NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:496
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20. Bayangan Api di Selatan

Malam turun perlahan di atas langit Samudra Jaya, membawa hawa dingin yang menembus dinding batu istana. Obor-obor di sepanjang lorong bergetar ditiup angin, memantulkan bayangan panjang di lantai marmer yang basah oleh embun. Di ruang dalam balairung, Raden Arya masih duduk di meja kerjanya, menggenggam pena bulu yang meneteskan tinta hitam ke atas lembaran lontar.

Tulisan-tulisan itu adalah surat resmi untuk Mandalapura — permintaan bantuan yang atas perintah Prabu Harjaya harus disusun olehnya sendiri. Tapi setiap kali ia menulis kata “memohon bantuan”, jemarinya berhenti. Hatinya terasa berat. Ia tahu surat itu bukan sekadar dokumen diplomatik, tapi juga lambang bahwa Samudra Jaya sedang berada di persimpangan antara kehormatan dan kebutuhan.

“Bagaimana aku bisa menulis dengan hati yang jujur,” gumamnya pelan, “jika yang akan dikorbankan adalah kakakku sendiri?”

Pintu ruangannya berderit pelan. Seorang prajurit muda memberi sembah dan melapor, “Ampun Gusti Raden, Gusti Raden Raksa hendak menghadap.” Arya terdiam sejenak. Lalu ia menatap prajurit itu dan mengangguk. “Persilakan masuk.” Tak lama, Raden Raksa melangkah masuk dengan jubah biru tua, wajahnya seperti biasa tampak tenang dan penuh percaya diri. “Kakangmas belum beristirahat?” tanyanya dengan nada ringan.

Arya tidak langsung menjawab. “Masih banyak yang harus ditulis,” katanya datar. Raksa melirik meja di depan kakaknya, lalu tersenyum samar. “Ah, surat untuk Mandalapura, bukan?” ujarnya, sambil melangkah lebih dekat. “Menarik sekali... Kakangmas yang menulisnya sendiri. Ayahanda pasti bangga.” Nada itu terdengar seperti pujian, tapi Arya tahu di baliknya tersembunyi sindiran. Ia menatap adiknya dengan dingin. “Apa maksudmu, Raksa?” Raksa menautkan kedua tangannya di belakang punggung, berjalan perlahan mengitari ruangan. “Tak ada maksud buruk, Kakangmas. Aku hanya berpikir... betapa beratnya menjadi pewaris tahta. Semua orang berharap padamu, tapi setiap keputusanmu bisa saja menjadi awal kehancuran.”

Arya mengepalkan tangan. “Aku tidak butuh permainan kata darimu, Raksa. Kalau kau datang untuk menguji kesabaranku, lebih baik pergilah.” Raksa berhenti tepat di depan meja. Matanya menatap tajam, tapi bibirnya tersenyum. “Aku tidak datang untuk menguji. Aku datang untuk memperingatkan.”

Arya menatapnya ragu. “Maksudmu?” Raksa mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya menurun tapi penuh tekanan. “Kau tahu, Parang Giri bukan musuh biasa. Mereka tidak akan menyerang tanpa alasan. Ada sesuatu di balik serangan ini — dan aku curiga, ada tangan dari dalam istana yang membantu mereka.”

Arya terbelalak. “Apa yang kau katakan, Raksa? Tuduhan seperti itu berbahaya!”

“Tentu berbahaya,” jawab Raksa cepat. “Tapi lebih berbahaya lagi jika kita pura-pura tidak tahu.” Ia menatap kakaknya lebih dalam. “Aku hanya ingin kau berhati-hati, Kakangmas. Tidak semua orang di sekelilingmu setia pada Samudra Jaya.” Sebelum Arya sempat membalas, Raksa memberi sembah singkat dan berbalik pergi. “Selamat malam, Kakangmas. Semoga surat itu membawa pertolongan, bukan malapetaka.” Suaranya tenang, tapi langkahnya meninggalkan hawa dingin di belakangnya. Begitu pintu tertutup, Arya menatap lontar di depannya. Kata-kata Raksa menggema di kepalanya. ‘Ada tangan dari dalam istana yang membantu mereka…’ Ia menggenggam pena lebih erat, tapi hatinya kini dipenuhi keraguan dan rasa takut yang samar.

