Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Kamu duduklah Amera."
Almaira mempersilahkan Amera duduk di hadapannya.
"Kamu sedang sibuk. Aku tahu, selama di rumah kamu selalu melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak mengganggumu, kan?"
"Tidak apa-apa, sudah lama aku tidak melakukannya. Mau minum sesuatu?"
"Tidak perlu, Almaira, kamu duduk saja disini bersama ku."
Amera dengan santai mengamati ruangan yang ada di lantai atas sebelum pandangannya jatuh pada sebuah foto pernikahan yang baru dia lihat. Ini adalah pertama kalinya dia di perbolehkan menginjak kakinya di ruangan itu.
"Gaya mu di foto, lucu sekali ya."
"Ah benarkah, di foto itu aku bergaya dengan asal-asalan."
"Tapi menurutku ini sudah luar biasa. Aku penasaran bagaimana hasil akhirnya nanti."
Degh
Jari-jari Almaira menggenggam erat tangannya yang berada di atas pahanya. Mata Amera yang meneliti foto dengan saksama membuat udara di ruangan terasa sesak. Saat perempuan itu mengangkat kepala dan tersenyum ramah, ketegangan semakin menjadi. Perasaan buruk yang tidak bisa diabaikan berkecamuk dalam hati. Alasan Amera mencarinya, seberapa keras pun dia berpikir hanya ada satu.
Amera kembali menata Almaira, menatap langsung ke matanya.
"Almaira terimakasih"
"Apa?"
"Aku berterima kasih karena kamu masih menemani ku bermain."
Ekspresi kaku yang sejak tadi melekat di wajah Almaira tiba-tiba runtuh dalam diam. Amera mengatakan itu dengan ekspresi puas.
"Ah, jangan salah paham. Aku juga tahu, kamu selalu menganggapnya hanya suami sementara. Kamu tidak mungkin menganggap pernikahan ini serius, kan?"
Nada bicaranya begitu santai, seolah menyampaikan kebenaran yang sudah sepatutnya diterima.
"Jadi nikmatilah waktumu bersamanya. Bermainlah sepuasnya, dan saat semuanya selesai, kembalikan dia pada ku. Aku sudah menunggu kamu akan bosan selama tiga tahun ini, tapi ternyata tidak."
"……"
"Kamu mengerti maksudku, kan? Kupikir, aku sudah menyampaikan maksudku dengan jelas sebelum hari pernikahan, tapi sepertinya kamu tidak menangkapnya."
Tatapan Amera dingin, meruntuhkan niat Almaira yang dia anggap terlalu naif. Seolah menunggu pengakuan, matanya mengunci pandangan Almaira dengan tajam.
Di bawah sorot mata itu, Almaira tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Amera akhirnya melonggarkan ekspresinya. Tatapannya kini menyiratkan kebaikan yang tampaknya mudah diberikan, selama Almaira mau mengakhiri hubungannya dengan Yaga.
Namun dalam situasi seperti ini, Almaira masih saja berpikir betapa miripnya tatapan wanita itu dengan Ibunya. Garis mata yang sedikit melengkung saat berbicara, bahkan dalam kata-kata yang menyakitkan sekalipun.
Saat itu juga, Amera mengulurkan tangannya
"Aku terlalu klise, bukan?"
Namun, dia tetap tersenyum seolah sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia meraih tangan Almaira, menepuk punggung tangannya seolah memberinya peringatan agar tidak menolak.
"Jangan bersikap naif Almaira. Jangan bilang kamu tidak bisa mengakhiri nya. Aku tidak ingin mendengar itu. Aku sengaja datang kesini, takut kamu berubah pikiran dan tidak jadi bercerai."
"Aku..."
"Menikah dengan sepupu, itu tidak di benarkan Almaira."
Amera memotong, menatap mata Almaira seolah menunggu persetujuan.
Tatapan itu, suara itu, mengingatkan pada seseorang yang pernah membuat hati Almaira bergetar. Namun kali ini, itu membuatnya merasa tersudutkan.
Genggaman tangan Amera semakin erat di atas tangan Almaira.
Urat di punggung tangannya menonjol, menunjukkan tekanan yang dia berikan.
"Maaf Amera..."
Dalam sekejap, Almaira menarik tangannya dengan paksa. Wajah Amera langsung berubah dingin.
"Em?"
"Sekarang, aku benar-benar jatuh cinta pada suamiku"
".....Ah, Begitu ya."
