Salahkah jika Anyelir mencintai Devan tunangan kakaknya? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak.
Devan adalah masa lalu Anye yang selama ini dengan susah payah ia lupakan, tapi sepertinya takdir memang tidak berpihak padanya. Setelah tiga tahun dan Anye sudah berhasil menghapus semua kenangan akan Devan, laki-laki itu muncul kembali. Tapi kali ini dia datang sebagai tunangan kakaknya!
****
Season 2
Axel putra kedua dari pasangan Anye dan Devan, baru pertama kalinya jatuh cinta pada seorang gadis berparas cantik.
Dia tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi semua yang di rasakan dalam hatinya membuat dia mengalah dan harus percaya akan hal itu. Dia ingin merebut perhatian Renata, seorang gadis pelayan kafe yang tak menyukai anak orang kaya.
Demi meraih cintanya, Axel bersedia mengikuti jejak sang pujaan hati. Mendekati dia dengan menyamar sebagai pelayan kafe.
Hingga akhirnya, Axel berhasil mendapatkan jawaban atas perasaannya. Namun apa yang terjadi jika kemudian dia tahu tentang sesuatu. Sebuah misteri yang selama ini dia cari kebenarannya.
Apakah benar Renata mencintainya?
Atau hanya mencintai jantung kakaknya yang ada pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trias wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 20
Mobil melaju dengan cepat. Aku mencoba membuka pintu mobil, tidak bisa! Niatku untuk kabur dan melompat dari dalam sini harus gagal.
"Lepaskan aku. B*j*ng*n!!!" umpatku sambil berusaha memukulinya.
"Anye, ini aku!!!"
Aku terus memukuli pria itu. Dia mencoba melindungi wajahnya dari amukan ku.
"Anye!!!" akhirnya aku berhenti karena kedua tangannya menahan tanganku. Devan!!
Aku memeluk Devan. Rasa takut tadi membuatku syok. "Dasar b*j*ng*n!!! Kamu mau buat aku jantungan, huuh!! Aku kira kalian kelompok begal atau penculik!!" teriakku lagi setelah melepas pelukanku.
"Maaf. Kamu ngapain tadi sama pria kecil itu?" tanyanya.
Aku hanya diam. Ya, tadi apa yang aku lakukan? Dengan Noval?! Kami berciuman. Dan... ohh tidak!!! Dadaku!!!
Aku baru tersadar saat melihat bagian depan bajuku. Segera aku merapikan bajuku dan menaikan resleting di belakang.
"Kamu gak pa-pa Nye?" tanya Devan khawatir.
"Gak. Aku mau tidur!" ucapku lalu membelakanginya dan menyandar di kursi. Mencoba untuk tidur mungkin lebih baik daripada menahan hawa panas ini.
Aku mengipasi diriku lagi.
"Hei mas sopir! Tolong perbesar AC nya, aku kepanasan disini!" titahku. Pria di depan hanya menjawab singkat dan melakukan perintahku.
"Anye ini sudah dingin!" suara Devan di belakang punggungku.
"Aku kepanasan, Devan. Bangunkan aku kalau sudah sampai rumah." titahku lagi. Lalu berusaha untuk tidur.
Kurasakan Devan melabuhkan kepalanya di bahuku. Satu tangannya melingkar sampai di perutku. Panas. Dan semakin panas! Aku meremas ujung gaunku. Perasaan apa ini, tadi dengan Noval dan sekarang...
"Aku kangen kamu Nye!" ucap Devan lembut di telingaku.
Aku tidak tahan! Rasa ini membuatku gila!
Aku berbalik, dan mencium Devan dengan kasar, m*l*m*tnya dengan penuh hasrat hingga Devan terjengkang ke belakang. Satu tangannya menopang tubuhnya sadangkan aku menikmati bibir Devan dari atas tubuhnya dan aku bisa menyadari kalau aku semakin liar. Hanya saja aku tidak bisa berhenti, sebelum aku terpuaskan.
"Anye. apa..."
"...yang..."
"...kamu..."
"...lakukan?" Tanya Devan di antara ciuman kami.
"Aku gak tahu Dev. Rasanya ingin..." kembali aku mencium Devan membabi buta.
"Apa yang kamu minum tadi?" Devan menahan kepalaku.
"Aku gak minum apa-apa. Hanya air mineral." ucapku lalu m*l*m*tnya lagi. Bahkan dengan murahnya aku mengarahkan tangan Devan ke dadaku. Dan aku juga membuka satu persatu kancing bajunya dan melabuhkan bibirku disana. Ku rasa aku mulai lihai membuat tanda merah di dadanya. Devan melenguh entah sakit atau menikmati.
