"Ketimbang jadi sadboy, mending ajarin aku caranya bercinta."
Guyonan Alessa yang tak seharusnya terucap itu membawa petaka.
Wanita sebatang kara yang nekat ke Berlin itu berteman dengan Gerry, seorang pria sadboy yang melarikan diri ke Berlin karena patah hati.
Awalnya, pertemanan mereka biasa-biasa saja. Tapi, semua berubah saat keduanya memutuskan untuk menjadi partner bercinta tanpa perasaan.
Akankah Alessa dapat mengobati kepedihan hati Gerry dan mengubah status mereka menjadi kekasih sungguhan?
Lanjutan novel Ayah Darurat Untuk Janinku 🌸
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Cinta Kita Abadi
...“Kalau kita bersama seseorang yang kita cintai saat salju pertama turun, maka cinta kita akan abadi selamanya.” — Alessandra Hoffner ...
Setelah makan malam, Alessa, Luther dan Gerry memutuskan untuk istirahat. Rumah itu memiliki 2 kamar tidur. Satu kamar yang di tempati oleh Luther, sedangkan satu lagi memang tak ada yang menempati. Dulu kamar itu miliknya, tapi semenjak kedua orangtuanya tiada, Luther yang menempati kamar orangtuanya.
“Kalian berdua tidur di kamar—”
“Berdua?” Alessa langsung menatap ke arah Luther dengan wajah yang memerah. Meskipun ia sudah sering bercinta dengan Gerry, tapi bukankah seharusnya ia harus menjaga sikap di depan Luther?
“Oh come on, Alessa. Daddy pernah muda,” celetuk Luther sambil tertawa. Perut buncitnya pun ikut bergoyang saat ia tertawa. “Kein problem!” (Tidak masalah)
“Nein,” (tidak) Alessa menolak dengan wajah merah.
“Lalu, dia tidur di mana? Apa kamu tega membiarkan dia tidur di sofa?” goda Luther sambil menatap ke arah Gerry. Pria tua itu bermain mata dengan Gerry. Tentu saja Gerry senang dengan keterbukaan Luther padanya.
“Aku tidur di campervan saja.” Gerry mengalah meskipun sudah mendapatkan lampu hijau dari Luther. Selain karena segan, ia juga harus menghormati Alessa di depan orangtua wanita itu.
Usai perdebatan panjang, akhirnya Gerry pun tidur di campervan. Sementra Alessa dan Luther tidur di rumah dengan kamar yang terpisah.
Malam panjang pun tiba.
Berkali-kali Alessa berbalik badan mencoba tidur memejamkan matanya, tapi sulit sekali rasanya untuk ia terlelap. Seperti ada yang hilang dari sisinya saat ini. Dan di saat ia memejamkan matanya, wajah Gerry selalu terbayang tanpa menghilang walau hanya sesaat.
“Haaahhh!” Alessa bangkit dari tidurnya. Wanita itu duduk dan berniat ingin menguncir rambut, namun sekilas terlintas ucapan Gerry di kepalanya.
..."Saat bersamaku, jangan pernah mengikat rambutmu."...
Suara bariton pria itu menggema di kepala Alessa, padahal pria itu sedang tak ada di dekatnya. Alessa pun mengurungkan niatnya untuk mengikat rambutnya saat itu.
Tanpa berfikir panjang, Alessa memutuskan untuk pergi menghampiri Gerry ke campervan. Wanita dengan tubuh tinggi semampai itu meraih mantel navy-nya yang ada ada di belakang pintu. Kemudian ia berlari keluar dari kamar dan keluar dari rumah.
Luther yang menyadari bunyi derap kaki dan pintu kamar anaknya itu ia tersadar dan membuka matanya. Namun sesaat kemudian, ia tersenyum dengan perasaan lega. Pria tua itu kembali memejamkan matanya sambil bergumam pelan. “Leidenschaftliche Liebe.” (Cinta yang menggebu-gebu)
Saat berada di jalanan bebatuan yang berliku-liku menuju ke campervan, Alessa terus meniup kedua tangannya untuk memberi kehangatan. Pasalnya, malam itu cuaca teramat sangat dingin, tak seperti malam-malam sebelumnya. Asap terus menerus keluar dari mulut saat ia bernafas.
“Alessa!” teriak Gerry dengan nafas yang terengah-engah. Ternyata pria itu juga tak bisa tidur karena memikirkan Alessa.
Tepat di pertengahan taman dan di bawah sinar lampu jalanan saat itu, keduanya saling berhadapan dengan ekspresi yang kacau dan berantakan. Saat ini, mereka sedang terpisahkan jarak 5 meter.
“Gerry ….” Alessa berniat melangkah maju untuk menghampiri pria yang juga memakai mantel navy di depannya.
“Jangan, Alessa.” Cegah Gerry membuat Alessa menghentikan langkahnya. “Sebelum kamu datang padaku, ada yang ingin aku katakan padamu.”
“Aku juga,” ucap Alessa dengan bibir bergetar karena kedinginan. “Tapi aku ingin mengatakannya dengan jarak yang dekat.”
Keduanya terdiam sambil bertatap-tatapan. Ada banyak pikiran yang berkelebat di kepala mereka saat ini. Opini-opini yang mereka ciptakan sendiri, membuat mereka berdua semakin kacau dan gelisah.
“Apa dia ingin menyudahi liburan panjang ini? Dan dia kembali ke wanita itu? Makanya dia enggan membiarkanku mendekatinya?” batin Alessa terluka. Wanita itu menggigit bibirnya yang kering sambil mengepalkan kedua tangannya di dalam kantong mantel.
