Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Panggil Aku Dion, Pakai “i”
Dion mengedarkan pandangan ke seantero ruangan rumah makan yang tak begitu ramai dan tak jauh dari usaha rental komputer Hendrik. Tak ada yang luar biasa di sana. Ia melakukannya karena ingin menyembunyikan rasa gugup dari dua gadis yang duduk di seberang meja.
“Abang pilih menu dulu deh,” ujar gadis berkaus merah pada Dion.
Setelah mencatatkan menu dan menyerahkannya pada pelayan, Dion memberanikan diri memulai percakapan untuk mengurangi rasa canggung di antara mereka. “Jangan panggil Abang lah! Aku tak yakin lebih tua dari kalian.”
Kalimat Dion ditanggapi kedua gadis itu dengan saling menatap, mengisyaratkan ketidakpercayaan mereka pada pernyataan pemuda itu.
“Kalian kuliahnya sekarang semester berapa, coba?” tanya Dion.
“Semester 6,” jawab gadis berkacamata singkat.
“Lha, aku cuma semester 2,” kata Dion.
“Tahun stambuk kan hanya bisa memperkirakan usia minimal, bukan maksimal. Bisa saja si Abang masuk kuliahnya ketika berusia 30 tahun. Iya toh?”Gadis berkaus merah protes menggunakan logat berbeda dari kebanyakan masyarakat Kota Medan.
“Iya sih,” sahut Dion malu-malu menyetujui argumen itu.
“Aku masih 19 tahun. Muka tuaku ini adalah konsekuensi dari beratnya beban hidup,” lanjut Dion setengah bercanda sambil menunjuk wajahnya sendiri.
“Masa sih?” tanya gadis berkacamata masih tak percaya.
“Buktikan lah usiamu masih 19. Tunjukin KTP-mu!” lanjutnya menantang.
“Boleh, tapi semua tunjukin KTP, ya!” Dion mengajukan syarat yang lalu disetujui kedua gadis dengan merogoh tas masing-masing.
Dion mengeluarkan sebuah kartu kuning berlaminating dari dompet dan menyodorkannya pada kedua gadis itu lalu buru-buru meraih dua KTP milik mereka.
“Lamtiur Uli Mariati, lahir 10 Juni 1977 di Pematang Siantar. Bagus namamu, Ito!” Dion membaca KTP pertama yang ternyata milik gadis berkacamata.
Ito adalah panggilan persaudaraan kepada lawan jenis dalam bahasa Tapanuli Utara.
“Biasa dipanggil Atik,” kata gadis itu menimpali seolah-olah tak ingin dipanggil dengan nama “Tiur” atau “Uli”, yang merupakan nama lazim di kalangan perempuan Tapanuli.
Dion lalu melanjutkan pembacaan pada KTP kedua, yang pastinya milik gadis targetnya.
“Wynna Pingkan Arina, lahir 16 Desember 1977 di Sydney. Wah, lahirnya jauh sekali. Di Australia! Tapi kok tak kelihatan seperti bule?” ujar Dion bercanda sambil menatap dan memeriksa wajah si gadis. Tatapan Dion dibalas dengan pelototan sang gadis memperlihatkan mata besar indahnya.
Sejenak Dion menyesali tindakannya. Ia tak sanggup membalas pelototan gadis itu. Jantungnya berdebar keras, gugup. Dion pun menyodorkan kembali kedua KTP itu ke depan kedua gadis dengan wajah sedikit tertunduk malu.
“Ioh! Waktu itu mami ikut papi melanjutkan studi sambil bekerja di Australia, jadi bukan bule noh,” terang Wina menjawab rasa penasaran Dion kembali dengan logat aneh sambil menerima sodoran KTP milik Dion dari Atik.
“Gideon Manasseh, lahir 17 Desember 1979 di Panai Hilir,” baca Wina perlahan karena tidak terbiasa dengan nama tengah Dion, tanpa membacakan marga atau nama belakangnya.
“Kok beda satu hari, ya?” gumam Wina menyadari kemiripan tanggal lahir mereka.
“Di mana tuh Panai Hilir?” Wina menambah pertanyaannya karena tidak pernah mendengar tempat kelahiran Dion.
“Daerah terpencil di pesisir timur, berbatasan dengan Riau. Jadi aku ini orang kampung, lho,” jawab Dion merendah.
“Lahirnya curi start satu hari dariku,” Dion mengomentari perbedaan tipis tanggal lahir itu.
