Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Setelah menghadap Kaisar, Cheng Xiao keluar dari ruang baca dengan langkah gontai. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh membasahi pipinya yang pucat. Bayangan saat ia dengan penuh harapan meminta dekrit pernikahan, kini berbalik menjadi permohonan dekrit perceraian, menghantuinya.
Kata-kata Kaisar bagaikan gema yang terus menerus berputar di benaknya, "Kau telah menyia-nyiakan waktumu hanya untuk seseorang yang tidak mencintaimu, Cheng Xiao. Aku pun turut bersalah karena telah memberikan dekrit itu padamu. Jika memang Putra Mahkota terbukti bersalah, aku akan membebaskanmu dan memberikan dekrit perceraian yang kau inginkan."
Langkah Cheng Xiao semakin melambat, tubuhnya terasa lemas. Rasa sakit yang menusuk-nusuk tiba-tiba menjalar dari perutnya, membuatnya meringis. Pandangannya mulai berkunang-kunang, dunia di sekitarnya terasa berputar. Saat itulah, tubuhnya ambruk ke lantai marmer yang dingin. Gaunnya yang berwarna lembut perlahan diwarnai oleh noda merah yang semakin meluas.
"Cheng Xiao!" seru Kaisar yang ternyata masih berdiri di ambang pintu ruang baca. Ekspresi terkejut dan khawatir tergambar jelas di wajahnya saat melihat menantunya tergeletak tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir membasahi gaunnya.
Sementara itu, di istana Putra Mahkota, Zhou Mei dengan senyum cerah menghampiri Wang Yuwen di ruang kerjanya. "Yang Mulia, aku membawakan kue persik untuk Anda," ujarnya dengan nada lembut, seraya memberi isyarat kepada pelayan untuk menghidangkan kue buatannya. Aroma manis kue persik memenuhi ruangan.
Wang Yuwen menatap Zhou Mei, wajahnya yang sangat mirip dengan Su Jing Ying, wanita yang selama ini dicintainya. Hatinya berdesir, namun hanya sesaat. "Terima kasih," jawabnya datar, mengambil satu kue dan mencicipinya. Namun, rasa kue itu terasa hambar di lidahnya. Ia sudah terbiasa dengan kue buatan Cheng Xiao, istrinya. Entah kapan terakhir kali ia menikmati kue buatan wanita itu.
Zhou Mei tersenyum senang melihat Putra Mahkota mencicipi buatannya. "Aku membuatnya sendiri, lho. Lihatlah, tanganku bahkan terkena api," ujarnya manja, memperlihatkan luka bakar kecil di tangannya.
Putra Mahkota Wang Yuwen hanya menatapnya sekilas tanpa minat. "Yang penting, kau tidak melukai wajahmu," jawabnya dingin, kembali fokus pada dokumen di mejanya.
Zhou Mei terdiam, senyumnya memudar. Sejak pertemuan pertama mereka di wilayah yang terkena bencana, di mana ia menjadi salah satu korban, ia merasa Putra Mahkota Wang Yuwen hanya tertarik pada wajahnya. Awalnya, Zhou Mei percaya diri bahwa Putra Mahkota menyukainya karena kecantikannya. Namun, saat bertemu dengan anggota keluarga kekaisaran kemarin, ia akhirnya menyadari alasan sebenarnya. Putra Mahkota Wang Yuwen menyukai wajahnya karena ia sangat mirip dengan mantan kekasihnya, Su Jing Ying. Kenyataan itu bagaikan tamparan keras baginya.
"Pergilah," ucap Putra Mahkota tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen di hadapannya. Nada suaranya datar dan dingin, seolah mengusir lalat yang mengganggu.
Zhou Mei mengangguk kaku, berusaha menyembunyikan kekesalan dan luka yang menganga di hatinya. Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruang kerja Putra Mahkota. Pintu kayu berukir itu tertutup perlahan, menyisakan kesunyian di dalam ruangan.
Tak lama kemudian, Zheng Bai, tangan kanan Wang Yuwen, masuk dengan langkah cepat. "Yang Mulia, Bibi Li sudah kembali ke kediaman Adipati," lapornya dengan hormat.
Mendengar laporan itu, Wang Yuwen segera bangkit dari duduknya. Raut wajahnya yang tadinya dingin dan tanpa ekspresi, kini berubah menjadi cemas. Sejak tadi, ia memang menunggu laporan dari Zheng Bai. Pria itu benar-benar khawatir dengan keadaan Cheng Xiao, dan juga ingin melihat bayi yang dilahirkan wanita itu. Meski ia tahu bayi itu bukan darah dagingnya, namun entah mengapa ia tidak rela jika suatu saat nanti, anak itu memanggil orang lain sebagai ayahnya. Perasaan aneh itu terus menghantuinya.
"Kita pergi ke Paviliun Phoenix," ujar Wang Yuwen dengan nada tegas, lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Cheng Xiao dan bayinya. Ia tidak sabar untuk melihat mereka.