"Aku mengerti semua yang kamu katakan, tapi aku tidak bisa bercerai dengan Kak Yaga. Aku benar-benar minta maaf."
Amera mendesah pelan, lalu tersenyum tipis, seolah menyesal karena gagal membujuknya.
"Aku tahu, cinta lebih dari cukup, tetap saja kamu tidak akan bisa. Pernikahan itu hanyalah perpanjangan dari bisnis Almaira."
Amera menghela napas panjang. Saat itu juga, ekspresinya berubah dingin.
"Hingga saat ini, kamu masih belum mengerti, Kak Yaga menikahi kamu hanya untuk meraih keuntungan."
"......"
Almaira mengejapkan matanya perlahan, berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. Namun, pipinya terasa nyeri. Meskipun pikirannya mulai kabur, kata-kata yang diucapkan Amera tetap terdengar jelas.
Kak Yaga menikahi kamu hanya untuk meraih keuntungan
"Kedengarannya berlebihan? Tidak. Jika Kak Yaga menikahi sepupu seperti kamu, itu sama saja dengan menghilangkan mimpinya. Itu yang kamu sebut cinta? Itu di sebut ketulusan?"
Seperti hujan deras yang pernah mengguyur wajahnya ketika Almaira berjuang mati-matian untuk tetap hidup, suara Amera kini menggema, penuh dengan amarah yang tertahan. Berhasil melewati jalan itu tiga tahun lamanya, namun sekarang, kenapa rasanya dia masih terperangkap di jalan yang sama?
Seperti labirin yang tidak berujung.
Almaira menatap Amera dengan mata kosong. Sementara itu, Amera menghela napas kasar, seolah benar-benar kehabisan kesabaran.
"Kenapa kamu tidak bisa mengerti setelah beberapa kali ku katakan, sampai aku harus mengucapkan hal seperti ini?"
"…….."
"Jawab aku. Katakan kalau kamu akan mengakhiri hubungan mu dengan Kak Yaga. Aku ingin mendengar jawaban itu sebelum aku pergi."
Amera melangkah lebih dekat dan mencengkeram bahu Almaira dengan kuat.
Almaira menyeringai kecil, lalu melepaskan genggaman itu dengan paksa. Wajah Amera seketika mengeras.
"Jawab aku!"
Tanpa menanggapi, Almaira berdiri dari kursinya. Namun entah bagaimana, saat kakinya menyentuh lantai, tiba-tiba rasa sakit yang tajam merayap di tubuhnya, dia hampir terjatuh, tapi segera bertumpu pada sofa agar tetap berdiri. Dalam sekejap, wajahnya berkerut menahan rasa sakit saat dia menatap Amera dari bawah
"……”"
Mungkin karena melihat betapa mengenaskannya dirinya saat itu, Amera tampak sedikit ragu.
Keringat dingin mengalir di punggung Almaira, tetapi dia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya lebih dari ini.
Dia masih bisa mengingat tatapan Amera yang begitu mirip dengan Ibunya, tatapan yang pernah mengamatinya dalam keadaan paling rapuh. Mata Almaira yang memerah karena menahan rasa sakit kini menatap lurus ke arah Amera.
"Pergilah, Amera.''
"Tidak, bukan begitu seharusnya Almaira. Beri aku imbalan sebelum aku pergi. Aku akan menikah."
Seketika keheningan menyelimuti mereka.
Almaira tercekik, setelah melontarkan penghinaan yang begitu tajam. Ujung-ujungnya yang di katakan perempuan itu hanyalah transaksi?
Ini bukan hanya soal uang, tapi kenapa, dari dulu perempuan itu tidak pernah berubah.
Selalu memanfaatkan situasi
Dulu, Almaira masih ingat, bagaimana perempuan itu menyodorkan sebuah kontrak untuk menutup mulutnya.
Meski perempuan itu yang menyarankannya untuk berpura-pura berpacaran agar terhindar dari status pernikahan.
Namun sia-sia.
Pada akhirnya, Almaira tersadar. Dirinya yang mudah di manfaatkan itu benar adanya.
Lebih pahit lagi, dirinya yang dulu bagi perempuan itu tetap sama.
Almaira tertawa kecil, mengingat betapa bodohnya dia mencurahkan perhatian dan usahanya untuk sesuatu yang akhirnya tidak berarti.
Hhh,
Almaira menghela nafas panjang. Perasaan tersudutkan masih menyelimuti, menyesakkan dadanya.
"Aku akan kirim uangnya besok. Anggap saja ini hadiah perpisahan, untuk mengakhiri segalanya. Jadi…"
"……''
"Aku tidak akan bercerai. Dan sekarang, pergilah.."
"....."
Amera berdiri dari duduk
"Baiklah, aku akan pergi."
"Amera, kalau kamu sudah menerima uangnya. Tepati janjimu, kita jangan saling berhubungan lagi."
Setelah terdiam beberapa saat, Amera akhirnya melangkah pergi. Seolah merasa enggan untuk berada di tempat yang sama lebih lama lagi, langkahnya terdengar semakin menjauh dengan cepat.
Begitu orang yang tak diinginkan itu menghilang, jantung Almaira bergetar.
Bukan karena kepergiannya. Bukan karena hinaan yang diterimanya. Melainkan, betapa beruntungnya dia mempertahankan pernikahan ini. Mempertahan cinta ini.
Setidaknya itu yang dia rasakan
* * *
Di dalam kamar pribadi Almaira
Sejumlah uang telah dia siapkan, sementara barang-barang yang pernah diterimanya, termasuk foto-foto kenangan, dia masukan ke tempat sampah.
Kemudian, Almaira mencuci wajahnya dengan air dingin di wastafel kamar mandi, lalu kembali ke tempat tidur seolah tidak ada yang terjadi.
Malam sudah begitu sunyi.
Almaira menoleh ke arah pintu kamar sebentar, lalu segera melangkah ke tempat tidur yang pernah dia gunakan selama tiga tahun itu. Begitu membenamkan diri ke dalam selimut, dia akhirnya merasakan kehangatan yang nyaman.
Sambil menatap kosong ke jendela, getaran di sampingnya menarik perhatian.
[Suamiku]
Almaira menatap nama itu dengan perasaan malu, lalu memasukkan hpnya ke bawah bantal.
Dia memiringkan tubuhnya dan meringkuk dalam diam. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergapnya dan tangannya mulai merogoh perlahan.
Saat itulah, suara langkah kaki terdengar pelan. Pintu terbuka, membawa udara dingin yang menyelinap masuk. Tidak lama kemudian, sisi tempat tidur sedikit tertekan, dan tubuh yang kokoh melingkupi dari belakang.
Begitu suhu dingin menyentuh tengkuknya, tubuh Almaira menegang dan dia menarik napas.
"Aku membangunkan mu ya?"
Tangan besar yang merangkulnya perlahan bergerak, jari-jarinya menggenggam erat di antara jemarinya. Saat kejadian siang tadi melintas di benaknya, tubuhnya seketika menegang.
Perlahan, dia menarik tangannya dan membalikkan tubuhnya menghadap Yaga.
Laki-laki itu tersenyum kecil dan melingkarkan lengannya di pinggang Almaira, lalu mengecup pipinya beberapa kali.
"Hmm."
"Apa yang kamu lakukan hari ini? Setelah makan?"
"Aira menonton tv"
Untungnya, ruangannya begitu gelap. Setidaknya, dalam pekatnya malam ini, dia bisa menyembunyikan wajah yang masih memerah karena malu. Suaranya yang sedikit berbisik pun bisa dia anggap sebagai efek kantuk semata.
"Lalu?"
"Lalu apa maksud Kak Yaga?"
"Kamu memikirkan ku?"
"Mmm… ya."
Yaga tertawa pelan, lalu mendorong tubuhnya perlahan ke bawah. Dia meraih tangan Almaira dan mengecup ujung jarinya satu per satu. Wajah laki-laki itu samar dalam kegelapan, seperti kenangan yang perlahan memudar dari waktu ke waktu.
Mungkin suatu hari nanti, semua perjalanan ini akan menjadi pengalaman yang tidak begitu menyakitkan
Ya Tuhan
Dulu, Aira pernah bermimpi bisa berjalan bersamanya di bawah sinar matahari, bergandengan tangan. Namun dia terlalu jauh untuk berbagi siang yang sama.
Dipisahkan oleh jarak dan waktu, Aira bahkan tidak berusaha untuk berada di sisinya, malah memikirkan soal perceraian.
Betapa bodohnya
Andai Aira tahu dari awal kalau kebenaran itu ternyata seperti ini, Aira akan lebih banyak berbicara tentang kebahagiaan dan melakukan hal-hal yang menyenangkan daripada mengungkung rasa canggung tak berujung.