Devan kembali menahan kepalaku. "Jangan Anye!"
"Tapi aku, mau...! Tolong!"
"Seno! apartemen!" teriak Devan.
Ya itu bagus daripada kami melakukannya disini!
Penampilan Devan berantakan akibat perbuatan ku.
Tak lama mobil berhenti. Devan membawaku turun dan setengah berlari ke lift. Aku menyerangnya lagi. Memojokan Devan di dinding kotak besi itu.
"Anye sadar! Kamu di pengaruhi obat!"
"Bagaimana cara ku biar sembuh?" ucapku dan lagi-lagi menarik tengkuknya.
Tring...
Dasar lift sialan! Aku baru saja menikmati permainan ini!
Devan kembali membuatku berlari sampai di unitnya. Membuka pintu dan menutupnya lalu membawaku ke kamar.
Dengan tak tahu malunya aku memeluk Devan dari belakang.
"Dev. Please aku gak suka ini. Ini menyiksa!" ucapku dengan jujur.
Devan melepaskan pelukanku dengan paksa dan mendudukan aku di tepi ranjangnya.
"Anye, dengar! Sepertinya minuman kamu di beri obat perangsang. Kamu mandi saja oke? Aku akan siapkan air." Aku mengangguk dan membiarkan Devan pergi ke arah kamar mandi.
"Panas!" Aku tidak kuat dengan rasa ini. Aku membuka pakaianku hingga tersisa dua dalaman yang membungkus dua asetku. Masih panas!
Devan keluar dari kamar mandi. Matanya membulat saat melihatku. Dengan susah payah bisa aku lihat dia menelan salivanya. Kedua tangannya bergerak-gerak saat melihat area dadaku. Dan saat lebih ke bawah lagi lidahnya terjulur menjilat ujung bibirnya sendiri. Lalu Deva tersadar.
"Air sudah siap. Kamu mandi oke. Aku tunggu di luar!" Devan melangkah. Tapi lagi-lagi aku memeluknya.
Aku benar-benar seperti wanita j*lang! Tanganku mulai merambah kemana-mana, termasuk ke dalam celana bahannya. Devan mendesis seperti ular. Dan aku semakin suka mendengarnya.
"Anye jangan begini. Bahaya!" Devan menyingkirkan tanganku, tapi aku kembali memainkan belut besarnya dan menciumi lehernya.
"Ahhh..." terdengar seksi, dan aku suka!
"Anye stop. Jangan!"
Aku ******* bibirnya dan semakin gencar melakukan refleksi di bawah sana. Lagi-lagi Devan mendesis dengan menutup matanya.
Aku mendorong Devan ke arah ranjang hingga dia terjatuh dan aku seperti seekor kucing yang dengan seenaknya nangkring di tubuh majikannya.
"Anye jang..." ku sambar kembali bibirnya. Lidah kami saling bertautan, saling membelit, dan membuat suara indah. Satu tanganku membuka sisa kancing kemejanya tanpa melepaskan tautan bibir kami. Bisa ku rasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana. Dan aku memang sudah gila karena 'mengiginkannya'.
Aku semakin bernafsu, berpindah ke lehernya dan lagi-lagi membuat tanda. Tidak terhitung lagi sudah sebanyak apa.
Pertahanan Devan mulai runtuh. Dia menggerakkan tangannya ke dadaku, menggoda keduanya hingga aku melengkungkan tubuhku ke atas merasakan sensasi yang lain.
Devan mengambil tengkuk leher ku dan menariknya hingga bibir kami kembali bertabrakan saling mencecap, dan bertukar lidah.
Devan membalikan keadaan, dia berada di atas ku sekarang. Kilatan matanya terlihat berkabut dan bernafsu. Dia menyeringai nakal. Tidak ada lagi Devan yang baik hati dan sopan. Dia berubah menjadi singa jantan, akibat ulahku.
Aku meracau tidak jelas. Dan memintanya melakukannya sekarang!
Dengan cepat dia melucuti pakaiannya sendiri, tanpa melepas pagutan bibirnya dariku. Lalu melepas dua kain terakhir yang membungkus tubuhku.
Dia menjelajah seluruh inci kulit tubuhku dengan bibirnya, tidak ada yang terlewatkan sedikitpun. Lalu setelah puas bermain-main di bawah sana, membuatku semakin tidak tahan. Dia kembali mencium ku.
"Kamu yakin?" Aku mengangguk.
"Sekarang, Dev!" pintaku.
"Ini akan sakit sayang..."
"Lakukan!" teriakku frustasi.
Aku mengerang kesakitan. Mencakar kulit punggungnya dengan kuku. Sakit!
Devan melakukannya dengan pelan, tapi ini luar biasa sakit!