---

Keesokan paginya, suasana istana mendadak berubah tegang. Lonceng jaga di menara selatan berbunyi tiga kali — tanda ada pesan penting dari perbatasan. Tumenggung Wiranata datang tergesa-gesa ke balairung, wajahnya pucat.

“Ampun Gusti Prabu!” katanya setelah memberi sembah. “Benteng Narasoma diserang fajar tadi! Pasukan Parang Giri datang dari dua arah — bukan hanya dari selatan, tapi juga dari barat!” Prabu Harjaya berdiri dari singgasananya, tongkat emas di tangannya bergetar halus. “Dari barat juga? Itu mustahil! Mereka tak mungkin menyeberangi hutan Wringin Gede tanpa diketahui prajurit penjaga!”

Tumenggung Wiranata menunduk. “Hamba pun heran, Gusti. Tapi laporan Panglima Aruna jelas. Ada pihak yang membuka jalur rahasia di lembah itu. Musuh berhasil masuk sebelum fajar.” Ruangan seketika hening. Semua mata saling berpandangan. Raden Arya menatap ayahandanya, sementara Raden Raksa duduk di sisi lain, menunduk dengan ekspresi tak terbaca. Prabu Harjaya berujar pelan namun tegas, “Siapkan seluruh pasukan cadangan. Aku akan berangkat ke balai pertempuran sore ini juga.” Namun Patih Nirmala segera menunduk hormat. “Ampun Gusti Prabu, lebih baik biarkan Raden Arya dan Raden Raksa memimpin pasukan. Gusti harus tetap di istana menjaga pusat pemerintahan.”

Prabu Harjaya terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Baik. Arya, Raksa — aku percayakan pertahanan negeri ini pada kalian berdua. Jangan biarkan satu jengkal tanah Samudra Jaya jatuh ke tangan musuh.” Kedua pangeran itu memberi sembah bersamaan, tapi tatapan mereka bertemu sesaat — dan dalam diam, tersimpan dua niat berbeda. Arya membawa tekad untuk melindungi rakyatnya. Raksa membawa rencana untuk membuktikan siapa yang pantas memimpin negeri ini.

---

Di kejauhan, di perbatasan selatan yang diselimuti kabut, pasukan Parang Giri mulai bergerak menembus lembah. Api dari obor mereka membentuk barisan panjang seperti naga menyala di malam hari. Dan di atas bukit kecil di sisi timur medan perang, seseorang dengan jubah hitam berdiri menatap pasukan itu — diam, namun matanya berkilat tajam.

“Sudah dimulai,” bisiknya lirih. “Samudra Jaya akan terbakar… dan bara itu akan melahirkan raja baru.”

“Tunggu sebentar apa yang dia perintahkan selanjutnya jangan gegabah karena jika kita salah bertindak maka hancurlah semuanya,”

“Baik Tuanku,”

***

Sementara itu di paviliun Raden Raksa, matanya terpejam tapi dia tidak benar-benar tertidur hingga ketukan pelan dari seseorang membuka matanya.

“Hhhmm...masuklah...” rupanya itu Sangkara datang tergopoh-gopoh menunduk memberi hormat lalu melaporkan sesuatu.

“Gusti...semuanya sudah siap,” ucap Sangkara.

“Dimana Jaya Rudra?”tanya Raden Raksa dengan tatapan tajam.

“Jaya Rudra ada disana juga Gusti,” jawab Sangkara yang masih menunduk.

“Hhhmmmm...bagus...lakukan malam ini, sebelum itu katakan pada kangmas Arya bahwa aku tidak ikut ke gerbang barat,”

“Sendika dawuh Gusti,” ucap Sangkara lalu pergi meninggalkan Raden Raksa denga senyum liciknya.

