Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 20
Langit tampak mendung, seolah ikut merasakan beratnya keputusan yang akan diambil Raka. Ia menepikan mobilnya di sebuah kafe kecil, tempat biasa ia dan Rita bertemu saat segalanya masih terasa manis. Kini tempat itu hanya menjadi saksi bisu dari hubungan yang mulai membeku.
Rita datang beberapa menit kemudian dengan gaya khasnya parfum menyengat, tas mungil mahal tergantung di lengannya, dan raut wajah yang sudah disusun untuk mengintrogasi.
“Akhirnya kamu punya waktu juga,” gumam Rita sambil duduk tanpa senyum.
Raka menatapnya sebentar. Dulu, wanita di depannya ini bisa membuatnya tersenyum hanya dengan sapaan manja. Tapi sekarang, semua terasa asing.
“Rita... kita perlu bicara,” ucap Raka pelan tapi mantap.
Rita menyilangkan tangan di dadanya. “Bicara tentang apa? Tentang kamu yang akhir-akhir ini selalu sibuk? Atau tentang kamu yang makin jauh?”
“Aku tidak akan berputar-putar,” Raka menarik napas. “Hubungan kita... sebaiknya kita akhiri saja.”
Rita terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa pelan samar terdengar getir. “Kamu bercanda? Kita pacaran udah tiga tahun, Raka. Dan kamu cuma bilang akhiri saja?”
“Aku gak mau terus bohongin kamu atau diri sendiri. Aku udah berusaha, tapi rasanya gak sama lagi.”
Rita menatapnya tajam, matanya mulai memerah. “Apa ada orang lain? Itu alasannya, ya?”
“Bukan karena orang lain,” Raka menggeleng. “Ini tentang kita. Aku dan kamu. Aku merasa gak bisa jadi pasangan yang kamu butuhkan. Kamu pantas dapat laki-laki yang bisa mencintaimu sepenuh hati. Dan itu... bukan aku lagi.”
Rita menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. “Kamu egois. Kamu gak kasih alasan yang masuk akal. Hubungan ini hancur cuma karena kamu ngerasa beda?”
Raka menunduk sejenak. “Aku tahu ini menyakitkan. Tapi melanjutkan hubungan yang hampa hanya akan menyakiti kita lebih dalam lagi.”
Suasana hening, hanya terdengar desir angin dan suara sendok menabrak cangkir di meja sebelah. Rita berdiri dengan wajah kecewa yang tak bisa disembunyikan.
“Baiklah. Tapi jangan harap aku akan baik-baik saja setelah ini.” Suaranya gemetar, tapi penuh gengsi.
Raka tak menjawab. Ia hanya menatap kepergian Rita dengan perasaan yang berat... namun juga lega.
Ia tahu luka ini akan memakan waktu untuk sembuh. Tapi kejujuran adalah satu-satunya jalan yang bisa ia pilih sekarang meski setelah ini, hidupnya tak akan lagi sama.
___
Udara di dalam apartemen Rio dipenuhi aroma kopi hitam dan suara dentingan keyboard laptop. Di meja makan yang telah disulap jadi ruang kerja darurat, tumpukan dokumen dan peta kerja sama proyek bersama NGC berserakan. Bagas tampak serius membahas rencana keberangkatan mereka ke luar kota bersama dua orang dari timnya. Matanya fokus, wajahnya datar, seolah tidak ada beban lain dalam hidupnya selain proyek ini.
Rio, yang sejak tadi hanya memperhatikan dari dapur sambil menyesap kopi, akhirnya bersandar di dinding sambil melipat tangan.
"Gas, lu yakin mau berangkat dalam kondisi begini?" tanyanya perlahan.
Bagas menoleh sekilas, lalu kembali memandang layar laptopnya. “Apanya yang gak yakin? Kita udah siap semua. Aku tinggal follow up NGC buat final meeting.”
Rio mendekat, meletakkan kopinya di meja dengan suara sengaja dibesarkan. “Maksud gue bukan soal proyek ini. Tapi rumah lo, Aruna.”