Aira akan berbagi cerita, lalu tersenyum lebih cerah, seperti dulu.
Terlambatkah?
Saat memikirkan itu, Almaira mengulurkan tangannya, melingkarkan lengannya di bahu Yaga, lalu perlahan dia menarik wajahnya untuk menciumnya. Dia mendekapnya erat, membiarkan dirinya hanyut dalam irama yang dituntun oleh laki-laki itu.
Di antara ciuman yang dalam, air matanya jatuh. Namun Yaga hanya diam, mengecup air matanya, seolah ingin menenangkannya.
Dalam gerakan mereka yang tak terbendung, dia menyusupkan bisikan yang samar di antara napas mereka yang memburu.
Aku mencintaimu.
***
Yaga duduk di tepi kasur, menatap Almaira yang sudah tertidur lelap.
Dia mengusap kelopak mata yang sembab dengan ujung jarinya. Almaira hanya mengerutkan kening tanpa membuka matanya. Bahkan ketika dia menepuk pipinya pelan untuk membangunkannya, gadis itu tetap diam.
Alih-alih, dia hanya berguling ke sisi lain membelakangi, seolah meminta untuk tidak diganggu.
Dia tahu ini adalah akibat dari permintaan tadi malam, permintaan untuk dimaafkan. Dan dia telah melakukannya tanpa ragu, seperti orang gila. Kini, balasannya adalah punggung yang membelakangi dirinya.
Yaga teringat malam pertama mereka. Ketika tubuhnya begitu rapuh, tetapi dia tetap menahannya.
Ketika suara napasnya yang terputus-putus terdengar seperti kicauan burung yang lemah.
Yaga memandang sekeliling kamar.
Ini adalah kamarmu. Tempat di mana kamu melewati masa kesendirian selama tiga tahun.
Yaga masih bisa membayangkan versi SMA dari Almaira dengan pipi tembem yang merona. Namun, seiring dengan gambaran itu, ada perasaan asing yang sulit dia pahami.
Mungkin karena dia berharap bahwa di dalam kamar ini, gadis itu banyak tertawa.
Meskipun ada kesedihan dan kesepian, Almaira masih bisa tersenyum dengan mata yang cerah. Namun, dia tahu bahwa kenyataan tidak seindah itu.
Yaga tahu, gadis itu lebih sering menangis daripada tidak. Menangis karena menahan rasa sakit, karena kesepian, karena kehancuran, karena rasa malu. Dia menangis bukan karena ingin, tetapi karena situasi tidak memberinya pilihan.
Yaga mengingat pertama kali dia masuk ke kamar ini dihari kepulangannya.
Ketika gadis itu masih canggung membiarkannya masuk. Ketika ruang ini dipenuhi peralatan seorang gadis remaja yang tampak penuh warna, namun tertata dengan caranya sendiri. Dan entah kenapa, melihatnya saat itu membuatnya tertawa.
Saat itu, hanya senyumanmu di dalam foto yang menggangguku. Aku bahkan tidak tahu betapa luar biasanya itu.
Yaga menempelkan bibirnya dengan lembut di bagian belakang kepala Almaira. Napas gadis itu kini terdengar semakin halus, hampir tidak terdengar.
"Harusnya kamu belajar pura-pura tidur lebih baik dari sekarang, Almaira."
Bahu Almaira sedikit bergetar. Dia mengintip ke arah Yaga dengan mata yang masih sembab, berkedip beberapa kali.
Yaga mengulurkan tangannya, dengan lembut menutup kelopak mata Almaira yang sembab
"Tidur saja. Dengarkan sambil tidur."
"Hmm..."
"Aku harus pergi sedikit lebih awal karena ada urusan yang harus kuselesaikan. Tiga hari lagi."
Almaira mengangguk kecil. Melihat itu, Yaga tersenyum. Ujung jarinya mengusap pelan sudut mata Almaira, seolah menghapus sisa air mata yang telah lama menggenang di sana.
Yaga tetap berada di sisinya hingga Almaira benar-benar tertidur.
Awalnya, gadis itu sedikit gelisah, sulit terlelap. Namun, setelah beberapa kali usapan lembut di rambutnya, napasnya akhirnya mulai teratur.
Yaga menutup pintu dengan pelan, lalu meraih minuman kaleng dalam kulkas, rasa mentol yang segar melewati tenggorokannya, seolah membersihkan kekacauan dalam pikirannya.
