Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
Salju turun dengan diam-diam di langit Utara, seperti rahasia yang terjun perlahan ke bumi. Malam itu benteng Silas diselimuti dingin membeku, namun suasananya justru dipenuhi ketegangan yang panas karena seorang tahanan penting baru saja dibawa ke ruang interogasi bawah tanah.
Anastasia berdiri di lorong panjang yang diterangi obor, mengenakan mantel wol putih yang menyapu lantai. Napasnya membentuk uap setiap kali ia menghembuskan udara. Jari-jarinya menggenggam erat tepi mantel, bukan karena dingin… melainkan karena gugup. “Dia ditangkap di dekat gerbang timur. Orang misterius itu bilang dia mata-mata Theodora…”
Pikiran itu berputar terus di kepalanya. Aloric berjalan di depannya, langkahnya besar, berat, dan penuh wibawa. Tanpa menoleh, ia bertanya dengan suara rendah dan tajam seperti pisau. “Jika kau takut, kau boleh menunggu di luar.” Anastasia mengerjap. “Aku tidak takut.”
“Hm.” Suara Aloric terdengar seperti ia meragukan itu, meski bibirnya nyaris, nyaris menarik sedikit. “Ruang interogasi bukan tempat yang menyenangkan bagi seorang Lady.”
“Aku pernah mati,” balas Anastasia pelan namun mantap. “Tempat seperti ini tidak menakutkan.” Kali ini Aloric berhenti. Ia menoleh, menatap Anastasia dengan mata gelap yang sulit dibaca. “Justru karena itu,” katanya perlahan. “Aku tak ingin kau mengulang pengalaman buruk.”
Ucapan sederhana itu menusuk jauh ke dalam dada Anastasia. Hangat. Berbahaya. Mengganggu. Namun ia menunduk sedikit dan melanjutkan berjalan. “Aku tetap ingin melihatnya,” ucapnya. Aloric mengangguk sekali dan kembali melangkah.
Ruang interogasi dalamnya terbuat dari batu hitam yang dipahat kasar. Di tengah ruangan tergantung lampu kristal kecil yang memantulkan cahaya suram. Jeruji besi terpasang di sepanjang dinding, namun hanya satu yang ditempati. Tahanan itu duduk terikat di kursi kayu, rambut kusut, bibir pecah, dan mata penuh kebencian.
Ia mulai meronta ketika melihat Aloric masuk. “Monster Utara… akhirnya aku melihatmu dari dekat.” Penjaga ingin membungkamnya, tapi Aloric mengangkat tangan. “Biarkan.” Ia mendekat, langkahnya tenang namun mematikan. Tahanan itu menelan ludah, suaranya bergetar meski mencoba terdengar berani. “Kau pikir kau tak terkalahkan? Kaisar akan membunuhmu jika tahu apa yang—”
“Kaisar tidak akan tahu apa pun,” potong Aloric dingin. “Katakan alasanmu memasuki wilayahku.” Tahanan itu menatap Anastasia. “Aku mencarimu… Lady Anastasia.” Anastasia merinding seketika. “Kenapa mencariku?” suaranya bergetar tipis. “Tuan Putri Theodora mengirimmu pesan…”
Ia tersenyum miring. “…bahwa dia merindukanmu.” Anastasia membeku. Aloric melihat perubahan ekspresinya dan tubuh pria itu dipenuhi aura gelap. Udara ruangan menegang, seolah lantai sendiri takut. Aloric menggenggam kerah tahanan itu, menariknya tajam. “Katakan kebenarannya.”
“Aku sudah katakan!” bentak pria itu, meski suaranya pecah. “Theodora tahu kau hilang! Dia tahu kau kabur! Dan dia tahu kau masih hidup!” Anastasia menghirup napas keras. Tenggorokannya terasa sempit. Theodora… sudah mencari? Itu lebih cepat dari yang ia perkirakan. “Dia bilang,” lanjut tahanan itu lirih namun penuh kebencian, “kalau menemukanmu, aku harus memastikan kau dibawa kembali dalam keadaan hidup… atau mati.”
