NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:27k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti

Pak Hasan masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap kosong menembus dinding putih rumah sakit.

Kata-kata Kian terus bergema dalam benaknya:

“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”

Sekilas terdengar seperti jawaban dari seorang pria terhormat.

Tapi Pak Hasan tahu, ketulusan bukan sesuatu yang bisa diukur dari kata-kata.

Terlebih, ia tahu siapa Kian Ardhana.

Pria muda ambisius.

Beberapa kali datang menawar tanah warisan keluarga—tanah yang ia jaga seperti darah sendiri.

Dan sekarang, pria itu ingin menikahi anaknya?

Ia mengepalkan tangan.

"Apakah ini kebetulan… atau jebakan?"

Ia menoleh perlahan, menatap Kian lama. Tatapannya tak lagi semarah sebelumnya, tapi keraguan membayang dalam diamnya.

“Anakku…” gumamnya lirih, “…masih sekolah. Masih mondok. Satu semester lagi baru lulus. Usianya baru genap tujuh belas. Belum cukup untuk menikah.”

Pak Hasan menatapnya lebih lama.

Diam.

Sunyi menggantung di antara mereka.

Dan entah kenapa...

...meski hatinya penuh keraguan, meski insting ayahnya menjerit waspada…

Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan.

Kian terdiam.

Matanya menatap pria itu dalam-dalam—berusaha menyampaikan kesungguhan, meski dalam hatinya, ada tekanan yang tak bisa ia abaikan.

"Baru tujuh belas… berarti hanya bisa menikah siri. Itu cukup untuk sekarang. Yang penting, aku bisa membuktikan tanggung jawabku—dan mungkin… mendapatkan persetujuan atas tanah itu."

"Jika resort itu berdiri sesuai rencana, Papa pasti menepati janjinya. Aku akan naik sebagai CEO."

Ia mengangguk pelan. “Tak masalah, Pak. Jika itu yang harus saya lakukan, saya akan tetap menikahinya. Sebagai bentuk tanggung jawab saya.”

Pak Hasan memandangi wajah Kian, mencari-cari ketulusan di balik ambisi. Ada sesuatu dalam mata pemuda itu yang meyakinkan—meski sebagian hatinya masih belum bisa percaya sepenuhnya.

Namun detik berikutnya, pikirannya kembali disergap oleh kenyataan yang lebih pahit…

Kanker.

Pankreasnya. Stadium akhir.

Sudah sebulan sejak ia diam-diam menerima vonis itu.

Semula ia hanya merasa cepat lelah, berat badan turun drastis, dan perutnya sering nyeri tanpa sebab. Ia pikir hanya masuk angin atau maag. Tapi dokter mengatakan lain—dengan tatapan sendu dan kalimat pelan yang menghantam jantung:

“Peluang hidup Bapak... sangat kecil.”

Penyakit itu datang diam-diam. Tanpa gejala berarti. Dan saat muncul... sudah terlambat.

Secara fisik, ia masih tampak kuat. Tapi ia tahu pasti—waktu untuknya… tak banyak.

Dan Kanya...

Gadis kecilnya itu tak tahu apa-apa.

Tak tahu bahwa ayahnya tengah diam-diam mempersiapkan kematian. Bahwa setiap langkah Pak Hasan kini dipenuhi perhitungan: berapa lama lagi ia bisa melihat mentari? Berapa malam lagi ia bisa menatap bulan bersama putrinya?

Dan sekarang… kaki Kanya akan cacat.

Ia tak punya siapa-siapa lagi.

Tak ada istri. Tak ada saudara. Tak ada keluarga dekat.

Siapa yang akan menjaga Kanya jika ia tiada?

Siapa yang akan melindungi gadis suci yang bahkan menolak disentuh meski tubuhnya sekarat?

Air mata menggantung di ujung matanya. Tak jatuh, tapi cukup untuk membuat pandangannya bergetar.

Ia menatap Kian. Tajam, dalam.