“Maksudnya 2 tahun 1 hari, toh? Tanggal dan bulan memang beda tipis tapi tahunnya berjarak 2 poin,” ledek Wina sambil sedikit memiringkan wajah lalu tertawa kecil.
Atik sedikit kecewa. Sebenarnya tadi ia mulai terpikat pada pemuda bertubuh jangkung yang duduk di hadapannya. Kini Atik harus melupakan perasaan itu sebelum bertumbuh karena tak mau memiliki kekasih yang lebih muda.
“Kita biasa dipanggil Wina atau Win. Kamu biasa dipanggil apa?” tanya Wina.
“Dion. Pake huruf ‘i’, ya Kak!” sahut Dion sengaja menambahkan panggilan kakak sebagai pengakuan bahwa ia memang berusia lebih muda.
“Ya! Kamu bisa panggil kita Kak Wina. Nah, yang di samping ini Kak Atik,” kata Wina menunjuk dirinya lalu Atik sambil tertawa.
Ketiganya sedang menghadapi makan malam masing-masing ketika Dion membuka pembicaraan baru karena penasaran dengan logat Wina.
“Kakak dari Indonesia bagian timur, ya?” tanya Dion pada Wina.
“Iyoh. Papi Minahasa tapi mami Tapanuli, jadi orang Tapanuli juga lho,” sahut gadis itu.
“Adoh, kawanua kotek. Pantas kakak pe logat rupa-rupa laeng,” kata Dion menggunakan dialek Melayu-Manado.
Wina yang sontak kaget senang menurunkan kembali sendok yang sudah mendekati mulut. Ia jelas tak menduga logat itu keluar dari mulut Dion. Wina memang menghabiskan masa SMP-nya di Kota Manado bersama opa dan omanya.
“Aih, kiapa ngana bole babahasa? So perna pi Manado, kah?” tanya Wina heran.
“Nyanda, Kak. Kita ada tamang kawanua seasrama waktu kerja di Kepulauan Riau. Dorang ja babahasa, kita ta iko noh biar sasadiki,” terang Dion.
“Bole jo! Kong, so ada maitua Manado ngana?” tanya Wina bergurau.
“Belum, Kak. Ini ada usaha cari, mar tu cewe ternyata lebe tua tare’en,” keluh Dion disambut tawa renyah Wina yang merasa senang bisa bicara dialek Manado di Medan.
“Kalian bicara apa, sih?” protes Atik yang merasa tersisih karena Wina dan Dion menggunakan dialek yang tak sepenuhnya ia mengerti.
“Maaf ito, itu tadi logat Manado,” jelas Dion yang lalu melanjutkan santap malamnya.
Begitulah perkenalan Dion dan Wina bermula. Walau sedikit kecewa Wina lebih tua darinya, setidaknya ia bisa menggunakan hal itu untuk mengusir kegugupannya. Bebannya seolah terangkat dan ia kini dengan santai terlibat obrolan dengan kedua mahasiswi di hadapannya.
“Bilangin saja!” kata Wina pada Atik sesaat setelah memisahkan jepitan bibirnya pada sedotan plastik yang digunakan untuk meminum jus buah. Mereka bertiga sudah menyelesaikan santap malam dan kini sedang menikmati minuman masing-masing.
“Kau lah yang ngomong,” Ati membalas permintaan Wina.
Merasa kedua perempuan itu membicarakan dirinya, Dion lalu bertanya, “Ada apa yah?”
“Hmm, boleh minta tolong, nggak?” tanya Wina.
“Dion siap! Demi kakak-kakak cantik. Tapi tolong apaan dulu?” Dion balik bertanya.
“Dion kan ngetiknya cepat, trus ahli komputer. Bantu kami menyelesaikan laporan yah! Masih ada bahan tambahan. Sebenarnya tinggal sedikit tapi kalau kami yang mengetik, mungkin lewat tengah malam baru kelar. Itu juga kalau tidak ada masalah seperti tadi,” pinta Wina lalu merogoh tasnya berusaha mengeluarkan sesuatu.
“Ahli apaan? Aku ini mahasiswa informatika jadi masih belajar. Cuma diploma satu pula,” sahut Dion.
Wina lalu menunjukkan setumpuk kertas yang dilipat dua. “Ini aku sudah tulis tangan, jadi tinggal diketik saja.”
“Sadiki jo, Kak!” protes Dion kembali menggunakan logat Manado. Sebenarnya hati Dion bersorak gembira karena bakal memiliki banyak waktu tambahan untuk berdekatan dengan Wina.