Bagas terdiam sebentar, lalu menjawab dengan nada datar, “Gue gak mau bahas itu dulu.”
Rio menghela napas panjang, lalu duduk menyebrang di depannya. “Gas, masalah rumah tangga gak bisa disimpan kayak file kerjaan. Apalagi ditinggal begitu aja. Aruna itu istri lo, bukan admin kantor yang bisa lo cuekin kalau lo lagi pusing.”
Bagas tersenyum sinis. “Lo pikir gue gak capek, Yo? Tiap pulang yang ada ribut, keluhan, dan air mata. Gue butuh jeda.”
Rio menatapnya lekat-lekat. “Tapi kalau jeda lo artinya kabur, itu bukan solusi. Lo tahu kan ini gak akan selesai sendiri? Aruna bukan perempuan lemah. Dia bisa ambil keputusan sendiri kalau lo terus begini.”
Bagas menoleh ke luar jendela. Langit mulai gelap, lampu-lampu apartemen lain menyala satu per satu. Dalam diamnya, kata-kata Rio menggantung di kepalanya tajam, tapi benar.
“Setidaknya bicara dulu sebelum lo berangkat. Jangan bikin dia terus nunggu dalam ketidakpastian,” lanjut Rio.
Bagas mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, pikirannya mulai terusik oleh sesuatu yang lebih dari sekadar jadwal kerja dan proposal proyek yaitu, wajah Aruna yang ia tinggalkan tanpa kejelasan.
Bagas bersandar di balkon apartemen Rio, menatap gemerlap lampu kota yang seperti tak pernah tidur. Di tangannya, segelas wine nyaris tak tersentuh. Hatinya pun sama penuh tapi hampa. Sejak pertengkaran hebat dengan Aruna, pikirannya berkecamuk. Ia tahu, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin bebas. Hidup tanpa ikatan, tanpa tuntutan, tanpa harus terus menjadi “suami yang gagal.” Dan yang lebih menggoda, rasa bebas itu terlihat begitu nyata di kehidupan Rio temannya yang selalu tampak santai, tanpa beban rumah tangga.
Sebenarnya, Bagas sudah lama ingin mengakhiri pernikahannya. Dalam pikirannya, rumah tangga mereka seperti kapal tua yang tak lagi layak berlayar. Ia dan Aruna hanya berlayar karena terbiasa, bukan karena cinta. Namun, ada satu hal yang membuatnya tidak melangkah sejauh itu: realita.
Perkebunan itu yang selama ini dikelola Aruna dengan tekun dan penuh cinta sudah menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang mampu ia bawa pulang dari pekerjaannya sebagai seorang fotografer. Aruna mungkin tak pernah membanggakan hasilnya, tapi Bagas tahu. Dalam satu musim panen saja, Aruna bisa mendatangkan ratusan juta. Sementara ia? Harus menunggu undangan pameran, mencari sponsor, bersaing dengan banyak fotografer lain. Pendapatannya tidak pasti, tapi sekali dapat, keuntungannya memang besar dan juga pengalamannya di alam liar yang membuatnya ketagihan.
Ironis. Lelaki yang merasa ingin bebas justru diam-diam menggantungkan hidup dari perempuan yang ingin dia tinggalkan.
Di dalam apartemen, Rio sedang tertawa-tawa kecil dengan timnya, membahas kerja sama NGC yang tinggal selangkah lagi. Tapi Bagas tidak ikut tertawa. Ada perasaan malu yang diam-diam menelusup. Ia menghindari Aruna, tapi masih menggenggam hasil jerih payahnya. Ia ingin lepas, tapi tak sepenuhnya siap berdiri sendiri.
Sambil menghela napas panjang, Bagas meneguk winenya. Pahitnya tak sebanding dengan getir yang merayapi dadanya.
“Mungkin, aku memang pengecut,” gumamnya lirih. Tapi dalam diamnya, ia tahu satu hal jika ia terus seperti ini, maka bukan hanya cinta yang akan hilang, tapi juga harga dirinya sendiri.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor