NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Menunggu Panen

Matahari mulai condong ke barat, melukis langit dengan semburat jingga keemasan saat Dion dan Wina berjalan menyusuri garis pantai. Ombak berkejaran dengan angin, membelai kaki telanjang mereka yang tenggelam sesaat di pasir basah sebelum kembali terangkat dalam langkah santai.

Dion menenteng sepatu keduanya di satu tangan, sementara di tangan lainnya, jemari Wina menggamit erat, meski gadis itu lebih sibuk menari-nari di tepi air.

Ia tampak seperti anak kecil yang menemukan dunia baru. Melompati gelombang kecil, menantang ombak yang datang, lalu menjerit geli sambil melarikan diri saat air laut nyaris mengenai betisnya.

Dion masih menggenggam tangan Wina ketika akhirnya ia menyadari betapa kecilnya pondok mereka di kejauhan. Ia menoleh ke samping, mendapati Wina masih sibuk menciprat-cipratkan air dengan kakinya.

“Balik yuk! Kita sudah lumayan jauh,” ujar Dion sambil sedikit menarik tangan Wina.

Keduanya kemudian menyusuri jalan yang tadi mereka lalui. Setelah beberapa saat, Dion menyadari Wina tak lagi berada di samping.

Ia menoleh ke belakang dan mendapati Wina berhenti beberapa meter darinya, berdiri dengan wajah merajuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah bermain seharian.

“Kakiku lelah,” keluh Wina.

Dion menghampirinya, meraih tangannya dan berkata, “Kita jalan pelan-pelan saja, nanti juga sampai.”

“Nggak mau. Dion gendong!” seru Wina manja sambil menjauhkan tangannya menolak raihan Dion.

Dion memandang keadaan sekitarnya, tidak ada pengunjung lain di tempat itu. Akhirnya ia menyetujui dan menurunkan tubuh mempermudah Wina menaiki punggungnya.

“Naiklah!” ucap Dion.

Mata Wina berbinar. Dengan cekatan, ia melompat ke punggung Dion, melingkarkan lengannya di leher pemuda itu.

Sepanjang perjalanan, Wina tak kehabisan topik pembicaraan. Dari membahas rencana akhir pekan, makanan yang ingin ia coba, hingga tiba-tiba berteori soal bagaimana jika mereka terdampar di pulau terpencil dan harus bertahan hidup.

Dion hanya bisa menggeleng-geleng sambil tersenyum, menikmati setiap ocehan kekasihnya yang tak ada habisnya. Entah bagaimana, meski menggendong Wina, perjalanan pulang terasa lebih ringan.

Ketika mendekati area utama, Dion meminta Wina turun karena di sekitar itu sudah mulai banyak pengunjung yang ingin menikmati sore. Tapi Wina tak menyahut.

“Pasti ia tertidur,” pikir Dion melanjutkan langkahnya. “Semoga orang-orang tak melihat kami dengan pandangan aneh,” harap Dion dalam hati.

Beberapa orang tersenyum melihat Dion menggendong Wina. Selebihnya cuek saja, karena merupakan pemandangan biasa di tempat itu.

Masyarakat sekitar memang tak keberatan dengan sepasang kekasih yang bergandengan atau berdekapan di tempat itu asal tidak melanggar susila. Yang dilarang adalah berpakaian tidak sopan, berciuman atau bahkan berbuat cabul lainnya.

“Win, bangun! Sudah sampai,” kata Dion berusaha membangunkan Wina setelah sampai di deretan pondok yang mulai ramai pengunjung. Dion tak ingin melewati mereka sambil menggendong Wina.

“Aku tahu. Lagipula siapa yang tidur?” sahut Wina yang berusaha turun dari punggung Dion.

“Lho, bukannya tadi Wina tertidur?” tanya Dion lagi yang dijawab oleh Wina dengan gelengan kepala.

“Trus kenapa tadi gak nyahut waktu aku panggilin?” lanjut Dion heran.

“Itu karena Wina tak mau diturunkan,” jelas Wina yang kini sudah menapak dengan kakinya sendiri.

Dion hanya bisa garuk-garuk kepala menghadapi gadisnya itu.

“Dion, kamu harus kembali lagi deh. Aku pasti menjatuhkan sepatumu tadi,” ujar Wina sambil menunjukkan sepatu yang ia pegang hanya tinggal sepasang. Sepatu Wina sendiri.

Dion menghela napas lesu. “Ya sudah Wina tunggu di sini, ya. Aku nggak akan lama,” katanya lalu melangkah untuk mencari sepatunya.

“Dion ke mana?” tanya Wina membuat Dion menghentikan langkah dan membalik badan untuk menjawab.

“Ya cari sepatu, noh!” serunya.

“Sudah lewat! Tadi aku tanpa sengaja menjatuhkan sepatumu tapi bukan di sana. Di sini selangkah sebelum Dion berhenti,” kata Wina lalu tertawa usil.

Dion kembali hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Wina selalu saja usil padanya. Ia pun memungut sepatunya dari pasir.

Tingkah keduanya mendapat perhatian dari beberapa pengunjung di pondok pertama yang mayoritas ibu-ibu paruh baya. Mereka tersenyum melihat tingkah kedua kekasih itu.