“Hhhmmm... Baiklah kangmas Arya sampai mana ilmu pengetahuanmu berjalan,” gumam Raden Raksa pelan lalu menutup, tak lama kemudian Puspa datang dengan membawa jamu malam. Dia tahu malam ini pikiran para pangeran Samudra Jaya sedang dalam keadaan kalut dan genting sehingga nyi Jayem membuatkan jamu yang menenangkan untuk para pangeran dan putri mahkota.

“Ampun Gusti jamu malamnya sudah datang,”

“hhhmmm...masuklah....”

Puspa masuk dengan gugup, rambutnya tergerai panjang sangat indah dan ada bunga melati terselip ditelinganya menebarkan bau harum bunga melati. Raden Raksa memperhatikan Puspa tanpa mengalihkan pandangannya.

“Jamunya sudah siap Gusti,” ucap Puspa sambil meletakkan cawan itu di meja depan Raden Raksa.

“Mendekatlah Puspa,”

“Ampun Gusti, sebaiknya hamba disini saja,” tolak Puspa dengan halus.

“Kenapa....kau tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu,” dengan ragu Puspa pun mendekat. Raden Raksa mengambil cawan itu lalu meminum jamunya kemudian memberikan cawan itu pada Puspa tapi saat akan berdiri Raden Raksa justru menariknya dalam pangkuannya membuat gadis itu terkejut.

“A-apa yang Gusti lakukan?”

“Kenapa? Bukankah kita sudah pernah seperti ini sebelumnya,” jawab Raden Raksa membuat Puspa menundukkan kepalanya karena wajahnya memerah. Tiba-tiba Raden Raksa menyenderkan kepalanya didada Puspa membuat gadis itu benar-benar terkejut bahkan dia menahan nafasnya. Keheningan malam di paviliun itu hanya diiringi suara desir angin yang menyusup di antara tirai sutra. Lampu minyak bergoyang lembut, cahayanya menari di wajah Raden Raksa yang tampak letih. Di dada Puspa, pangeran itu berdiam lama, seolah ingin melarikan diri dari beban dunia luar.

“Kadang aku berpikir... apakah menjadi pewaris tahta benar-benar anugerah, atau justru kutukan,” ucap Raden Raksa perlahan, suaranya serak namun mengandung luka yang dalam. “Setiap langkahku selalu diawasi, setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan seribu pandangan. Aku tak punya ruang untuk jadi diriku sendiri, Puspa.”

Puspa terdiam. Tangannya yang semula kaku mulai bergerak pelan, menepuk lembut bahu sang pangeran. “Ampun, Gusti... tidak semua beban harus Gusti tanggung sendirian. Kadang, bahkan langit yang luas pun butuh hujan untuk menenangkan dirinya.”

Raksa mendongak, menatap wajah Puspa yang lembut dengan mata yang teduh. “Kau bicara seolah mengerti hatiku.”

“Hamba tidak mengerti segalanya, Gusti,” jawab Puspa lirih, “tapi hamba tahu, setiap hati yang baik pasti lelah bila terus disalahpahami. Mungkin Gusti hanya butuh sedikit waktu... dan seseorang yang percaya tanpa bertanya.” Raden Raksa terdiam lama. Kata-kata itu menembus egonya, menenangkan sesuatu yang lama terpendam di dalam dirinya. “Seseorang yang percaya tanpa bertanya...” gumamnya pelan. “Apakah itu kau, Puspa?”

Puspa menunduk, wajahnya merona di bawah cahaya lampu minyak. “Hamba hanya seorang dayang, Gusti. Tugas hamba hanya melayani dan menjaga ketenangan istana.”

“Tidak, Puspa,” potong Raksa lembut, jemarinya terulur mengangkat dagu gadis itu agar menatap matanya. “Kau lebih dari sekadar dayang. Kau adalah satu-satunya yang mampu membuatku merasa... hidup.” Suasana hening sejenak. Di luar, suara serangga malam mengisi udara. Raden Raksa menatap Puspa dengan sorot mata yang tak lagi penuh gairah, tapi kehangatan yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.