“Bole kwa! Biar dapa liat tabal, mar depe isi cuma sadiki. Na pa lia!” bujuk Wina sambil memperlihatkan isi kertas-kertas draft laporannya.
“Bantu pa na pe Kakak, neh!”
“Iya deh, Kak. Manjo dang! Atau sadiki ley?”
“Ioh, skarang, jo. Biar pulangnya nggak terlalu telat”
Sesampainya kembali di rental komputer, mereka bertiga disambut Hendrik yang sedikit heran karena ketiganya sudah tampak akrab.
Malam itu Dion membantu menyelesaikan tugas kuliah Wina dan Atik. Rental komputer Hendrik sepi karena keesokan harinya adalah Sabtu, tidak ada kegiatan di kampus Wina dan Atik.
“Dion bisa perbaiki komputer?” tanya Wina membuka pembicaraan ketika Dion meminta beristirahat sejenak setelah dua jam mengetik non-stop mengikuti dikte Wina membacakan tulisannya sendiri.
“Komputer Kakak kenapa?” tanya Dion.
“Komputernya bisa menyala. Tapi kalau buka aplikasi, langsung mati. Makanya tugas laporan diketik di sini,” Wina menerangkan keadaan komputernya.
“Aku harus lihat dulu kondisinya, tapi sepertinya kerusakannya tidak berat tuh,” ujar Dion sembari melirik ke arah Hendrik yang tengah asyik ngobrol dengan Atik.
Keduanya tampak saling tersenyum, berbeda dengan keadaan beberapa jam lalu. Atik dan Hendrik malah tak menyadari kalau Dion dan Wina sedang memperhatikan mereka.
“Besok sore kamu ada waktu ke rumahku buat perbaiki komputer?” tanya Wina kemudian.
“Wah, kalau besok sore aku harus kerja. Tapi kalau siangan aku pasti bisa,” jawab Dion.
“Duh, besok pagi sampai siang kita ada janji menemani nenek mengunjungi saudara,” ujar Wina sedikit menyesal. "Oh, kamu kuliah sambil kerja, ya?”
“Begitulah, Kak. Namanya juga krismon. Begini saja, kalau sudah ada waktu yang pas, kakak hubungi aku saja lewat telepon kantor,” Dion tak ingin mengecewakan gadis itu.
Wina mengeluarkan buku telepon kecil serta pulpen dari tasnya lalu mencatat nomor telepon kantor Dion.
“Aku bisa dihubungi di nomor itu mulai dari jam lima sore hingga tengah malam. Kecuali kalau day off,” jelas Dion
“Kamu kerja apa? Kok malam-malam?” tanya Wina penasaran.
“Jaga kamar jenazah,” jawab Dion datar.
Wina heran setengah ngeri mendengar jawaban itu. “Ha?! Kamu nggak takut kerja di sana?”
Memandang mimik wajah Wina yang terbelalak keheranan, hati Dion berbunga-bunga tapi juga berdegub kencang.
Wina memang memiliki sejuta pesona. Wajahnya cantik serba simetris dengan bentuk oval bulat telur. Hidungnya bangir dan sedikit runcing. Bibir merah mudanya senantiasa tersenyum.
Mata Wina yang bulat besar dihiasi alis hitam tebal dan bulu mata yang lentik alami. Bola matanya bening bersih menawarkan keramahan, menatap seperti gadis kecil tanpa dosa tapi juga terkesan usil.
Belum lagi gaya bicara Wina yang berbeda dari kebanyakan perempuan di kota Dion, terdengar merdu. Tawanya renyah, enak di telinga Dion.
“Celaka! Aku tak pernah merasa seperti ini. Apa mungkin aku sedang jatuh cinta?” batin Dion mengomentari perasaan aneh yang menyelimuti hati dan pikirannya.
“Nggak kok. Aku bekerja di kantor redaksi surat kabar. Jadi kerjanya malam hari,” jelas Dion.
“Wartawan, toh?” tebak Wina.
“Bukan, page designer. Itu lho, yang mengatur dan menata letak berita-berita di halaman surat kabar,” jelas Dion yang dibalas anggukan-anggukan kecil Wina.
“Tadi kan Dion bilang pernah kerja di Riau. Kerja apalagi tuh?” Wina melanjutkan obrolan karena Atik dan Henrik masih tak berhenti dari aktivitas bisik-bisik mereka.
“Oh, dulu aku kerja di perhotelan. Tapi kondisi sekarang membuat wisatawan asing takut. Hotel-hotel jadi sepi dan terpaksa melakukan PHK. Nah, aku ini salah satu korbannya,” papar Dion.