Setelah memungut sepatunya, tiba-tiba Dion meraih tubuh Wina dan membawanya di bahunya. Tentu saja Wina yang kaget berteriak minta diturunkan sambil memukuli punggung Dion.

“Dion, turunkan! Dion… Dion…!” teriak Wina.

Tapi Dion tak menghiraukan gadis itu, ia tetap saja membawanya melewati beberapa pondok yang berjejer di pantai dan kumpulan ibu-ibu paruh baya tadi yang sontak bersorak.

“Cieee… cieee..!” seru mereka serentak.

Wina langsung membeku. Pipinya merona seperti kepiting rebus.

“Nah akhirnya sampai,” kata Dion mendudukkan Wina di pondok. Gadis itu memandangi Dion yang tertawa karena berhasil membalas keusilanya. Sambil membesarkan mata, ia mencubit lengan pemuda itu disusul suara keluh kesakitan oleh Dion.

...***...

Karena hari sudah cukup sore, keduanya pun memutuskan meninggalkan lokasi wisata itu untuk kembali ke Kota Medan.

Ketika keduanya melewati pondok-pondok sambil bergandengan, seorang di antara ibu-ibu menggoda mereka.

“Mas Dion, pacarnya dijaga. Jangan dilepas,” katanya dengan logat khas Jawa yang mengetahui nama Dion dari teriakan Wina tadi.

Mendengar itu, Dion pun melemparkan senyum anggukan kepada para ibu sementara Wina tertunduk malu walaupun masih menyunggingkan senyum.

“Ibu, kula nyuwun pamit rumiyin!” Dion berpamitan.

“Nggih! Ojo nganti suwe-suwe Mas. Arep ngenteni opo maneh? Wes wayahe lamaran!” seru seorang ibu.

“Ngenteni panen, Bu!” sahut Dion membuat para ibu tertawa.

“Kok itu tadi bilang lamaran trus kamu bilangnya panen?” tanya Wina setelah keduanya cukup jauh dari pondok-pondok di tepi pantai.

“Ya itu, mereka bilang jangan tunggu lama-lama, langsung lamaran saja. Trus aku jawab, lagi menunggu panen gitu,” jawab Dion.

“Kok tunggu panen?” tanya Wina lagi heran.

“Ih. Itu istilah yang banyak dipakai di sini. Artinya belum punya uang. Masyarakat di sini kebanyakan yang petani padi jadi pakai istilah panen,” jawab Dion.

“Ooo,” kata Wina. Tapi sesaat kemudian ia berkata, “Nanti kalau sudah ada uang Dion lamar Wina, toh?”

“Ioh. Asalkan Wina jawab iya juga,” sahut Dion sambil tertawa karena tak habis pikir dengan pertanyaan itu apalagi Wina mengangguk dengan serius.

...***...

Hari masih sedikit terang ketika sepeda motor yang membawa Dion dan Wina memasuki kompleks rumah Oppung sore itu.

“Besok aku masakin kamu makan siang, Dion datang, ya!” kata Wina sambil turun dari sepeda motor.

“Aku akan suka sekali. Tapi…” kata-kata Dion terputus karena ia melepas helm di kepalanya.

“Tapi kenapa?” tanya Wina sambil menyerahkan helm hitam pada Dion.

“Sebaiknya kita tidak membuat Oppung pada posisi sulit, paling tidak untuk saat ini hingga suasana agak dingin,” jawab Dion.

Wina terdiam sesaat. Ia membenarkan kata-kata kekasihnya itu apalagi ketika pemuda itu menyebut kata ‘kita’ pada kalimatnya.

“Kalau begitu aku bawa makan siangnya ke rumahmu saja yah. Setelah itu kita ke rumah Atik. Dion telepon Hendrik yah, biar dia ke sana juga,” usul Wina.

“Oke! Tapi besok janji nggak nakal lagi seperti tadi, ya!” kata Dion.

“Lho, kok Wina yang salah. Dion yang tak bisa mengendalikan reaksi tubuh,” elak Wina sambil memandang ke arah bawah Dion membuat pemuda itu kembali salah tingkah.

Akhirnya Dion berpamitan lalu mengenakan helm hitam dan meninggalkan Wina yang masih berdiri di balik pagar sambil menenteng kantung plastik berisi ikan segar yang mereka beli sebelum meninggalkan Pantai Cermin.

Mengenakan helm hitam yang tadi digunakan Wina membuat Dion bisa mencium aroma sampo gadis itu. Dion merasa senang mencium aroma itu, seolah-olah Wina berada di dekatnya.

“Perempuan hanya sulit dimengerti, bukan tidak bisa,” kata Dion dalam hati. Ia kini sedikit mengerti mengapa Wina bersikeras menggunakan helmnya.

“Kau bawa apa itu?” tanya Oppung melihat Wina memasuki rumah dengan menenteng kantung plastik.

“Tadi kami ke pantai beli ikan ini. Harganya murah. Kami beli dari nelayan yang turun melaut. Langsung di pinggir pantai,” jawab Wina sambil mengangkat kantung plastik hitam berlapis itu.

“Oh, kasih lah sama si Sari biar dicuci dan disimpan di kulkas,” kata Oppung. Wina pun mengangguk dan beranjak menuju dapur.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!