“Aku iri pada rakyatku,” lanjutnya pelan. “Mereka bisa tertawa tanpa memikirkan politik, tidur tanpa takut pengkhianatan, mencintai tanpa perlu menyembunyikannya. Sedangkan aku? Semua yang kualami selalu dibatasi tembok dan titah.”

“Namun rakyat juga menaruh harapan pada Gusti,” jawab Puspa lembut. “Mereka percaya Gusti akan jadi raja yang adil. Kadang... mereka yang memikul beban besar adalah yang paling dibutuhkan dunia.” Raksa menatapnya lama, lalu tersenyum—senyum yang jarang muncul, tenang tapi tulus. “Kau tahu, Puspa... andai aku punya permaisuri yang berbicara sebijak ini, mungkin hatiku tidak akan sekosong sekarang.” Puspa tertegun, tak tahu harus menjawab apa. Tapi sebelum ia sempat berkata, Raden Raksa sudah berbisik pelan, “Kau... punya hati yang lembut, ucapanmu meneduhkan seperti embun pagi. Sungguh, kau akan jadi permaisuri yang baik suatu hari nanti.”

Wajah Puspa memerah, matanya bergetar menahan debar. “Ampun Gusti... hamba tak pantas mendapat pujian setinggi itu.” Raksa tertawa kecil, suaranya dalam namun hangat. “Pantas atau tidak bukan urusan dunia, Puspa. Kadang takdir memilih bukan karena darah, tapi karena hati.” Dan malam itu, di antara cahaya redup dan aroma melati yang menenangkan, Raden Raksa untuk pertama kalinya tampak benar-benar damai—seolah semua keluh kesahnya luluh dalam kelembutan seorang gadis sederhana bernama Puspa. Raden raksa kembali menyandarkan kepalanya didada Puspa Menghirup aroma tubuh gadis itu menenangkan sangat menenangkan sementara Puspa menepuk pelan punggung Raden Raksa.

“Aroma tubuhmu sangat menenangkan sama seperti setiap apa yang kau ucapkan tadi,”

Raut wajah Puspa memerah karena kata-kata Raden Raksa, pelukan itu semakin erat seakan-akan tak ingin melepaskan gadis itu walau hanya sedetik. Raden Raksa kembali menegakkan tubuhnya sedikit menunduk menatap gadis itu, begitu juga Puspa menatap Raden Raksa dalam diam, matanya teduh dan penuh pengertian. Dalam sorot itu, tak ada rasa takut, hanya ketulusan yang menembus dinding keras di hati sang pangeran. Raden Raksa menarik napas pelan, seolah ingin mengingat setiap detik kebersamaan itu sebelum lenyap ditelan waktu.

Tanpa sadar, tangan Puspa bergerak pelan, lembut namun pasti, melingkar di leher Raden Raksa. Gerakannya tidak terburu-buru, seolah didorong oleh naluri, bukan keberanian. Ujung jarinya menyentuh kulit pangeran itu dengan hati-hati, lalu naik perlahan membelai rahang tegasnya. Sentuhan itu begitu lembut hingga membuat Raden Raksa memejamkan mata sesaat, merasakan sesuatu yang tak pernah ia temui di singgasana mana pun ketenangan.

“Gusti…” bisik Puspa nyaris tak terdengar, “kadang dunia ini terlalu keras pada mereka yang hatinya tulus.” Raksa membuka matanya. Pandangan mereka bertemu—dua jiwa yang berbeda derajat, namun serupa dalam sepi. “Kau berani sekali, Puspa,” katanya pelan, tapi bukan dengan nada marah, melainkan kagum. “Tak ada seorang pun yang berani menatapku seperti itu… apalagi menyentuhku.”