Lorong-lorong istana Putra Mahkota terasa begitu panjang dan berliku menuju Paviliun Phoenix. Langkah Wang Yuwen semakin cepat, bahkan hampir berlari. Jantungnya berdebar kencang, rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur aduk menjadi satu. Ia benar-benar tidak sabar untuk melihat istrinya dan juga putranya. Ya, bayi yang dilahirkan oleh Cheng Xiao saat ini adalah putranya, seperti yang diketahui oleh semua orang. Cheng Xiao mengandung darah dagingnya, meskipun fakta sebenarnya hanya ia dan beberapa orang kepercayaannya yang tahu.
Di ruang kesehatan istana kekaisaran yang sunyi, Permaisuri dan Kaisar dengan setia menemani Cheng Xiao, sang menantu yang baru saja melahirkan. Mata Permaisuri merah dan sembab, mencerminkan kesedihan mendalam yang mengoyak hatinya. Sementara itu, Kaisar berdiri tegak dengan raut wajah murka yang kentara, kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan amarah yang membara di dalam dirinya.
Bibi pengasuh Putra Mahkota, yang telah mengabdi selama bertahun-tahun, baru saja selesai diinterogasi oleh Kaisar di ruang pemeriksaan yang terletak tak jauh dari kamar Cheng Xiao. Kaisar telah mendapatkan bukti tak terbantahkan bahwa apa yang dikatakan Cheng Xiao selama ini adalah kebenaran, diperkuat oleh pengakuan bibi pengasuh yang akhirnya tak mampu lagi menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
Permaisuri hanya bisa menangis dalam diam, menatap Cheng Xiao yang terbaring lemah dengan wajah sepucat pualam. Hubungan Cheng Xiao dengan keluarga kekaisaran memang sangat dekat, karena Permaisuri adalah sepupu dari mendiang ibu Cheng Xiao. Kedekatan inilah yang menjadi salah satu alasan utama Kaisar menyetujui dekrit pernikahan antara Cheng Xiao dan Wang Yuwen, berharap ia dapat memberikan perlindungan dan kebahagiaan bagi keponakannya itu.
"Zhen Fu, panggil Jenderal Tang ke istana!" perintah Kaisar dengan suara bergemuruh, memecah kesunyian yang mencekam. Nada bicaranya penuh dengan amarah dan tekad untuk menegakkan keadilan.
"Baik, Yang Mulia," jawab Kasim Zhen Fu dengan patuh, lalu segera bergegas melaksanakan perintah Kaisar.
"Kau... kembalilah," ujar Kaisar dengan nada dingin kepada bibi pengasuh yang masih berdiri dengan tubuh gemetar di ambang pintu. Ia tidak ingin melihat wajah pengkhianat yang telah menutupi kebenaran dan menyakiti Cheng Xiao.
Bibi pengasuh itu mengangguk lemah, lalu dengan langkah gontai meninggalkan ruang perawatan Cheng Xiao, meninggalkan jejak kesedihan dan penyesalan di belakangnya.
"Yang Mulia..." panggil Permaisuri dengan suara bergetar, berusaha menenangkan suaminya yang tengah dilanda amarah.
"Aku akan memanggil Adipati Cheng untuk menjelaskan semua ini," ujar Kaisar dengan napas berat, berusaha meredam emosinya. Ia merasa perlu menjelaskan langsung pada ayah Cheng Xiao, meskipun ia sudah tahu mengatakan kebenaran secara langsung pada pria itu akan semakin menyakitkan.
Permaisuri menggelengkan kepalanya pelan. "Kemungkinan Adipati Cheng sudah mengetahui semua ini. Bibi Li sudah datang saat Cheng Xiao melahirkan kemarin," ujarnya lirih, sambil mengelus rambut Cheng Xiao yang tampak rapuh dan kehilangan kilaunya.
Selain karena menangisi Cheng Xiao yang juga merupakan keponakan jauhnya, Permaisuri juga merasa pilu karena Cheng Xiao harus melahirkan secara prematur akibat stres dan tekanan yang dialaminya setelah mengetahui kenyataan pahit tentang suaminya.
"Pelayan," panggil Kaisar kepada pelayan Permaisuri dengan nada memerintah.
"Ya, Yang Mulia," jawab pelayan itu dengan sigap, menghampiri Kaisar dengan kepala tertunduk.
"Pergi ke kediaman Adipati Cheng, dan sampaikan undangan agar Adipati segera datang ke istana," perintah Kaisar dengan tegas. Ia ingin segera menyelesaikan masalah ini dan memberikan keadilan bagi Cheng Xiao, meskipun ia tahu bahwa prosesnya akan panjang dan menyakitkan.
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan segera menyampaikan pesan Yang Mulia," jawab pelayan itu dengan patuh, lalu segera bergegas pergi menuju kediaman Adipati Cheng.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