NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:826
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20

Bakda magrib, malam minggu Wage menurunkan hawa lembut ke atas Desa Wonosari. Langit tak benar-benar gelap—masih ada sisa cahaya jingga di ufuk barat yang belum sepenuhnya padam. Angin menyelinap pelan lewat celah jendela, membawa aroma tanah dan dedaunan basah.

Di rumah Ki Ratmoyo, suasana terasa damai. Di ruang tengah, Ki Ratmoyo duduk bersila di atas tikar pandan, mengenakan sarung garis-garis dan kaos lengan panjang. Ia tengah bercakap santai dengan Sundari, istrinya, yang duduk bersandar di sisi dinding, menggenggam cangkir teh hangat.

Topik mereka tidak berat—tentang rencana panen di sawah kecil warisan mertua, tentang kabar dari adik Sundari di Blitar, tentang listrik yang sempat padam sore tadi.

Sementara itu, Ki Sanusi, orang tua sepuh yang kini jarang banyak bicara, duduk di kursi kayu tua yang diletakkan menghadap televisi. Matanya mengarah ke layar yang menayangkan berita malam, tapi tatapannya tampak jauh—seperti tengah menapak pada kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu arahnya. Sesekali ia mengangguk kecil, mungkin bukan karena isi berita, melainkan karena pikirannya sendiri.

Di dalam kamar, Asmarawati duduk di meja belajarnya. Lampu meja menerangi halaman-halaman buku pelajaran yang terbuka. Namun, matanya lebih sering melirik ponsel yang tergeletak tak jauh dari bukunya. Tak ada notifikasi baru, tapi jarinya tetap menyentuh layar—membuka, menutup, lalu membuka kembali, seolah berharap sesuatu muncul di sana.

Suasana rumah terasa seperti malam-malam biasanya. Hening, tapi bukan sunyi yang asing—melainkan keheningan yang akrab, yang ditenun dari kebersamaan orang-orang yang saling diam dengan caranya masing-masing.

Tak ada suara keras. Tak ada ketukan. Hanya detik jam dinding yang terus berjalan, dan suara gelas diletakkan pelan di atas tatakan. Waktu seperti berjalan lambat di rumah itu, seolah enggan meninggalkan mereka yang masih ingin duduk, bercakap, atau sekadar diam dalam damai.

Dan malam pun terus tumbuh—seperti benih yang disemai keheningan, menunggu sesuatu yang belum diketahui akan mekar jadi apa esok harinya.

"Assalamualaikum..."

Sebuah salam terdengar dari arah depan, lirih namun jelas. Membelah keheningan malam dengan sopan santun yang sudah jarang dijumpai.

"Waalaikumsalam," sahut Ki Ratmoyo dan Sundari hampir bersamaan dari ruang tengah.

Ki Ratmoyo menoleh ke arah istrinya, lalu berkata pelan, "Sepertinya ada tamu. Bukakan pintunya, Bu."

Sundari mengangguk dan segera bangkit. Langkahnya ringan melewati ruang tamu yang senyap, menuju pintu depan. Begitu daun pintu terbuka, tampak sosok muda berdiri di teras, mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jins gelap. Senyumnya ragu, tapi matanya sopan.

"Asmarawati ada, Bu?" tanya Wiji hati-hati.

"Eh, ada, le. Masuk dulu, ayo."

"Sembah nuwun, Bu. Kula lenggah ten mriki mawon."

(Terima kasih, Bu. Saya duduk di sini saja.)

"Oh iya sudah, sebentar. Ibu panggilkan dulu Asmara." Sundari tersenyum, lalu menoleh ke dalam.

"Asmara! Ini ada tamumu, Nduk!"

Tak butuh waktu lama, pintu kamar terbuka. Asmarawati muncul dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir sederhana, matanya langsung berbinar saat melihat siapa yang datang.

"Mas...?" sapanya pelan. Ia lalu duduk di bangku rotan di sisi teras, berhadapan dengan Wiji yang sudah lebih dulu duduk.

"Kamu ndak sibuk, kan?" tanya Wiji sambil menyandarkan punggungnya.

"Ndak, Mas. Sampean dari mana dan mau kemana?" Asmarawati membenarkan letak taplak meja kecil di antara mereka.