Berusaha membaca isi hati pemuda itu.

Kian tak menghindar. Ia tatap balik, tenang.

Namun di dalam pikirannya, badai kecil menggelora:

"Menikahinya… bisa membuat Pak Hasan luluh. Mungkin… tanah itu akan berpindah tangan tanpa konflik. Resort bisa dibangun sesuai rencana. Posisi CEO pun ada di depan mata."

"Tapi... Kanya. Dia terlalu muda. Masih sekolah. Aku bahkan belum tahu seperti apa wajah dan sifatnya."

"Dan Friska… tetap wanita yang aku cinta."

"Namun, jika ini satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan… dan membuktikan tanggung jawabku…"

Ia menunduk sedikit, memasang ekspresi paling tulus yang bisa ia buat.

“Saya akan menjaga Kanya seumur hidup saya, Pak. Percayalah.”

Suara itu tenang. Dalam. Meyakinkan.

Pak Hasan menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesak yang menggunung di dadanya.

Ia menatap anak muda di hadapannya.

Lelaki yang—suka atau tidak—mungkin akan menjadi suami satu-satunya orang yang akan ia tinggalkan di dunia ini.

"Kalau aku mati, setidaknya… ada yang menjaganya."

Kalimat itu hanya menggema dalam batin. Tak sempat menjadi suara.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, namun cukup tegas untuk mengguncang ruang yang sunyi itu.

Kian mengangkat kepala. Sedikit terkejut.

“Aku terima lamaranmu,” lanjut Hasan. “Jaga putriku dengan baik.”

Kian mengangguk pelan, menyesap ucapan itu seperti angin kemenangan—padahal dalam benaknya, ia hanya ingin satu hal: menyelesaikan semuanya secepat mungkin.

Tapi Pak Hasan belum selesai.

“Dan dengar baik-baik. Jangan pernah kau sakiti dia—secara fisik, atau batin.”

Wajahnya tetap tenang. Suaranya datar. Tapi yang meluncur dari bibirnya terasa seperti belati dingin yang pernah mencicipi darah.

“Kalau kau menyakitinya… hidupmu tak akan tenang. Bahkan kalau aku sudah tak ada.”

Kian menelan ludah.

Entah kenapa, meski ia merasa sudah ‘menang’, ada sesuatu dari tatapan pria itu yang menyusup ke dadanya… membuat ia menggigil.

Dan mungkin—untuk pertama kalinya—ia sadar:

Ia baru saja menjual nuraninya demi sebidang tanah.

Dan di balik tirai ruang UGD, Kanya masih tak tahu apa pun.

Tak tahu bahwa masa depannya telah dipertaruhkan dalam satu kalimat...

…oleh ayah yang sangat mencintainya,

…dan lelaki yang hanya menjadikannya jalan menuju tanah.

***

Lorong Rumah Sakit – Pagi Hari

Lorong rumah sakit masih sunyi. Lampu putih pucat menyinari lantai mengilap. Bau disinfektan tajam menguar, menyusup pelan ke dalam jaket Kian.

Ia berdiri di depan ruang perawatan Kanya. Tak masuk. Hanya menatap dari kejauhan.

"Apa keputusanku benar? Menikahi gadis asing yang bahkan tak kulihat wajahnya… hanya demi sebidang tanah?"

Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya.

Dari kaca kecil di pintu, ia melihat Kanya tertidur. Tenang. Sebelah kakinya dibebat perban, selang infus menggantung diam di samping ranjang. Wajahnya tetap tertutup cadar—menyisakan mata yang terpejam, seolah menyembunyikan segalanya, bahkan luka.

Sementara di bangku lorong, tak jauh dari pintu…

Pak Hasan tertidur dalam posisi duduk. Tubuhnya condong ke depan. Napasnya terdengar pendek dan berat. Wajahnya lebih pucat dari semalam. Keringat dingin merembes di pelipis.

Kian baru hendak berbalik untuk membeli kopi—sekadar meredakan sesak di dada—saat suara berat menghentikan langkahnya.