Puspa menunduk sedikit, namun tangannya tidak terlepas dari leher Raden Raksa. “Hamba tidak bermaksud lancang, Gusti… hanya ingin Gusti tahu, bahwa di dunia ini masih ada yang peduli tanpa pamrih.” Ucapan itu menusuk lembut ke dalam dada Raden Raksa. Ia tersenyum samar, lalu menunduk hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. “Puspa… kau bicara seperti seorang penenun doa. Lembut, tapi menenangkan.”

Puspa menatapnya, bibirnya sedikit bergetar. “Karena hamba percaya, bahkan seorang pangeran pun butuh ketenangan. Bukan dari pujian, bukan dari tahta, tapi dari hati yang tulus.” Raden Raksa terdiam lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan memeluknya erat. Tubuhnya seolah mencari perlindungan dari badai yang selama ini ia ciptakan sendiri. Di dada Puspa, segala keresahan itu seakan menemukan tempat untuk beristirahat.

Puspa membiarkan pelukan itu, matanya menatap kosong ke arah lampu minyak yang bergoyang lembut. Aroma melati dari rambutnya berpadu dengan kehangatan tubuh Raden Raksa, menciptakan ketenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

“Aku sudah lama tidak merasakan ,” ucap Raksa dengan suara berat. “Tapi malam ini… entah mengapa, semua itu terasa tak berarti.”

“Karena Gusti menemukan kedamaian,” jawab Puspa pelan, jemarinya masih di leher sang pangeran. “Dan kedamaian itu… terkadang datang dari hal yang paling sederhana.” Raden Raksa tersenyum kecil, menatap gadis itu dengan penuh rasa syukur. “Kau benar-benar anugerah, Puspa. Andai dunia tahu betapa berharganya ketulusanmu…”

Puspa menggeleng, wajahnya memerah. “Hamba tidak seistimewa itu, Gusti. Hamba hanya ingin melihat Gusti bahagia.” Raden Raksa menarik napas pelan, lalu menundukkan kepalanya di bahu gadis itu. “Dan malam ini… aku bahagia,” bisiknya. Di luar, angin malam berhembus lembut membawa harum melati yang menenangkan, sementara di dalam paviliun itu, dua hati yang berbeda dunia saling menemukan kedamaian di bawah cahaya temaram.

Bunyi ketukan pintu melepaskan pelukan itu terdengar suara abdi dalem yang memberitahukan kalau Raden Arya ingin bertemu. Ketukan pintu membuat keheningan paviliun itu pecah. “Ampun, Gusti... Raden Arya hendak menemui Gusti Raksa,” ucap abdi dalem dari luar.

“Baiklah... biarkan kangmas Arya masuk,” sahut Raden Raksa tenang. Puspa buru-buru hendak berdiri, tapi tangan Raden Raksa masih melingkar di pinggangnya, menahannya halus namun kuat. “Gusti... mohon, lepaskan,” bisik Puspa panik. Namun baru ketika pintu terbuka, genggaman itu melonggar—terlambat. Raden Arya berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam, membeku melihat adik tirinya dengan Puspa yang masih duduk terlalu dekat. Suasana seketika menjadi berat, udara seolah kehilangan napasnya.

“Aku datang untuk membicarakan perbatasan barat,” ucapnya datar, tapi suaranya mengandung sesuatu yang sulit disembunyikan. “Tapi tampaknya... kau sudah punya urusan lain.” Puspa menunduk dalam-dalam, sementara Raden Raksa hanya menatap dengan senyum samar, seolah menikmati situasi itu.

“Tentu saja, kangmas. Aku akan menyusul—setelah urusanku selesai.” Raden Arya tak menjawab lagi. Ia hanya menatap keduanya satu kali lagi—pandangan yang singkat namun penuh luka—sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Di belakangnya, Raden Raksa masih tersenyum, sementara Puspa menunduk gelisah. Dan di dada Raden Arya, sesuatu retak perlahan antara cinta yang tak sempat tumbuh, dan rasa cemburu yang tak bisa diucapkan.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!