"Aku dari rumah. Dan tujuanku ya... cuma kesini." Jawabannya sederhana, tapi jujur.

Asmarawati mengerucutkan bibir. "Kok ndak ngabar-ngabarin dulu, kalau mau ke sini?"

"Maaf, aku tadi ndak sampai kepikiran. Pingin ke sini aja... langsung," kata Wiji sambil menunduk.

Tak lama kemudian, suara pintu terbuka dari dalam. Sundari muncul lagi sambil membawa secangkir teh hangat di atas nampan hitam bergambar bunga mawar.

"Kok ngobrolnya di luar? Mbok ya di ajak masuk, Nduk. Di luar dingin," katanya lembut.

Wiji buru-buru menjawab, "Boten nopo-nopo, Bu. Kersane ten mriki mawon. Isis."

(Tidak apa-apa, Bu. Biarlah di sini saja. Sejuk.)

Sundari tersenyum tipis, lalu meletakkan cangkir teh itu di atas meja bundar di antara mereka. Setelah itu, ia kembali ke dalam, langkahnya pelan, menyisakan dua muda-mudi itu di bawah sinar lampu teras yang kekuningan.

Malam pun terus berjalan, membawa mereka dalam percakapan yang tak perlu buru-buru selesai.

"Siapa to, Bu?" tanya Ki Ratmoyo pelan sambil tetap duduk, tak segera menoleh.

"Sepertinya itu anaknya Pak Kaji Mispan, Pak. Yang kemarin mengantarkan selendang milik Asmara itu lho," jawab Sundari sambil membereskan gelas teh yang baru diletakkan.

Sekilas, raut wajah Ratmoyo tampak berubah. Tatapannya yang tadinya tenang, kini seperti dilapisi awan mendung tipis. Ia pun berdiri, berjalan pelan ke jendela, menyingkap tirai, lalu mengintip ke arah teras rumah. Di sana, di bawah temaram lampu gantung, duduk Wiji—anak dari lelaki yang sudah lama ia simpan dalam bilik kekhawatiran masa lalu.

Ia diam. Hatinya bergolak, tapi wajahnya tetap datar. Ia tahu, sebagai orang tua dan tokoh masyarakat, ia tak boleh bertindak gegabah.

Ratmoyo menarik napas, lalu membuka pintu dalam dengan suara yang sengaja dibuat terdengar.

"Sudah lama, Le?" sapanya singkat, mencoba menjaga nada suara tetap tenang.

"Nembe mawon, Pak," jawab Wiji sopan, sambil sedikit membungkukkan badan. Suaranya rendah, penuh tata krama.

Tak ada kalimat lanjut dari Ratmoyo. Ia hanya mengangguk tipis, lalu kembali masuk ke dalam. Tapi langkahnya tak tenang. Ia mondar-mandir dari ruang tengah ke ambang ruang tamu, lalu kembali lagi. Seolah tubuhnya gelisah mencari tempat untuk menyandarkan perasaan yang tak selesai.

Sundari yang melihat kelakuan suaminya, akhirnya tak tahan.

"Ada apa to, Pak? Kok mondar-mandir kayak mandor kebon tebu saja!" tegurnya, setengah bercanda.

Ratmoyo tersentak pelan, tapi buru-buru menutupi. "Eh, ndak apa-apa, Bu. Bapak cuma... ya merenggangkan otot sedikit."

Sundari mencibir halus, sambil menggelengkan kepala. "Ada-ada saja Bapak ini."

Ia tak pernah tahu, bahwa nama Mispan bagi Ratmoyo bukan sekadar "lawan politik" semasa dukungan kepada Lurah Sungkowo dulu. Di matanya, itu hanya percikan kecil dari dunia desa yang wajar—adu gagasan, beda pandangan.

Tapi tidak bagi Ratmoyo. Di balik senyum tenangnya malam ini, tersimpan kenangan pahit dari masa lalu. Ketakutan yang belum pernah dibicarakan, bahkan kepada istrinya sendiri. Ketakutan yang diam-diam masih hidup—dan kini, hadir kembali dalam bentuk seorang anak muda yang tengah duduk di teras rumahnya, bercakap dengan putrinya yang paling ia sayangi.