“Apa yang ingin dia katakan? Sampai rela keluar malam-malam buta begini? Apa calon suaminya akan datang? Makanya dia keluar dan ingin menyuruhku pergi?” keluh Gerry pilu. Pria itu menghela nafas panjang, membuat asap keluar dari bibirnya karena kedinginan.
Semilir angin meniup lembut wajah dua orang yang sedang berdebat dengan pikirannya sendiri malam itu. Desir dedaunan kering membuat suasana malam itu menjadi semakin dingin.
“Baiklah. Aku akan berada di sini. Tapi … dengarkan ucapanku dulu,” ucap Alessa dengan suara pasrahnya. Ia sudah berada di titik tak berdaya dan sudah bersiap sedia untuk terluka. Tak masalah jika cintanya bertepuk sebelah tangan, yang penting ia tak menyesal karena pernah menyampaikan perasaannya pada pria itu.
Apapun yang terjadi kedepannya, terjadilah. Wanita itu sudah tak peduli. Rasa rindu hanya karena berpisah beberapa menit saja sudah membuatnya sesak sampai rasanya begitu sakit. Apalagi kalau kelak mereka benar-benar harus berpisah?! Membayangkannya saja sudah cukup membuat dirinya terluka.
“No, jangan sampai dia mengusirku duluan sebelum aku mengatakan semuanya,” tekad Gerry.
“Gerry ….”
“Alessa ….”
Keduanya tak ada yang mau mengalah. Mereka sama-sama egois dan tak membiarkan ada satu pun yang boleh berbicara lebih dulu.
“Aku mencintaimu, Alessa.”
“Aku mencintaimu, Gerry.”
“HAH?!!!”
Keduanya saling berbicara di saat yang sama. Bahkan mereka sama-sama terkejut begitu mengatakan dengan lantang apa yang ada di hati dan pikiran mereka saat itu. Kenapa semudah itu? Padahal, sebelum-sebelumnya mereka terus berdebat sendiri dengan pikiran dan spekulasi yang mereka ciptakan sendiri.
“Terus, wanita itu bagaimana?” tanya Alessa dengan penuh harap. Wajahnya benar-benar menggambarkan bahwa saat ini ia takut terluka karena mengatakan cinta pada pria itu.
“Wanita mana?” tanya Gerry dari kejauhan. “Terus, calon suami kamu, dia jadi—”
“Calon suami?” Alessa mendelik saat mendengarkan pertanyaan Gerry. Tentu saja ia tak mengerti dengan apa yang pria itu katakan. Memangnya pria mana lagi yang ada di hidupnya selain Gerry Anderson?!
Gerry menghela nafas keras dan tanpa berfikir panjang, ia langsung melangkah maju ke depan. Pria itu berlari dengan kencang dan langsung memeluk tubuh Alessa dengan sangat erat.
“Hei, Alessandra Hoffner. Kamu satu-satunya wanita yang berhasil membuka kerasnya pintu hatiku. Memangnya, wanita mana lagi yang bisa melakukan itu kalau bukan kamu?”
Mendengarkan ucapan Gerry yang lugas dan terus terang seperti itu, seketika tangis Alessa membuncah. Tangisnya kali ini merupakan tangis bahagia karena rasanya seperti mimpi. Apa jangan-jangan ini mimpi? Apa yang harus ia lakukan jika kejadian malam ini adalah mimpi?
“Aku mencintaimu, Alessa. Sangat-sangat mencintaimu,” terang Gerry saat mendekap erat tubuh wanita yang ia cintai itu.
Alessa dapat mendengarkan dengan jelas bunyi detak jantung Gerry yang saat itu bertepatan dengan telinganya. Pasalnya, saat ini posisi telinganya sedang berada di dada bidang pria itu.
“Aku juga,” Alessa menangis sesenggukan. Kemudian wanita itu menengadah ke atas, menatap ke arah wajah Gerry yang disinari cahaya lampu jalan itu. “Aku juga mencintaimu, Gerry Anderson.”
Sesaat usai Alessa membalas pernyataan cinta Gerry, di saat yang sama, satu per satu butiran salju turun ke bumi dan hinggap ke tubuh dua orang yang sedang di mabuk asmara itu.
“Ger …,” Alessa menatap butiran salju yang jatuh di wajah tampan Gerry, ia tertawa girang dan menampakkan lesung pipi yang indah di wajahnya. “Salju pertama!”
“Katanya, kalau kita bersama seseorang yang kita cintai saat salju pertama turun— … hmph!”
Gerry langsung mendaratkan bibirnya ke bibir Alessa. Membuat wanita itu tak mampu melanjutkan ucapannya sampai selesai. Ia sudah tak bisa mengontrol dirinya karena terlalu bahagia. Bahagia yang sudah tak dapat lagi diungkapkan pakai kata-kata.
Usai perjalanan panjang penuh spekulasi-spekulasi negatif yang diciptakan sendiri, kini akhirnya mereka telah mengatahui perasaan masing-masing tepat di saat salju turun ke bumi.
“Kalau kita bersama seseorang yang kita cintai saat salju pertama turun, maka cinta kita akan abadi selamanya,” batin Alessa menyelesaikan ucapannya di dalam hati.
Wanita itu memejamkan matanya, kemudian ia memasukkan kedua tangannya ke dalam mantel navy milik Gerry. Di dalam sana, tangannya melingkar memeluk tubuh pria itu dengan sangat erat dan penuh cinta.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
eh tapi udah punya suami Deng🤣🤣🤣
Thor lanjut ceritanya bagus banget 👏🏻👏🏻
masih banyak jaln menuju Roma..
😀😀😀😀❤❤❤❤❤
Alessa kan kak??
❤❤❤❤❤
ampuuunnn..
manis sekali lhoooo..
jadi teehura..
berkaca2..
❤❤❤❤❤❤
akhirnya mumer sendiri..
😀😀😀😀😀❤❤❤❤