Kemarin, Yaga pergi untuk menemui ayahnya secara pribadi. Dia menyambutnya dengan senyum tipis.
"Aku datang untuk menyampaikan salam setelah berkunjung ke rumah."
Di perpustakaan keluarga, Pratama duduk dengan latar belakang taman bunga yang luas. terlihat seolah telah menantinya sedari tadi.
Ketika dia berdehem kecil dan menyipitkan mata pada Yaga, tampak jelas bahwa meski kedatangannya terlambat, Pratama tidak bisa banyak protes. Bagaimanapun, dia sendiri yang memberinya rumah baru.
"Duduklah."
Suaranya terdengar begitu lembut, hampir seperti sanjungan, tetapi ada keteguhan di dalamnya. Yaga mencium punggung tangannya, lalu duduk di sisinya.
Setelah berbasa-basi dengan laporan pekerjaan, akhirnya mereka masuk ke inti pembicaraan.
"Aku dengar Ayah akan memberikan sejumlah uang kepada Pak Bram."
"Kalau memang benar, lalu kenapa?"
"Kuharap Ayah berhenti."
Mata Pratama sedikit berkerut.
"Maksud kamu? Ada masalah dengan itu?"
Yaga mengeluarkan sebuah dokumen dari amplop yang dibawanya.
Itu adalah laporan tentang transaksi keuangan yang telah diselidiki oleh Yaga dan Pak Berta
Dana bantuan itu dalam waktu dekat rencananya akan digunakan untuk memutuskan tali pertemanannya dengan Pak Bram. Atas perlindungan kakeknya terdahulu yang sudah membuat Pratama berutang budi.
Oleh karena itu, permintaan agar tidak lagi memberinya pertolongan punya alasan yang cukup kuat.
"Ini peringatan?"
"Benar ayah. Aku hanya merasa kecewa. Melihat betapa konyolnya tindakan ayah dan Ibu saat aku tinggal di luar negri."
"Bukan itu maksud Ayah. Kamu tahu bagaimana Kakeknya terdahulu telah membantu keluarga kita saat masa-masa sulit?"
"Aku dengar tiga tahun lalu juga sudah ada masalah terkait kasus Amera. Sampai ayah rela di salah pahami oleh ayah mertua."
"Sampai sejauh mana kamu menyelidiki semua ini?"
"Dua kali sudah terjadi. Kalau terjadi ketiga kali, tentu akan lebih mudah. Jika sesuatu yang lebih serius terjadi. Takutnya, Bram akan menyeret ayah mertua ke dalam skandal, yang bahkan ayah dan ibu tidak tahu apa-apa. Dan aku sangat mengkhawatirkannya."
Pratama menghela napas panjang. Matanya berkedip singkat, tampak ragu. Tentu saja, dulu almarhum sang Kakek bahkan tidak pernah menyetujui bantuan itu.
Sang Kakek pernah mengatakan, hutang budi memang harus di balas. Tapi, jika di kaitkan dengan masalah, maka akan menambah masalah.
Dan sialnya, perkataan itu benar-benar terjadi. Yang membuat Pratama mengerutkan dahinya.
Yaga menyeringai kecil mengingat ekspresi sang Ayah.
Tiba-tiba terdengar suara dengungan mesin dari arah kuar. Dia mengerutkan kening dan menoleh.
Salah satu jendela yang mengarah ke taman tidak tertutup dengan benar. Lalu menoleh sekali lagi ke tempat Almaira sedang tidur.
Yaga menghela napas kecil dan beranjak, berjalan melewati lantai dengan langkah lebar. Saat dia hendak menutup jendela itu dengan benar, matanya tertuju pada sebuah amplop tebal yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur.
Kemudian, dia kembali menoleh ke tempat gadis itu yang masih tertidur lelap. Bercampur dengan rasa tidak nyaman yang sejak tadi menggelitik perasaannya.
Di ujung pandangannya, dia melihat amplop tebal yang perah terlempar dari dalam tas Almaira.
Amplop tebal yang pernah dia lihat, yang tergeletak di lantai kamarnya pada pagi hari setelah dia tidur dengan Almaira.
Seolah takdir, ini adalah yang ketiga kalinya.
Dia mencoba mengingatnya. Nama toko bunga yang tercetak di amplop itu.
Summer Blossom. Sepertinya begitu.