Dan malam pun berjalan. Di dalam rumah, gelisah menari di dada lelaki tua yang pandai menyembunyikan riwayat. Sedang di luar, dua anak muda masih bercakap di bawah teras yang diam-diam menyaksikan segalanya.

Sesaat setelah adzan isya selesai berkumandang, langit Wonosari kian kelam dan angin malam mulai turun perlahan. Dari dalam rumah, Ki Sanusi melangkah keluar. Tangan tuanya menggenggam tongkat kayu. Langkahnya lambat, namun mantap. Ia menuju teras, lalu duduk di antara Asmarawati dan Wiji, yang sejak tadi masih terlibat dalam perbincangan ringan.

Matanya yang mulai rabun menatap wajah Wiji lama-lama. Alisnya sedikit berkerut.

"Sepertinya aku ndak asing dengan wajahmu..." ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Kamu ini, anaknya Mispan, kamu yang sering lewat depan rumah sini, ya?"

Wiji buru-buru menunduk sopan.

"Nggih, Mbah... Kaleresan makaten." (Ya, Mbah... Memang benar demikian.)

"Oh, iya, iya. Aku ingat sekarang..." Ki Sanusi tersenyum tipis. "Bagaimana kabar bapakmu, Le?"

"Alhamdulillah, pangestu panjenengan. Pawartosipun bapak kula sae," (Alhamdulillah berkat doa anda kabar bapak saya baik.) jawab Wiji dengan bahasa krama yang halus dan penuh unggah-ungguh. Nada suaranya tenang, tertata seperti seorang ksatria muda yang tahu benar kapan harus menunduk, kapan harus bicara.

Asmarawati tersenyum melihat itu. Dalam hatinya, ada rasa bangga dan kagum yang tumbuh diam-diam.

"Syukurlah. Senang aku mendengarnya," balas Ki Sanusi, senyumnya keriput namun tulus. Ia lalu menatap ke langit sebentar, seperti sedang menarik kenangan dari udara malam.

"Dulu, waktu masih muda, bapakmu sering berada di sini. Ia ikut aku di Ngudi Laras, jadi penabuh kendang... kadang juga balungan."

Wiji terperangah. Baru kali ini ia tahu bahwa ayahnya pernah menjadi bagian dari kelompok seni yang diasuh kakek Asmarawati itu. Bahkan Asmarawati sendiri ikut terkejut.

"Ya, dulu aku juga sempat mengajarinya mendalang. Dan... ya, bakatnya cukup menonjol waktu itu. Gerakan sabet-nya lincah, suluk-nya mendayu-dayu. Mirip almarhum Ki Hari Bawono, dalang paling terkenal dari Jawa Timur waktu itu..."

Ki Sanusi menghela napas perlahan, lalu melanjutkan,

"Tapi sayangnya, itu tak berlangsung lama. Suatu hari ia memutuskan untuk keluar dari Ngudi Laras. Katanya ingin mencoba peruntungan di dunia usaha. Dan elok tenan, sekarang bapakmu sudah jadi pengusaha sukses."

Nada suara Ki Sanusi tetap netral. Ia memilih menyimpan kisah sebenarnya—kisah pahit yang dulu mencuat di tubuh Ngudi Laras. Ia tak tahu bahwa keputusan Mispan keluar waktu itu bukan karena keinginannya, melainkan karena satu nama: Ratmoyo.

Bagi Ki Sanusi, Mispan adalah masa lalu yang tak sepenuhnya buruk. Maka malam itu, di bawah terang lampu teras dan gemerisik daun jambu, ia merasa seperti melihat masa lalu kembali hadir—dalam sosok anak muda yang sopan, tenang, dan penuh unggah-ungguh.

Obrolan mereka berlanjut hingga jam delapan malam. Ki Sanusi tampak betah. Ia tersenyum berkali-kali, seperti sedang bercakap dengan bayangan masa lalu yang tak ia sangka bisa hadir kembali dalam wujud berbeda.

Namun tidak demikian dengan Ki Ratmoyo. Dari balik dinding rumah, ia mendengar semuanya. Ia tahu siapa yang sedang duduk bersama putrinya. Dan semakin malam, pikirannya makin berisik oleh kekhawatiran.