“Jadi ceritanya nih tamat SMA Dion langsung bekerja?”
“Gak tamat SMA pun.”
“Lha, gimana caranya bisa kuliah kalau nggak tamat SMA?”
“Iyalah, kan dulu aku sekolah SMK bukan SMA,” jawab Dion tertawa.
Menyadari Dion bercanda, Wina pun ikut tertawa. “Aih, bakusedo toh. Beking bingo pa kita.”
“So, you do speak English, right?” tanya gadis itu menggunakan Bahasa Inggris.
“Let’s say I clearly understand when a BBC news anchor reads the news but still struggle when someone with a strong accent talks very fast,” Dion pamer kemampuan Bahasa Inggrisnya.
“Nice! Which accent troubling you so much by the way?” tanya Wina masih berbahasa Inggris.
“G’day mate! Yeah, good to have you down here and finally find everything alright, mate!” Dion coba menirukan aksen Australia dengan kalimat cepat.
“Nyindir yah?” tanya Wina sambil tertawa mendengar Dion.
“Bit of a day for you. Couple of longest in the afternoon. Never went Astray, mate? How was he out in the free day? Showing your hands. Good lad!” lanjut Dion dengan tempo lebih cepat dan lafal ‘a’ yang kental, khas negeri kanguru itu.
Wina pun tertawa keras. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Dion sementara tangan kiri memegangi perutnya, lama ia tertawa.
“You got me good!” katanya.
Mendengar tawa itu, bisik-bisik antara Hendrik dan Atik terhenti sejenak untuk memperhatikan Dion dan Wina. Tapi sekejap kemudian mereka sudah kembali larut dalam obrolan.
“Begitu kan kalau kalian orang Australia bicara? Super-cepat, susah dimengerti kecuali satu kata, ‘mate’, selalu jelas terdengar!” kata Dion yang ikutan tertawa. Wina yang mulai mengendalikan tawanya menjadi tertawa panjang lagi.
“Adoh, saki ta pe puru,” ujar Wina yang mulai berhenti tertawa tapi masih mengusap perutnya.
“Tapi kita asli Indonesia lho. Dulu tinggal di Australia sampai kelas 2 elementary. Makanya aku nggak bisa aksen mereka. Tapi aku familiar banget dengan logat seperti itu,” kata Wina lagi.
“Oh iya, kita ngerti lho yang kamu bilang tadi. Apakah itu ungkapan hatimu yang menyindir?” tanya Wina setengah meledek.
“Nauwr,” elak Dion menirukan orang-orang Australia mengatakan ‘no’ membuat Wina kembali tertawa keras.
“Awas, ya! Kamu terus-terusan ledekin tanah kelahiranku,” katanya setelah puas tertawa.
“Tau nggak? Orang Australia itu kalau diajak ngomong malah nggak mau berhenti, bisa ngalor-ngidul, merembet ke mana-mana,” imbuh gadis itu lagi.
“Persis temanku, Kak! Aku ingat waktu pertama kali ketemu di asrama. Aku sapa dia, cuma mau kenalan sambil basa basi gitu. ‘How’s it going?’ tanyaku. Kakak tau gimana jawabnya?”
“Gimana?” Wina penasaran dan mencondongkan tubuhnya ke arah Dion.
“Oh, hey! Yeah. Good! Um.. it’s been a bit of a tough day. You know, been at work. Uh, had a fight with the misses but you know, we’ll patch things up later but Yeah… pretty.. pretty.. well.., pretty well,” Dion kembali menirukan aksen Australia sambil mengarahkan pandangannya pada Hendrik. Ia memang sedang menggambarkan hari sahabatnya itu.
“Exactly. Hows it goin’, then they’ll tell the whole life story, for hours,” timpal Wina yang lalu kembali tertawa bahagia memandangi Dion.
Merasa gugup dipandangi, Dion mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Kita lanjut ngetiknya deh, Kak. Tinggal dikit kan?”
Giliran Wina yang sedikit gugup karena tertangkap melamun. “Eh, iya. Yuk mulai lagi,” sahutnya.
Sudah Hampir tengah malam ketika laporan itu selesai dikerjakan dan sudah dicetak printer.
“Besok pagi saja dijilid. Kalau sekarang toko fotokopi sudah pada tutup,” ujar Hendrik sambil menyerahkan kertas-kertas hasil cetakan mesin printer pada Atik.
Malam itu, Wina pulang dengan taksi. Atik dijemput oleh kakaknya. Sementara Dion pulang diantar dengan sepeda motor oleh Hendrik.