Aloric menghantamkan pria itu ke kursi hingga kayu bergemeletuk. “Berani sekali dia,” geram Aloric, “mengirim ancaman pada seseorang yang di bawah perlindunganku.” Anastasia menatap Aloric. Kata perlindunganku membuat dadanya bergemuruh entah kenapa.
Tahanan itu tertawa terputus-putus. “Perlindungan? Kau pikir dia aman bersamamu? Kau bahkan—” Aloric meraih dagu tahanan itu, memaksanya menatap. “Aku tanya sekali lagi,” ucapnya pelan, dingin, menakutkan. “Apa tujuan Theodora sebenarnya?” Tahanan itu terdiam. Tatapannya goyah. Anastasia melangkah maju. Suaranya lembut… namun sarat bahaya.
“Jika kau ingin hidup,” ucap Anastasia, “jawab dengan benar.” Untuk sesaat Aloric tertegun. Ia menatap Anastasia wajah polos, mata jernih, tapi suara yang keluar… tajam bagai jarum. Tahanan itu meronta. “Aku tidak tahu apa pun! Ia hanya memerintah! Itu saja!”
“Bohong.” Aloric menyalakan kekuatan sihir gelap yang mengalir dari telapak tangannya. Pria itu tercekik tanpa disentuh. “Tunggu!” jeritnya panik. “Baik! Aku akan bicara!” Aloric melepaskan sihirnya. Tahanan itu terengah-engah, tubuhnya gemetar. “Theodora… ingin memastikan kau tidak kembali ke ibu kota. Ia takut rahasianya terbongkar.”
Aloric mengernyit. “Rahasia apa?”. Tahanan itu menelan ludah. Takut. Tersiksa. Tapi tetap bicara. “Bahwa dialah yang membunuh adiknya sendiri.” Ruangan hening. Anastasia membeku. Aloric membalikkan kepala, menatap Anastasia dengan alis terangkat. “Adiknya…?” Anastasia tersenyum kecil. Senyum tipis. Senyum dingin. “Ya,” bisiknya. “Aku adalah adiknya.”
Dan dalam satu detik, seluruh udara di ruang interogasi berubah. Aloric menatapnya lama sekali, seolah semua potongan puzzle yang tak ia mengerti sejak awal tiba-tiba tersusun. Tahanan itu tertawa getir. “Kau seharusnya mati bersama jasadmu yang terbakar—” Anastasia mengangkat tangan. Cahaya putih meledak dari telapak tangannya. Tahanan itu terpental ke belakang, terbentur dinding batu. Tidak mati karena sihir Anastasia bukan untuj membunuh tapi cukup untuk membuatnya lumpuh sementara.
Ruangan kembali hening. Aloric menatapnya… bukan dengan kemarahan. Melainkan sesuatu yang lebih rumit. Lebih gelap. Lebih dalam. “Anastasia,” suaranya rendah, “kita akan bicara nanti.” Anastasia menutup matanya sebentar, menarik napas. “Baik.”
Di luar ruang interogasi, ketika pintu besi tertutup dan langkah mereka bergema di lorong dingin, Aloric menghentikan langkahnya. “Sejak kapan kau berniat memberitahuku?” suaranya datar, namun tak marah. Anastasia menatapnya. “Jika kukatakan sejak awal, kau akan membunuhku.”
“Aku tidak membunuh orang tak bersalah.”
“Kau mengira aku tak bersalah?” tanya Anastasia. Senyum dingin kembali terlukis. “Aku hidup kembali, Duke. Tidak ada yang benar-benar tak bersalah setelah itu.” Aloric menatapnya tajam. “Tidak peduli apa pun masa lalumu, selama kau berada di Utara… kau milikku.”
Anastasia terdiam. “Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu.” Napasnya terhenti sepersekian detik. Ia menunduk… tapi bukan karena takut. Karena untuk pertama kalinya, kata-kata Aloric terasa seperti sesuatu yang bisa ia percayai. Meskipun… ia tahu kedamaian itu tidak akan bertahan lama. Theodora pasti akan bergerak.Dan perang yang sesungguhnya sedang menunggu.