Wiji—anak dari Mispan, seseorang yang pernah ia hinakan, di masa lalu—kini duduk di rumahnya. Lebih dari itu, ia mulai dekat dengan putrinya. Dalam diam, Ratmoyo tahu, Wiji bukan sekadar kunjungan. Ini Wiji atau benih bom atom yang jika dibiarkan, bisa meledak.

Baginya, hubungan itu adalah percikan api yang rawan menyulut kembali bara lama. Ia, dan Mispan, seperti air dan minyak. Tak bisa menyatu. Tak akan bisa, pikirnya. Tapi malam terus berjalan. Dan waktu, seperti biasa, tak pernah bisa dicegah.

Jarum jam telah bergeser ke angka setengah sembilan malam. Angin malam berembus pelan, membawa kesejukan dan rasa enggan yang mengendap di dada. Wiji akhirnya berpamitan. Banyak yang ia dapat dari perbincangannya dengan Ki Sanusi malam itu—terutama tentang sang bapak, yang ternyata pernah menjadi murid kesayangan di Ngudi Laras.

Namun, rasa heran masih menggelayut di pikirannya. Mengapa justru bapaknya melarang keras ia mendekati Asmarawati? Kenapa sesuatu yang tampak sederhana ini terasa begitu rumit? Tapi ia tahu, tak mungkin juga ia bertanya pada bapaknya. Kaji Mispan, soal masa lalu itu, bagaikan mengetuk pintu yang terkunci rapat dan dijaga dengan amarah. Bukan perkara mudah. Bapak bukan tipe orang yang bisa diajak kompromi, apalagi bicara hal-hal yang bersinggungan dengan luka lama.

Begitu Wiji berlalu dari halaman, langkahnya menghilang di balik suara malam dan dedaunan, Asmarawati hendak kembali ke kamarnya. Namun, sesampainya di ruang tamu, langkahnya dihentikan.

Ratmoyo berdiri di sana—tegak, bersedekap, dan dengan pandangan yang tak biasa.

“Sejak kapan kamu kenal sama dia?” tanyanya datar, tapi terasa dalam, seperti air sungai yang tampak tenang namun menghanyutkan.

“Baru beberapa hari, Pak,” jawab Asmarawati pelan. Ada sedikit getar dalam suaranya, antara takut dan bingung.

Ratmoyo mempersempit jarak. “Bapak dengar-dengar... katanya kamu sering ketemu sama dia di tanggul Brantas. Benar itu? Ayo, jujur!”

Asmarawati menelan ludah. Ia berusaha menjaga nada suaranya. “Sinten ingkang ngendiko kados meniko, Pak?” (Siapa yang mengatakan seperti itu, Pak?) jawabnya mencoba mengelak.

Namun, belum sempat Ratmoyo menggali lebih dalam, suara dari belakang datang menyela.

“Lho, temanmu sudah pulang, Nduk?” tanya Sundari sambil melangkah ke ruang tamu.

“Sudah, Bu,” jawab Asmarawati cepat. Kesempatan itu digunakannya untuk segera berlalu—menyelamatkan diri dari mata ayahnya yang tajam.

Ratmoyo hanya berdiri diam. Menyandarkan diri di dinding, sementara pikirannya berkecamuk. Ia tahu, ada yang tak beres. Tapi ia sendiri belum sanggup menjelaskan perkara lama yang belum selesai. Diamnya bukan tanpa sebab—melainkan karena tak tahu harus mulai dari mana.

Sundari memperhatikannya. “Dari tadi bapak masih berdiri di sini?” Ratmoyo buru-buru berkilah.

“Oh, ndak, Bu. Tadi bapak habis dari depan. Benerin lampu.”

Sundari mengangguk, walau raut wajahnya menyiratkan kecurigaan kecil. Tapi ia memilih tak bertanya lebih lanjut.

Sementara itu, di dalam kamar, Asmarawati duduk termenung. Pundaknya melorot. Tatapannya menabrak bayang-bayang tembok. Kata-kata Wiji kemarin kembali mengapung dalam pikirannya:

"Jika seandainya kamu mencintai seseorang, tetapi kamu ditakdirkan tidak bisa nyawiji dengannya, maka apa yang akan kamu lakukan?"

