyu mengantar mereka ke ruang Kyai.
Banyak para santri dan santriwati yang melihat perubahan pada Erlin.
Para santri yang duduk di serambi langsung menoleh ketika melihat Abimanyu turun dari mobil bersama dua istrinya. Namun perhatian mereka paling banyak tertuju pada Erlin.
“Subhanallah, itu Bu Erlin, ya? Lihat, auranya berbeda sekali,” bisik salah satu santriwati sambil menyikut temannya.
“Iya, dia sekarang berjilbab. Wajahnya makin teduh,” jawab temannya kagum.
Beberapa santri putra juga terlihat berbisik, kagum pada keteguhan yang terpancar dari sorot mata Erlin.
Erlin menunduk penuh rendah hati, menyapa mereka dengan senyum tipis.
“Assalamu’alaikum, Nak.”
“Wa’alaikumussalam, Bu,” jawab para santriwati hampir serempak, wajah mereka berbinar.
Riana yang berjalan di belakang Erlin hanya menggertakkan gigi, rasa cemburu makin menguasai dirinya.
Sesampainya di ruangan Kyai Abdullah, mereka langsung duduk.
Kyai Abdullah berjalan dan ikut duduk bersama mereka bertiga.
"Ini tanda pengenal kamu dan peralatan lainnya sudah Kyai siapkan. Kyai berharap kamu bisa mengajar di pondok ini dengan bahagia. Kalau ada apa-apa langsung kabari Kyai." ucap Kyai Abdullah.
"Iya Kyai, terima kasih atas semuanya." ujar Erlin.
Abimanyu menitipkan istrinya kepada kyai yang sekaligus pemimpin di pondok pesantren.
Kyai menganggukkan kepalanya dan berjanji akan menjaga Erlin.
Setelah itu Abimanyu berpamitan dengan Erlin dan Riana.
"Nanti sore biar Abi yang menjemput kalian. Jangan kemana-mana." ucap Abimanyu.
"Iya, Abi. Aku akan menunggu Abi menjemputku." ujar Erlin sambil mencium punggung tangan suaminya.
Riana juga mencium punggung tangan Abimanyu yang akan berangkat kerja.
Abimanyu tersenyum tipis lalu melangkah keluar ruangan dengan hati yang berat.
Ia tahu meninggalkan kedua istrinya di pondok bukanlah hal mudah, apalagi melihat tatapan cemburu Riana yang terus mengintai Erlin.
Setelah Abimanyu pergi, Kyai Abdullah mengajak Erlin menuju ke kelasnya.
Riana berjalan terlebih dahulu menuju ke kelas 10 yang ada di dekat taman.
Sementara itu Erlin mengajar di kelas 13 yang ada di lantai atas.
Kyai dan Erlin masuk kedalam kelas 13 yang terdiri dari para santri dan santriwati.
"Perkenalkan ini guru matematika kalian yang baru." ucap Kyai Abdullah.
"Assalamualaikum Ibu Erlin," sapa mereka.
"Waalaikumsalam,"
Kyai Abdullah meninggalkan Erlin yang sudah siap mengajar.
"Bu Erlin, kenapa sekarang cantik sekali?" tanya Gufron.
Para santri dan santriwati langsung tertawa terbahak-bahak.
"Bu Erlin bisa cantik seperti ini karena kebaikan dan kesabaran dari ustadz Abimanyu." jawab Erlin.
Mereka bersorak kegirangan saat mendengar jawaban dari Erlin.
"Ayo sekarang bukan halaman 20 tentang peluang." ucap Erlin.
"Bu, apakah ada peluang untuk saya bersama dengan Bu Erlin?"
Suara tertawa terbahak-bahak terdengar lagi di kelas Erlin.
"Sudah tidak ada peluang, karena pintu hati Ibu sudah ada pemiliknya." jawab Erlin.
Erlin membuka buku yang ia bawa, lalu menuliskan soal di papan tulis dengan tenang.
“Baik, kita mulai dari contoh soal yang sederhana dulu, ya,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas.
Para santri langsung memperhatikan, bahkan yang biasanya suka bercanda pun ikut diam memperhatikan.
Ada semacam wibawa baru yang terpancar dari sosok Erlin.
“Misalnya, kita punya satu dadu. Berapa peluang keluar angka genap?” Erlin menoleh pada barisan depan.
Seorang santri putri dengan semangat mengangkat tangan.
“Tiga per enam, Bu. Atau satu per dua.”
“Betul, MasyaAllah. Pintar sekali,” puji Erlin sambil tersenyum.
Gufron kembali mengangkat tangannya dan mencoba bertanya kepada Erlin.
"Bu, kalau dua dadu dilempar, peluang keluar jumlahnya tujuh berapa?” tanya Gufron.