Brugh!

Tubuh Pak Hasan limbung. Jatuh ke lantai dengan suara mengejutkan.

Kian refleks menoleh cepat.

"Astagaa!" serunya panik. Ia berlari mendekat, lututnya nyaris tergelincir saat menjangkau tubuh Pak Hasan yang tergeletak tak sadarkan diri.

"Suster! Dokter! Tolong!"

Suaranya menggema di lorong yang semula sunyi.

Detik berikutnya, pintu-pintu terbuka. Langkah-langkah cepat berdatangan.

UGD – Beberapa Menit Kemudian

Kian mondar-mandir di depan ruang UGD. Rahangnya mengeras. Tangan gemetar saat ia mencoba menelepon seseorang, lalu membatalkannya. Matanya berulang kali melirik pintu.

Seorang dokter keluar. Usianya empat puluhan, mengenakan jas putih dan wajah penuh empati.

"Keluarga Pak Hasan?"

Kian mengangguk reflek. “Saya... yang mengantarkannya.”

Dokter menghela napas. “Beliau terkena syok hipoglikemik dan kelelahan berat. Tapi bukan itu intinya.”

Ia menatap Kian. Lama. Dalam.

“Pak Hasan mengidap kanker pankreas stadium empat. Sudah menyebar. Kami menduga... beliau sudah tahu, tapi tidak melakukan pengobatan lanjut.”

Kian tercekat.

“Kanker?”

“Maaf, tapi... waktunya tak banyak.”

Suara dokter menggantung di udara, lalu hilang ditelan denting alat medis.

Kian berdiri mematung.

Kata ‘kanker’ itu seperti batu es jatuh ke dadanya.

Tiba-tiba semua menjadi lambat:

Senyuman tipis Pak Hasan tadi malam.

Tatapan kosongnya ke dinding.

Kalimat lirih: "Anakku... baru tujuh belas."

Kian berjalan pelan, kembali ke lorong tempat Pak Hasan tadi tumbang. Ia duduk di bangku dingin. Telinganya masih berdenyut.

Tangannya terkepal. Wajah menunduk. Mata menatap sepatu kulitnya yang mengilap—kontras dengan lantai rumah sakit yang suram.

“Jadi… dia tahu dia akan mati, tapi masih sempat menerimaku sebagai menantu?”

Kian menunduk.

“Bukan karena percaya padaku… tapi karena waktu tak memihaknya.

Ia mengusap wajah. Gertakan dari dalam hati datang bertubi:

“Apa yang kau lakukan, Kian?”

“Kau melamar anak orang demi sebidang tanah.”

“Dan dia... mungkin hanya ingin memastikan putrinya tak sendirian ketika ajal datang."

Satu tarikan napas panjang.

Kian menengadah. Mata menyipit menahan cahaya lampu di atas.

Bukan rasa bersalah sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang retak.

Ambisi itu kini berbenturan dengan sesuatu yang lebih dalam:

...rasa kemanusiaan.

...rasa tanggung jawab.

...atau mungkin, sekadar sisa-sisa nurani yang belum mati.

Di ruangan seberang, Kanya masih tertidur. Tak tahu bahwa ayahnya sedang berjuang di UGD. Tak tahu bahwa pria yang melamarnya tengah dihantui rasa yang belum ia kenal:

Penyesalan. Dan rasa takut... akan pilihan yang telah ia buat.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
hati Lo aja masih gamang berharap hak n kewajiban adeh pak ustad ketawa euyy ....pak ustad yeh pak ustad kian butuh ceramah nih
asih
lahhh kamu aja belum bisa menata hati mu kenapa buru buru minta jatah,Hak kewajiban kanya sebagai istri

kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian

seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Anitha Ramto
oo iyaaa,siapakah dua pasang mata yang memperhatikan Kian dan Friska..
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
Anitha Ramto
Kasihan juga Friska...,yang hancur karena gagal menikah dengan Kian

jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
sabar Kanya... hurmm.. wajah mu itu tidak harus kau sembunyikan di balik cadar mu..buka lah cadar mu... berikan saja apa yg suami kamu inginkan.. tawakkal kepada Allah SWT..soal tidak tidak mau menyentuhmu itu hak dia..asal kamu sudah izin menjalani kewajipan mu sebagai isteri
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
lebih baik terpegang anjing dari memegang seorang wanita yang haram di sentuh walaupun menyentuh wanita mahram tidak perlu di sertu..kian Kian 😬 kawal nafsu mu
Sri Hendrayani
kasian kanya
Felycia R. Fernandez
kamu aja blom jadi suami yang baik apa yang mau diharapkan...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
Puji Hastuti
Sabar kian, waktunya setaun, ini belum seberapa
Dek Sri
lanjut
Felycia R. Fernandez
waaah ternyata Friska pelakor nya disini...
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Siti Jumiati
lalu apa yang bias aku harapkan dari pernikahan ini,sabar kian coba kamu terima tawaran Kanya bahwa kamu mau membuka hati dan belajar mencintai Kanya.
septiana
lanjut kak semangat 💪🥰
Fadillah Ahmad
Huh,kalau Sama Pak Buntala,kau mungkin Sudah Tiada Kian. 😁😁😁 dan Kau tak akan bisa hidup nyaman,karena Pak Buntala akan Menfhantuimu sampai ke alam mimpi 😁😁😁
Fadillah Ahmad
"Angkat Kaki?" Apa Maksudnya itu Kak Nana? Apa Kakinya di angkat sebelah untuk berjalan? Padahal dia punya dua kaki?
Fadillah Ahmad: Terima Kasih Kak, ata jawabannya 🙏🙏🙏 Aku Baru Tahu loh Bahwa IGD Dan UGD 8tu Berbeda... Selama ini Aku mengira IGD Dan UGD itu sama Kak Nana... Terima Kasih Banyak loh Kak Nana,ini Menambah Wawasan aku kak... Sekali lagi Terima Kasih Banyak Ya Kak 🙏🙏🙏
🌠Naπa Kiarra🍁: Wah, pertanyaannya luar biasa out of the box! 🤣🔥

Langsung aja kita bahas satu-satu, Kak!

🏥 UGD vs IGD

UGD (Unit Gawat Darurat)

Biasanya ada di rumah sakit kecil atau puskesmas. Dokternya biasanya dokter umum, dan fasilitasnya standar. Fungsinya lebih fokus pada penanganan darurat awal, sebelum pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika diperlukan.

IGD (Instalasi Gawat Darurat)

Ini versi “sultan”-nya UGD 😎 Biasanya di rumah sakit besar, dengan fasilitas lengkap dan dokter spesialis standby. Siap tangani kondisi berat kayak serangan jantung, stroke, atau kecelakaan serius.

Jadi bisa dibilang:

UGD = standar emergency

IGD = VIP emergency lounge
total 2 replies
Fadillah Ahmad
F8sioterapi Itu Apa Kak Nana?
Fadillah Ahmad
Apa Bedanya UGD Dan IGD Kak Nana?
anonim
Kian jangan kasar kau sama istri - setidaknya pakai bahasa yang baik. Jiiiaaaahhh Kian - istri mana yang senang suaminya berbagi dengan wanita lain. Kian menantang Kanya nih...minta haknya sebagai suami - sekarang. Disambutlah permintaan Kian - kesanggupan Kanya untuk memberikan kewajibannya sebagai istri - sekarang - dengan dua syarat. SKAKMATT !
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Fadillah Ahmad
Ternyata Wajah Wan8ta di balik Cadar itu Sangat Cantik ya kan? Seperti Wajah Wanita,vietnam,korea atau Tiongkok kan,cantik Banget nggk tuh ternyata. gimana dong Kian?

Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
abimasta
benarkan kian ketemu friska?meski hanya membantunya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!