Pertanyaan itu kini terasa nyata. Bukan sekadar ungkapan puitis dari percakapan malam kemarin. Tapi seperti cermin yang memantulkan kekalutan hatinya. Ia tahu, cintanya kepada Wiji bukan sekadar rasa remaja. Tapi kini, di balik pintu kamarnya, ia menyadari bahwa cinta itu telah memasuki wilayah yang rawan.

Malam telah larut. Di kamarnya yang remang, Asmarawati duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang separuh terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan tersapu angin, menari-nari dalam kesunyian malam minggu wage yang kian menebal. Suara jangkrik bersahutan dari kejauhan, seperti paduan suara kecil yang tak pernah lelah menyanyikan gelisahnya dunia.

Di dadanya, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah rasa yang menggumpal, seperti kabut di pagi buta: tak tampak, tapi membekap.

Ia tahu, ayahnya—Ki Ratmoyo—bukan tipe lelaki yang mudah terbakar amarah tanpa sebab. Tapi malam ini, caranya memandang Wiji... caranya bertanya, caranya diam... semua itu menyisakan tanda tanya yang tak berani ia ucapkan.

Kenapa ayahnya tiba-tiba terlihat gelisah hanya karena kehadiran seorang tamu? Kenapa seolah ada sesuatu yang disembunyikan?

Wiji... Ia bukan hanya lelaki yang hadir dalam hari-harinya belakangan ini. Ia adalah seseorang yang pelan-pelan menumbuhkan harapan di relung hatinya yang selama ini sepi. Ketika Wiji bicara, Asmarawati merasa didengarkan. Ketika Wiji tersenyum, dunia seolah menjadi sedikit lebih ramah. Namun di balik semua itu, kini ada bayangan yang tak bisa ia singkirkan: restu ayahnya, yang sepertinya tidak akan mudah ia peroleh.

Asmarawati tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Ia belum pernah mendengar cerita apa pun dari bapaknya tentang Kaji Mispan. Bahkan nama itu saja jarang disebut di rumah ini. Namun malam ini, dari sorot mata bapaknya, dari cara ia diam begitu lama setelah Wiji pulang, Asmarawati mulai curiga—bahwa ada sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang telah lama terkubur. Sesuatu yang kini terancam terungkit oleh hadirnya Wiji.

Namun ia juga belum berani bertanya. Sebagian karena takut, sebagian karena belum tahu harus bertanya dari mana. Ia hanya menyimpan semuanya dalam hati. Ia mulai menyadari bahwa cinta tak hanya soal dua hati yang saling terpaut, tapi juga tentang bayang-bayang ujian yang kadang tak bisa dihindari.

Sambil menatap langit malam dari balik jendela, ia berbisik dalam hati:

“Tuhan, Kalau cinta ini salah, kenapa ia datang seindah ini? Dan kalau cinta ini kelam, kenapa harus aku yang menanggung cahayanya yang tak pernah padam?”

Ia pun merebahkan tubuhnya perlahan, membiarkan dingin malam menyentuh kulit, dan angin menyusup di sela-sela tirai jendela yang tak sepenuhnya tertutup. Matanya terpejam, seolah hendak mengusir letih dari tubuh yang diam-diam menggigil. Namun, tidur tak kunjung datang. Yang hadir hanya sunyi—sunyi yang begitu hening hingga suara detak jantungnya sendiri terdengar bagai tabuhan gamelan di ruang kosong batin.

Dalam keheningan itu, muncul bayang-bayang samar, seperti bisikan dari ujung senja yang tertinggal. Sunyi itu tak sekadar diam; ia menyelinap, menjelma menjadi tanya yang tak sempat terucap, rindu yang tak berani disampaikan, dan cinta yang malu-malu mengetuk pintu hati. Cinta yang belum sempat berbunga, namun telah mekar dalam angan.

Malam pun memanjang, menjadi panggung bagi mimpi-mimpi yang tak jelas wujudnya. Di sanalah, ia bertemu perasaan-perasaan yang tak sempat ia pahami di siang hari. Sunyi menjadi bahasa, mimpi menjadi pelarian, dan cinta… tetap menjadi rahasia yang hanya dipahami oleh hati yang terjaga dalam gelap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!