Erlin tersenyum tipis, lalu ia kembali bertanya kepada murid-muridnya
“Kalau kalian bisa jawab benar, Ibu kasih nilai plus. Tapi kalau salah, nanti yang dapat tugas tambahan, siap?”
“Siap, Bu!” jawab mereka kompak.
Suasana kelas dipenuhi canda, namun tetap dalam alur pelajaran.
Erlin duduk sambil menunggu murid-muridnya memberikan jawaban.
Gufron, Meirina dan Lila maju ke depan memberikan jawabannya.
Erlin tersenyum tipis dan memberikan nilai plus kepada mereka bertiga.
"Kalian bertiga lanjutkan mengerjakan soal halaman 30-35." ucap Erlin.
Mereka bertiga sangat bahagia karena mendapatkan nilai plus dari Erlin.
Dari luar kelas banyak guru yang memuji Erlin yang berhasil meluluh murid kelas 12 yang terkenal nakal dan susah diatur.
"Hebat sekali Bu Erlin yang bisa membuat kelas 12 menjadi adem." ucap Bu Sistin.
"Iya Bu, saya juga kagum dengan Bu Erlin." ucap Bu Endang guru bahasa Indonesia.
Mereka berdua kembali ke ruang guru dan menceritakan semuanya tentang Erlin.
Selesai menjelaskan beberapa soal, Erlin menutup pelajaran dengan doa bersama.
“Anak-anak, semoga Allah mudahkan ilmu ini untuk kalian, dan semoga kalian bisa menjadi generasi yang bermanfaat untuk umat. Aamiin.”
“Aamiin..” sahut para santri serempak, penuh kekhusyukan.
Jam istirahat berbunyi dan Erlin berjalan menuju ke ruang guru.
Ia melihat banyak guru yang bertepuk tangan ketika melihatnya masuk.
"Wah, ada apa ini? Kenapa Bapak, Ibu, bertepuk tangan seperti ini?" tanya Erlin dengan wajah kebingungan.
Ibu Endang dan Ibu Sistin memeluk tubuh Erlin yang masih berdiri mematung.
"Ibu Erlin, ternyata guru yang hebat. Baru masuk hari ini dan sudah bisa meluluhkan hati murid-murid kelas 12." ucap Ibu Sistin.
"Ibu Endang, Ibu Sistin. Ini sudah kewajiban Sayan menjadi guru disini." ujar Erlin yang kemudian duduk bersama dengan guru-guru lainnya.
Mereka berkenalan satu persatu dan tak lama kemudian Riana masuk ke dalam dengan wajah yang ditekuk.
"Bu Riana, kenapa wajahnya ditekuk seperti itu?" tanya Pak Dendy guru olahraga.
Riana langsung menoleh ke arah Pak Dendy dengan tatapan tajam.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya capek saja.” jawab Riana singkat sambil menarik kursi dan duduk dengan wajah masam.
Namun beberapa guru saling berpandangan, mereka bisa merasakan aura berbeda dari Riana dibandingkan Erlin yang baru saja membuat suasana ruang guru penuh semangat.
Bu Endang menceritakan tentang Erlin yang berhasil meluluhkan murid kelas 12.
"Mungkin hari pertama, jadi mereka luluh. Coba dua minggu kedepan. Mereka pasti akan liar dan kampungan lagi." ucap Erlin.
"Astaghfirullah, Ri. Jangan bicara seperti itu lagi. Bagaimanapun mereka anak didik kita," ucap Erlin.
Semua guru saling pandang dan semakin tidak suka dengan Riana yang menjadi kasar.
Bu Endang mengalihkan pembicaraan dan membagikan pastel dagangnya.
"Bu Endang, jualan pastel?" tanya Erlin.
"Iya, Bu Erlin. Ini kerjaan sampingan saya " jawab Bu Endang.
Erlin menggigit pastel buatan Bu Endang yang ternyata enak sekali.
"Bu Endang, saya besok pesan 100 pastel ya. Yang 50 buat murid-murid saya dan 50 lagi buat guru-guru disini." ucap Erlin sambil mengambil dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Bu Endang.
"Alhamdulilah, Bu Erlin. Terima kasih sudah mau pesan pastel saya. Saya janji akan membuat pastel yang enak." ujar Bu Endang yang terlihat bahagia.
Beberapa menit kemudian bel sekolah terdengar dan Erlin bangkit dari duduknya.
Sekarang ia masuk ke kelas 11 yang ada di pojok kiri dekat mushola.
Para santri dan santriwati langsung memberikan salam kepada Erlin.
Erlin kembali mengajar di depan kelas dan banyak para santri dan santriwati melihat sosok Erlin yang sabar saat mengajar.